>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 7 5 0 4
Top 2D : 07 15 24 34 45
Cadangan 2D : 50 67 70 84 95
TOP SHIO : Kambing Harimau Babi
COLOK BEBAS : 0 4 5
AS : 1 2 3
KOP : 6 7 8
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : Kecil / Genap
Terus terang, semuanya terjadi secara tidak sengaja. Pada
waktu itu aku membeli buku tentang indera ke-enam atau “bawah sadar”, tadinya
sekedar iseng waktu berada di suatu toko buku. Inti buku itu mengajarkan
begini. Kalau kita menginginkan sesuatu maka kita harus mencoba
menvisualisasikannya.. Suatu saat apa yang kita visualisasikan itu akan
terjadi, akan terlaksana. Mimpi? Bukan. Sebab untuk mencapai indera ke-enam
seseorang justru tidak boleh tertidur, tetapi perlu menurunkan gelombang
listrik di-otaknya dari gelombang beta menjadi alfa. Caranya? Gampang sekali..
Kita cukup memejamkan mata, membayangkan menuruni tangga spiral dengan minimal
10 gigi. Saat anda membayangkan ini, gelombang listrik di otak anda akan
menurun frekuensinga dari 13 cycle atau lebih perdetik, menjadi 8-13 cycle per
detik. Kelihatannya mudah tetapi butuh latihan, jadinya ya sukar.. He. He.. Nah
di saat itulah kita memasuki bawah sadar (unconsciousness)
Apa keinginnan saya? Lha ini yang kurang ajar. Aku ingin
nangkring di tubuh Nyai Elis (waktu muda panggilannya Neng Elis). Nyai Elis
adalah ibu kostku. Kenapa Nyai? Pertama, kemungkinan hamil nol persen. Pada
usia 48 tahun biasanya wanita sudah masuk masa menopause. Yang kedua,
ditanggung bersih, sehat tak mungkin kena penyakit “kotor” seperti gonorrhoe,
syphilis, HIV dsb. Yang ketiga, gratis tidak perlu bayar, karena sama-sama
menikmati. Untuk wanita, bersebadan dengan orang usia lebih muda akan menambah
hormon estrogen, hormon khas wanita. Kalau wanita kekurangan hormon ini akan
menderita osteoporosis, yaitu tulang menjadi rapuh, mudah patah.
Meskipun sudah kepala empat, tapi jangan meremehkan
kecantikannya. Wajah Nyai masih terlihat ayu. Kulit kuning langsat, tubuh
langsing semampai. Secara legendaris, wanita sunda sangat rajin memelihara
wajah dan tubuhnya. Mandi lulur sudah seperti prosedur tetap mingguan.
Membedaki wajah dengan berbagai ramuan menjadi rutinitas harian. Itu sebabnya
tidak hanya wajah dan tubuhnya yang mengesankan. Bau badannya juga sedap dengan
aroma lembut. Lalu kalau mau tahu seperti siapa? Seperti siapa ya..? Nah
kira-kira seperti itu.. Diana Lorenza, janda beranak satu dari Heru Kusuma.
Sudah tiga tahun aku tinggal di kost milik keluarga
Padmadireja (suami Nyai Elis), pensiunan wedana di salah satu kabupaten di Jawa
Barat. Keluarga Pak Padma-Nyai Elis ini mempunyai putera dua orang, semua sudah
berkeluarga dan tinggal di Jakarta. Tinggalah Bapak–Ibu semang kostku ini
dibantu seorang PRT dan seorang supir. Semua karyawan ini pulang sore.
Sudah seminggu aku latihan meditasi, belum ada hasil. Tambah
tiga hari lagi, meskipun hampir putus asa. Tiba-tiba.., pada hari ke sebelas..
Malam itu sudah pukul 10, pintu kamarku diketuk orang.
“Mas Agus.. Mas Agus”
“Ya.. Nyai”
“Tolong kerokin ibu sebentar ya..”
Pucuk dicinta, ulam tiba, burung dahaga, apem menganga..,
hatiku berjingkrak bukan main.
“Sebentar Bu, saya ganti pakaian dulu”
Kamar-kamar yang dipakai kost letaknya di belakang rumah
utama, dipisahkan oleh satu kebun kecil. Ada enam kamar, membentuk huruf U
mengelilingi kebun. Masing-masing kamar berpenghuni satu orang. Kebetulan waktu
itu masa liburan, namun karena aku harus mengejar “deadline” penyelesaian
skripsi, terpaksa aku tidak dapat mudik. Hiya khan, masak sudah jadi mahasiswa
PTN terkenal seantero dunia rela di-DO.
Singkat cerita aku sudah duduk di tepi tempat tidur di kamar
Nyai. Duduk dengan bersimpuh, ya.. seperti “pengerok” professional itu. Badan
Nyai dalam posisi tengkurap di depan saya. Punggungnya yang putih, mulus tanpa
penutup apapun. Hanya tali BH sudah dilepas, tetapi buah dadanya masih sedikit
terlihat, tergencet di bawahnya.. Leher Nyai terlihat jenjang, putih, dengan
rambut yang panjang sampai ke pinggang, disibakkan ke samping. Punggung ke
bawah ada sejenis kain sarung yang diikatkan sekenanya secara longgar. Ke
bawah, kain itu hanya menutupi sampai lipatan lutut. Di bawahnya betis yang
halus, kencang.
Wajah Nyai menghadap ke samping di mana saya duduk. Sesekali
meraba lutut saya, entah apa maksudnya. Pemandangan ini mampu dan makin
mengeraskan burungku yang sejak dari kamar tidurku mulai melongok, eh.. bangun
menggeliat (Jawa: ngaceng). Dalam waktu 15 menit seluruh punggung Nyai sudah
aku keroki. Suasana sekitar kamar hening, hanya degub jantungku yang makin
mengeras.
Burungku, pelan tapi pasti makin menegang juga. Aku diam,
Nyai juga demikian. Mau ngomong apa aku? Bicara tentang Pak Padma..? Ah sama
aja bicara tentang kompetitor. Toh malam ini aku yang akan menjadi “Mas Padma”,
akan menumbuk padi di lumbung Nyai. Mau ngomong anak-anak Nyai? Yang akan ditengok
Pak Padma yang sore tadi berangkat? Ngapain toh sebentar lagi aku akan
menganggap Nyai ini ibarat pacarku.
“Pinggangnya juga ya Mas..”
“Ya.. Ya.. Bu..”, jawabku seperti terbangun dari lamunan
berahi.
Aku tarik kain yang menutupi pinggang Nyai. Ya ampun..
Rupanya Nyai sudah melepas celana dalamnya. Kini di depan mataku ada
pemandangan yang.. Waduh.. Ada gambaran parit sempit di tengah tulang pinggang
memanjang ke bawah.. Terus.. Ke bawah, berujung di satu celah sempit di antara
dua bukit pantat yang putih padat.. Menggemaskan.. Aku bayangkan.. Apa yang ada
di depan pantat itu..
Tiba-tiba Nyai membalikkan badannya..
“Depan ya Mas..”
Dengan mata terbelalak kaget, kini aku melihat pemandangan
yang luar biasa, yang belum pernah kulihat selama 24 tahun berada di kolong
langit. Seorang wanita dengan kulit langsat telanjang bulat, dengan lingkaran
perut pinggang ramping, buah dada masih lumayan besar, meskipun sudah rebah ke
samping. Di tengan buah dada yang ber “pola” tempurung, terlihat puting besar
warna hitam dikelilingi area hitam kecoklatan.. Di bawah pusar ada rambut yang
mula-mula jarang tetapi semakin ke bawah semakin lebat, sepeti gambaran menara
“Eiffel” dengan ujung runcingnya menuju pusar.. Di pangkal tumbuhnya rambut
terdapat gundukan vagina yang pinggir kiri dan kanannya tumbuh rambut, bak
gambaran hutan kecil.. Ampun mana tahan.. Mau pecah rasanya penisku menahan
tekanan akumulasi cairan di pembuluh darah penisku.
“Nyai Aku nggak tahan lihat begini..?”
“Maksudnya, Mas Agus sudah capai..?”
“Enggak Nyai.. Burung saya sudah.. Nggak bisa.. Nggak bisa..
Saya nggak tahan lagi..!”
“Lho, kok baru bilang sekarang.. Ayo naik..”, sambil berkata
demikian tangan kanannya melambai, mempersilakanku menaiki perutnya..
Seperti kucing kelaparan, aku segera mengangkangi perut
Nyai, aku mau mencium pipinya, lehernya, mau melumat bibirnya. Tetapi gerakanku
membungkuk terganjal burungku yang keras dan sakit waktu tertekuk. Malah ketika
kupaksakan dan terus tertindih perutku, pertahanan katupnya jebol. Karena
tiba-tiba.., crut.. crut.. crut.. Dari burungku tersembur, memancar air mani,
yang disertai rasa nikmat. Ejakulasi!! Semburan air maniku mengenai dada Nyai,
leher dan perutnya.
Setelah menyembur, burungku sedikit kendur, aku peluk leher
Nyai, aku kulum dengan berapi-api bibirnya. Rupanya Nyai merespons dengan penuh
gairah juga. Aku gigit dengan lembut bibirnya, sesekali aku sedot lidahnya.
Lima menit lamanya, baru aku tersadar.
“Maaf Nyai, air mani saya tadi..”
“Ah, nggak apa-apa, itu tandanya Mas Agus masih “jejaka
ting-ting”, nanti sebentar juga bangun lagi.”, sambil berkata demikian, Nyai
mencium lagi bibirku. Tentu saja aku membalasnya dengan lebih bernafsu.
Kecuali bibirku melumat bibir Nyai, tanganku juga meraba
buah dada Nyai. Memang sudah tidak gempal, tapi masih “berisi” 80 persen. Kedua
tanganku masing-masing meraba, memeras-meras, memilin-milin puting Nyai. Kadang
saking gemasnya cengkeraman tanganku ke buah dadanya agak keras, menyebabkan
Nyai meringis menggeliat. Begitu juga bila puting Nyai aku pilin agak kuat,
nyai bereaksi..
“Enak, enak.. Tapi sakit Mas.. Jangan keras-keras.. Yang
(maksudnya Sayang)..”
Tanpa terasa saat aku menggulati tubuh Nyai, mendekami dada,
perut, menekan vagina Nyai dengan penisku, terasa burungku mulai menggeliat
lagi. Makin lama makin keras.
“Nyai.. Burung saya.. Nyai mau.. Lagi..?”
“Nah, apa khan.. saya bilang, ayo.. lagi, tapi ‘ntar.. Yang,
aku bersihkan badanku dulu ya.. ya..”
Nyai masuk ke kamar mandi dalam di ruang tidur. Keluar dari
kamar rambutnya terlihat sedikit basah, sebagian terjurai di lengan. Ya..
Tuhan.. Cantik sekali dewi ini..
Aku pun juga masuk juga ke kamar mandi, membersihkan bagian
badan yang terkena air mani. Keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang
bulat, terlihat burungku tegak, keras mendongak ke atas membentuk sudut 45
derajat dengan garis horizontal. Batangnya besar, warna kehitaman dengan
tonjolan pembuluh darah membujur, sebagian melintang. Seperti tongkat ukiran.
Ujungnya, gland penis, besar, kemerahan, membentuk topi baja yang mengkilat.
Antara gland penis dan batang terlihat leher penis yang dangkal. Rasanya aku
mau berkelahi dengan membawa senjata golok.
Waktu Nyai melihat aku dan memperhatikan penisku..
“Hei.. Gede buanget.. Hebat buanget.. Pasti nikmat
buanget..” Aku menyahuti tiruan iklan itu, dengan meletakkan ibu jari tangan
kananku di depan bibirku..
“Sssstt..” Tentu saja Nyai senyum atas jawaban spontanku.
Kisah Sex Di Buat Melayang-Layang Bersama Nyai – Langsung
akau naiki perut Nyai. Dengan lutut menahan badan, aku sedikit menunduk,
memegang penisku. Segera kumasukkan ke liang vagina Nyai. Aku takut kalau nanti
terlambat masuk ke vagina, maninya tersembur lagi keluar. Nyai maklum juga
kelihatannya. Kupegang penisku, kepalanya kuhadapkan di depan vagina Nyai, lalu
kudorong masuk. Bless.. Lega sekali rasanya. Kalau nanti muncrat, ada di dalam
liang vagina Nyai..
Lalu aku rebahkan tubuhku ke depan dengan bertumpu pada
kedua sikuku. Bertemulah dadaku dengan buah dada Nyai, bibirku dengan bibir
Nyai. Kedua tanganku memegang pipi Nyai, Nyai kucium mesra, lalu
kucucuk-cucukkan bibirku pada bibirnya, eh.. menirukan burung yang bercumbu.
Sesekali tanganku meremas buah dadanya, memilin putingnya, terkadang mulutku
turun ke bawah, menghisap puting buah dada Nyai, bergantian kanan dan kiri
Akan halnya penisku waktu kumasukkan ke liang vaginanya,
rasanya memasuki ruang kosong, berongga. Tetapi setelah itu rasanya ada kantong
yang menyelimuti. Permukaan kantong itu bergerigi melintang, pelan-pelan
kantong itu “meremas “penisku. Tak ingin cepat berejakulasi maka kutarik
penisku, kantong vagina itu tidak “mengejar”nya. Kumasukkan lagi seperti tadi,
terasa masuk ruang kosong, sebentar liang vagina mulai meremas, kutarik lagi.
Begitu beberapa kali. Terkadang penisku agak lama kutarik keluar, sampai
tinggal “topi bajanya” yang ada di antara ‘labia mayora’-nya. Terus begini Nyai
mencubitku..
“Masukkan lagi Yang..”
Gerakkan in-out ini makin cepat, “pengejaran” penis oleh
sekapan kantong vagina juga makin cepat. Di samping itu di pintu masuk, bibir
luar (labia mayora) dan bibir dalam (labia minora) juga ikut “mencegat”
penisku. Makin cepat aku keluar-masukkan penisku, Nyai terlihat makin menikmati,
demikian juga aku sendiri. Ibarat mendaki gunung hampir tiba di puncaknya.
Kecepatan penisku memompa vaginanya semakin bertambah cepat, denyut nadiku
semakin bertambah, nafas juga semakin cepat. Terlihat juga wajah Nyai semakin
tegang menanti puncak orgasme, nafasnya terlihat juga semakin kencang. Cairan
di liang vagina Nyai juga terasa semakin banyak, ibarat oli untuk melicinkan
gesekan penisku. Peluhku mulai menetes, jatuh bercampur peluh Nyai yang tercium
sedap dan wangi.
Makin cepat, makin tinggi.., tiba-tiba penisku terasa
disekap rongga vaginanya dengan kuat.. Kuat sekali dengan denyutan yang cepat
tetapi dengan amplitudo yang rendah. Orgasme! Nyai mencapai orgasme. Di saat
itu lengan Nyai memeluk leherku kuat sekali, sedang tungkainya memeluk pantatku
dengan kencang.
“Aihh..”, terdengar desah kepuasan keluar dari bibir Nyai.
Beberapa menit kemudian lubang penisku terasa jebol, cairan
menyemprot keluar entah berapa cc. Nikmat.., nikmat sekali.. Nikmat luar biasa.
Orgasme Nyai terjadi lebih dulu dari ejakulasiku. Kalau saja Nyai masih bisa
hamil, kata dokter anak yang lahir nanti adalah pria.
Saya masih tetap memeluk Nyai sambil mengendurkan nafas.
Pelan-pelan penisku mulai mengendur, mengkerut. Tapi rupanya Nyai merespons.
Paha dan tungkainya diselonjorkan (diluruskan). Maksudnya memberi jalan agar
penisku keluar.
“Terima kasih Yang, terima kasih Mas Agus.. Mas hebat
sekali..”, bisiknya.
“Kau cantik sekali Nyai, secantik bidadari..”, balasku
Badanku kurebahkan di samping badan Nyai, memeluk Nyai yang
tidur telentang. Kami tidur dalam keadaan telanjang, hanya ditutupi selimut.
Nikmatnya Nyai, nikmatnya wanita, nikmatnya dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar