>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 2 6 4 9
Top 2D : 02 16 24 39 49
Cadangan 2D : 52 64 79 82 94
TOP SHIO : Babi Naga Monyet
COLOK BEBAS : 2 4 9
AS : 0 1 3
KOP : 5 7 8
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : Besar / Ganjil
Belum lama ini aku kembali
bertemu Nana (bukan nama sebenarnya). Ia kini sudah berkeluarga dan sejak
menikah tinggal di Palembang. Untuk suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya
yang masih berusia 6 tahun pulang ke Yogya tanpa disertai suaminya. Nana masih
seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang
lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan namun
karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang, apalagi kalau
berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan
peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi
ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang
juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang
ketemu Nana.
Aku mengenalnya sejak
kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong berotak encer.
Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan
kami rukun dan saling mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar
kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat
di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi
di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Nana) serta Nana
dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat
sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui
anak kami.
Hari-hari berikutnya, Nana masih
sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran
kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Nana. Kalau sedang rewel, menangis,
meronta-ronta kalau digendong Nana menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan
atau gendongan Nana. Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Nana selalu mampir dan
membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama Nana sering tinggal di rumah
kami. Isteriku sangat senang atas bantuan Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas
membantu kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam.
Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Nana mulai tidak banyak mampirke
rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya.
Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor,
Nana tiba-tiba muncul.
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di
kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Nana mendekat ke arahku. Berdiri
di samping kursi kerja. Nana terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna
kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Nana?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak
Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Nana
tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri
persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Nana, apa-apaan kamu ini..”
Tanpa menungguku selesai bicara, Nana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku
dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan
bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas
halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga
mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha
melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang
ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku.
Nana merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku
suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian.
Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah
menemukan laki-laki yang pas.
Kuangkat tubuh Nana dan
kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit
dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup
kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan.
Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas.
Ayo,” kata Nana sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga
dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang
telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Nana
merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal.
Nana kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir
artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula
ragu menyambut keliaran Nana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke
seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Nana..”
bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya
lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas
sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu
inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Nana sembari
tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu
permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang
dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Nana telah
diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas
meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Nana lekat ke
dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku
mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya,
kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya
menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati
penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat
Nana, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Nana mengusap-usap
rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya. “Sedot
kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Nana tak
kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai
berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat. “Mas lepas..” katanya
sambil telentang di lantai. Nana meminta aku melepas pakaian. Nana sendiri pun
melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan
celana dalam. Nana melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar
menunggu. Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah
samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Nana melenguh
sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera
mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas.. teruskan, enak
sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya.
Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Nana. Rambutnya tidak terlalu tebal
namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku.
Kumainkan jemariku di sana dan Nana tampak sedikit tersentak. “Ukh.. khmem..
hss.. terus.. terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya
kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat
kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil
daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama.
Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku
memilin klitoris Nana dengan teknik petik melodi.
Nana menggelinjang-gelinjang,
melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas.. ampun.. terus, ampun.. terus ukhh..”
Sebentar kemudian Nana lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Nana
kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah
kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta merta Nana
menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan
Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Nana. “Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Nana
kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Nana langsung meraihnya. Kedua telapak
tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Nana geleng-geleng kepala. Lalu
lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan
panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan
terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa
sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat
perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat
penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya,
memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia,
kan?”
Nana langsung menarik penisku.
“Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Nana menelentangkan tubuhnya.
Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu
halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada
di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Nana memandangiku penuh
harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Nana. Kamu harus
benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Nana tak sabar.
Belum pernah kulihat perempuan sekasar Nana. Dia tak ingin dicumbui dulu
sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi
permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan
perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Nana justru
mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong
ke arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal.
Namun Nana tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar,
kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga
vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Nana tidak
gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..”
pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa..
tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa
menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Nana menjerit,
“Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu
terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik,
darah.. darah segar. Nana diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku
menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi
ketegangannya, kucari ujung puting Nana dengan mulutku. Meski agak membungkuk,
aku dapat mencapainya. Nana sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia
memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun
naik dan Nana mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan
cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas
tadi. Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan
mengalirkan cairan pelicin. Nana mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan
melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas.. uhh.. enaakk..
enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Nana melemas dan terkulai. Kucabut
penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping Nana
yang terkulai.
“Nana, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Nana memang sering berhubungan
dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil menembus keperawanannya karena
selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh
garangnya Nana mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak
itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Nana selalu
ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu
kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Nana waktu itu kesetanan dan
kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Nana mengaku puas.
Setelah lulus, Nana menikah dan
tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Yogya
bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?”
bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di
hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi
sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa
dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,”
kataku berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba
melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar