>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 3 7 9 4
Top 2D : 03 17 29 34 49
Cadangan 2D : 53 67 73 89 94
TOP SHIO : Kelinci Kuda Naga
COLOK BEBAS : 4 7 9
AS : 0 1 2
KOP : 5 6 8
KEPALA : Besar / Ganjil
EKOR : Kecil / Genap
Menjelang kelahiran anak pertama
saya, ayah mertua meninggal. Keluarga besar istri saya sangat terpukul.
Terutama ibu mertua dan Rosi. Kedua perempuan ini memang yang paling dekat
dengan almarhum. Rumah ini terasa murung berhari-hari lamanya. Tetapi segalanya
berangsur pulih setelah selamatan 40 hari dilaksanakan. Semuanya sudah bisa
menerima kenyataan, bahwa semua pada akhirnya harus kembali. Apalagi semenjak
anak saya lahir, tiga bulan setelah kematian almarhum.
Rumah ini kembali menemukan
kehangatannya. Seisi rumah dipersatukan dalam kegembiraan. Bayi lucu itu
menjadi pusat pelampiaskan kasih sayang. Saya juga semakin mencintai istri
saya. Tapi dalam urusan tempat tidur tidak ada yang berubah. Seringkali saya
tergoda untuk mencari pelampiasan dengan wanita PSK terutama jika teman-teman
sekantor mengajak. Namun saya tak pernah bisa. Sekali waktu saya diajak kawan
ke sebuah salon esek-esek. Saya pikir tidak ada salahnya untuk sekedar tahu.
Salon itu terletak di sebuah kompleks pasar. Kapsternya sekitar 15 orang. Masih
muda-muda, cantik, dan seksi dengan celana pendek dan tank top di tubuhnya.
Para pengunjung seluruhnya laki-laki, walaupun di papan nama tertulis salon itu
melayani pria dan wanita.
Di salon itu para pria minta
layanan lulur, dan konon, di dalam ruang lulur itulah percintaan dilakukan.
Sungguh aneh, saya tidak birahi. Benak saya dipenuhi pikiran bahwa
perempuan-perempuan itu telah dirajam oleh puluhan penis laki-laki. Mungkin
ketika seorang pria menyetubuhinya, saat itu masih ada sisa-sisa sperma milik
pria-pria lain. Inilah yang membuat saya tak pernah bisa menerima diri saya
bersetubuh dengan perempuan PSK. Jadi bukan alasan moral. Saya lebih suka onani
sambil membayangkan perempuan-perempuan lain.
Ketika anak saya berumur tiga
bulan, istri saya sudah mulai masuk kerja dan kegiatan luar kota tetap
dijalankan seperti biasa. Dia sudah dipromosikan dalam jabatan supervisor.
Istri saya tampak senang dengan jabatan barunya, dan makin giat bekerja.
Tioap kali ke luar kota anak saya
diasuh tante-tantenya. Rosi atau Mayang atau kadang-kadang Mak Jah. Hanya jika
makan (bubur bayi) saja tante-tantenya tidak sabaran. Mereka tak sanggup
menyuapi bayi. Saya sendiri geli melihat bayi makan. Bubur itu sepertinya tidak
pernah mau masuk ke dalam perut. Hanya keluar masuk dari bibirnya. Ibu mertua
saya yang paling telaten. Kadang-kadang satu mangkuk kecil masih nambah jika
ibu yang menyuapi.
Jika siang saya sering tidur
dengan anak saya. Saya senang sekali menatap wajah mungilnya, Saya juga mulai
pintar mengganti popok dan memberinya susu. Hanya kalau malam anak saya tidur
dengan ibu mertua. Soalnya kalau tidur malam, saya susah bangun. Biar anak
menangis keras-keras saya sulit bangun.
Siang itu, sepulang dari kantor,
seperti biasa saya cuci muka dan tangan lalu rebahan di kamar. Badan saya agak
meriang. Mungkin saya akan terkena radang tenggorokan. Kerongkongan saya agak
sakit buat menelan.
Ketika ibu hendak menaruh anak
saya untuk tidur (kalau siang anak saya biasa tidur dua-tiga kali), dengan
terbata-bata saya bilang, “Bu, boleh Nisa tidur sama Ibu?”
Nisa anak saya terlanjur ditaruh
di sebelah saya.
“Ya boleh tho. Memangnya kenapa?”
tanya ibu melepas selendang gendongan.
“Badan saya agak meriang, saya
ingin istirahat,” kata saya.
“Rosi dan Niken sudah pulang Bu?”
Ibu tidak menjawab. Punggung
tangannya ditempelkan ke dahi saya.
“Wah, badan kamu panas. Ya sudah
Nisa biar tidur di kamar Ibu. Kamu istirahat saja. Ayuk cucu, bobo sama eyang
ya?”
Ibu pelan-pela mengangkat Nisa.
Lega rasanya saya. Saya benar-benar ingin istirahat tanpa diganggu tangisan
anak.
Setelah Ibu keluar dari kamar,
saya segera tidur mendekap guling. Benar-benar sakit semua badan saya. Kepala
juga mulai berat. Saya mencoba mengurangi rasa sakit dengan memijit-mijit dahi
dan kening.
“Nak Andy sudah minum obat?”
tanya Ibu di ambang pintu.
“Belum, Bu. Nggak usah. Nanti
saja.”
Dengan badan seperti ini rasanya
saya pengin dikerik. Dulu waktu masih bujang saya sealu minta kerik ibu saya.
Jika sudah dikerik badan terasa ringan dan bugar. Tapi mau minta kerik sama ibu
mertua sungkan. Dulu memang pernah sih dikerik ibu mertua. Tapi itu karena
setelah ibu melihat saya dan istri saya bersitegang soal kerik-mengerik. Istri
saya tidak mau mengerik saya. Bukan apa-apa, dia tidak suka cara itu. Katanya
itu berakibat buruk bagi tubuh. Istri saya memang doctor minded. Maklum dia
dealer obat-obatan, Dia lebih mempercayai dokter dan obat daripada cara-cara
penyembuhan tradisional.
Melihat kami bersitegang ayah
mertua saya membela saya, dan menyuruh ibu mengerik saya.
Kini saya sebenarnya sangat ingin
dikerik. Seolah tahu pikiran saya, ibu menawarinya.
“Mau ibu kerik?”
“Mm terserah ibu saja,” kata
saya.
Dalam hati saya bersorak. Ibu
memanggil Mak Jah minta diambilkan minyak bayi (baby oil) dan ulang logam.
Sejurus kemudian Mak Jah datang.
“Kamu lagi ngapain?” tanya mertua
saya.
“Setrika baju, Bu”
“Ya sudah..” Ibu duduk di tepi
ranjang.
“Lepaskan bajunya,” kata ibu.
Saya melepas baju dan celana
panjang saya. Saya bungkus bagian bawah tubuh saya dengan kain sarung, lalu
tengkurap. Ibu mulai mengerik bagian punggung. Nikmat rasanya. Kadang-kadang
saja terasa sakit. Mungkin itu karena di daerah situ ada penyumbatan aliran
darah. Entahlah.
“Merah semua nih Nak Andy,”
komentar ibu mertua. Saya hanya bergumam.
Ibu mertua memang pandai
mengerik. Bahkan lebih pandai dibanding ibu saya. Secara keseluruhan tidak
menimbulkan rasa pedih. Bahkan seperti dipijat utur. Saya benar-benar rileks
dibuatnya, Apalagi kalau ngerik ibu ini sangat sabar. Hampir tiap jengkal badan
saya dikerik. Ibu menarik kain sarung, dan sedikit menurunkan CD saya, lalu
mengerik bagian pantat. Sudah itu bagian paha. Selesai paha aku diminta
membalikkan badan. Dikeriknya dada saya. Yang ini agak berat. Saya banyak
gelinya. Alalagi kalau arah kerikan menuju bagian ketiak. Uhh seperti
digelitik. Saya berkali-kali merapatkan tangan saya menahan geli. Ibu tersenyum
melihatnya. Setelah beberapa saat badan saya mulai beradaptasi. Rasa geli
berkurang. Saya mulai membuka mata yang tadi ikut terpicing menahan geli. Saya
liat wajah ibu mertua saya.
Mungkin kalau tua nanti istri
saya akan seperti ini ya. Umur ibu sekitar 50 tahun. Masih ada sisa-sisa
kecantikan. Bagian wajahnya masih terlihat kencang. Hanya bagian leher dan
lengan yang tampak memperlihatkan usianya. Kasihan sebenarnya, usia segitu
sudah ditinggal suami.
Tiba-tiba badan saya
tergelinjang. Refleks saya mencengkeram lengan ibu. Rupanya ibu mulai mengerik
bagian perut. Ini yang membuat saya geli. Bahkan sangat geli. Bulu kuduk saya
ikut berdiri. Ibu terus mengerik perut saya, dan saya terus mencengkeram lengan
ibu. Sesekali saya mengangkat bagian perut dan pinggul saya hingga menyentuh
tubuh ibu. Gesekan-gesekan itu ternyata mnimbulkan rangsangan pada penis saya.
Sedikit demi sedikit penis saya mengembang. Tegang. Gila. Nafsu saya juga
muncul perlahan-lahan. Saya bahkan dengan sengaja menempelkan bagian penis saya
ke pinggang ibu. Sedikit menekannya dengan berpura-pura geli oleh kerikannya.
Padahal tidak. Saya sudah mulai beradap tasi lagi. Tangan saya masih
mencengkeram lengan ibu.
Jantung saya berdebar-debar
ketika ibu menurunkan sarung. Di hadapannya tubuh bawah saya terbungkus CD
dengan isi yang menegang dengan sempurna. Maksimal. Sesekali saya lihat ibu
melirik ke arah penis saya. Diturunkannya bagian atas CD saya. Hanya sedikit.
Ahh padahal saya berharap seluruhnya ditanggalkan. Saya rasakan ujung penis
saya tersembul keluar. Mustahil ibu tak meihatnya. Saya tatap wajahnya.
Wajahnya tak menampakkan reaksi apa-apa. Mungkinkah perempuan ini sudah tawar
terhadap seks? Ataukah dia menganggap saya tak lebih dari anaknya sendiri?
Apakah dia pernah melihat penis lain selain milik suaminya?
Kerikan di bagian bawah perut
menimbulkan sensasi yang luar biasa. Sesekali secara tak sengaja tangan ibu
menyentuh ujung penis saya. Seperti dikocok dengan lembut. Saya telah
benar-benar terangsang. Birahi saya membakar kepala saya. Saya beranikan diri
mengelus lengan ibu.
“Ibu makasih sudah mau mengerik
badan saya,” kata saya gemetar.
Ibu cuma tersenyum. Saya tak tahu
artinya. Ia terus mengerik. Saya memberanikan diri menurunkan sedikit lagi CD
saya, sehingga separuh penis saya keluar.
“Bagian sini juga kan Bu?” kata
saya menunjuk selangkangan.
“Iya,” suara ibu bergetar.
Sentuhan tangannya ke arah penis
saya makin sering. Makin nikmat rasanya. Saya makin tak tahan. Saya turunkan
sedikit lagi CD saya, dan kini terbukalah seluruhnya. Saya rasakan kerikan ibu
sudah mulai kacau. Saya tahu ibu mulai terpengaruh oleh pemandangan di
depannya. Ya. Mustahil kalau tidak. Bagaimana pu dia perempauan biasa, dan saya
laki-laki asing.
Saya pegang tangan ibu, saya
bimbing dengan pelan dan cemas menuju penis saya. Saya taruh tangan itu di
sana. Tak ada reaksi. Tangan itu hanya diam. Saya berusaha menggerak-gerakan
penis saya. Sekali waktu saya sentakkan.
“Bu..” saya mendesis dan
menggerak-gerakkan pinggul saya.
Ibu sudah tak konsentrasi lagi di
kerikan. Gerakannya sudah bukan lagi gerakan mengerik, tapi lebih menyerupai
garukan. Saya usap punggung ibu. Saya telusuri lekuk badannya. Dia mengenakan
daster. Saya rasakan tali BH di punggungnya. Saya jadi penasaran seperti apa
rupa payudara perempuan 50 tahun. Ibu meremas-remas penis saya, mengocoknya
perlahan. Saya buka resluiting dasternya. Saya buka kancing BH-nya. Saya remas
kulit punggung. Memang tidak sekenyal istri saya atau Rosi. Tapi putihnya tetap
membuat saya makin terangsang. Saya rebahkan tubuh ibu, saya cium pipinya,
telinga, leher dan bibirnya. Kami berciuman penuh nnafsu. Saya lepaskan dasternya
di bagian atas. Hmm, payudara yang kendur. Tapi apa peduli saya. Saya telah
dikuasai oleh nafsu. Saya ciumi payudara itu, saya hisap, saya remas. Ibu
menggeliat-geliat dan mengocok penis saya. Saya turukan CD-nya. Ahh seperti
apakah rupa memek perempuan 50 tahun? Seperti apakah rasanya?
Memek itu dibalut rambut yang
amat lebat. Sepintas tak ada bedanya dengan milik istri saya. Sama-sama
kenyalnya. Perbedaan baru saya ketahu setelah penis saya menyentuh lubang
vaginanya. Terasa kendurnya. Tetapi gerakan-gerakan yang dilakukan ibu
memberikan efek yang fantastis bagi saya. Saya belum pernah merasakan yang
seperti itu. Istri saya seperti telah saya ceritakan, tidak enjoy dengan seks.
Tampaknya seks adalah bagian dari kewajiban rumah tangga, sehingga persetubuhan
kami pun lebih mirip formalitas. Orgasme yang dia dapatkan tampakya tak pernah
mengubah sikapnya terhadap seks.
Kini di bawah saya, ibu mertua
seperti mengajarkan kepada saya, bagaimana seorang perempuan sejati di atas
ranjang. Penis saya seperti diputar-putar, diremas-remas oleh memeknya. Luar
biasa. Saya lebih banyak diam. Hanya bibir dan tangan saya yang bergerak ke
sana-kemari, sedangkan bagian pinggul hanya diam menerima semua perlakukan ibu.
Ibu merintih-rintih, mengerang,
lalu mendekap saya. Gerakannya makin hebat, membuat saya tak tahan lagi. Saya
menggenjot pinggul sekuat tenaga, dengan kecepatan penuh. Kedua kaki ibu
menekan betis saya, bibirnya mencium dan mengisap leher saya. Lalu diciumnya
bibir saya dengan rakus. Hampir digigitnya. Dan srrt srtt srtt sperma saya
memancar di dalam vaginanya. Saya tahu ini akan aman bagi rahim ibu. Senyap di
dalam kamar. Tubuh saya lemas, tapi pikiran jadi jernih. Ibu bergegas
membetulkan letak dasternya, mengenakan CD, dan menghilang dari hadapan saya.
Saya tertidur. Malas mau ke kamar mandi.
Peristiwa itu membuat hubungan
saya dengan ibu menjadi kaku. Ibu berusaha menghindari berdua dengan saya.
Beliau juga hanya bicara seperlunya. Tampaknya beliau amat terpukul atau malu.
Saya sendiri berusaha bersikap wajar. Apa yang telah terjadi antara saya dengan
Mbak Maya dan Rosi telah mengajarkan saya bagaimana bersikap wajar setelah
terjadinya skandal. Beda dengan ibu dan Mbak Maya yang berubah drastis. Mereka
cenderung murung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar