>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 8 6 3 9
Top 2D : 08 19 23 38 46
Cadangan 2D : 59 63 73 89 98
TOP SHIO : Ayam Babi Anjing
COLOK BEBAS : 3 6 9
AS : 0 1 2
KOP : 4 5 7
KEPALA : Kecil / Ganjil
EKOR : Besar / Ganjil
Kehidupan terus berjalan. Usia
kandungan istri saya menginjak bulan ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi
perempuan kalau sedang hamil muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan
pekerjaan dia sangat bersemangat. Dia memang pekerja yang ambisius.
Berdedikasi, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota
tetap dijalani. Kualitas hubungan seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar
tak ingin disentuh kecuali pada saat benar-benar sedang relaks. Saya juga tak
ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani diam-diam di kamar mandi.
Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-kata Mbak Maya sering
terngiang-ngiang, terutama sesaat setelah sperma memancar dari penis saya.
“Kacian adik iparku ini..” Tapi saya tak punya pilihan lain. Saya tak suka
“jajan”. Maaf, saya agak jijik dengan perempuan lacur.
Tiap kali beronani, yang saya
bayangkan adalah wajah Mbak Maya atau si bungsu Rosi, bergantian. Rosi telah
tumbuh menjadi gadis yang benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik penuh
gairah, dan terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi
sudah tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin
kakaknya. Saya sering mencuri pandang ke arah payudaranya. Ukurannya sangat
saya idealkan. Sekitar 34. Punya istri saya sendiri hanya 32.
Seringkali, di balik baju seragam
SMU-nya saya lihat gerakan indah payudara itu. Keinginan untuk melihat payudara
itu begitu kuatnya. Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi kami sangat
rapat. Letak kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah
gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar Mayang,
kakak Rosi, baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok.
Sehingga tak mugkin buat ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau
tidak salah antara gudang dengan kamar Rosi terdapat sebuah jendela. Dulunya
gudang ini memang berupa tanah kosong semacam taman. Karena mertua butuh gudang
tambahan, maka dibangunlah gudang. Jendela kamar Rosi yang menghadap ke gudang
tidak dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa mengintip isi
kamar Rosi.
Sejak itulah niat saya
kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang begitu Rosi selesai mandi.
Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk mengintip. Karenanya diam-diam
lubang itu saya perbesar dengan obeng. Saya benar-benar takjub melihat sepasang
payudara montok dan indah milik Rosi. Meski sangat jarang, saya juga pernah
melihat kemaluan Rosi yang ditumbuhi bulu-bulu lembut.
Tiap kali mengintip, selalu saya
melakukan onani sehingga di dekat lubang intipan itu terlihat bercak-bercak
sperma saya. Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu. Keinginan
untuk menikmati tubuh Rosi makin menggelayuti benak saya. Tetapi selalu tak
saya temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua saya meminta saya
mendampingi Rosi untuk menghadiri Ultah temannya di sebuah diskotik. Ibu
khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar biasa gembira saya antar Rosi.
Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya menolak. “Kamu kan harus
detailing. Pakai saja. Masa orang hamil mau naik motor?” Padahal yang sebenarnya,
saya ingin merapat-rapatkan tubuh dengan Rosi.
Kami berangkat sekitar pukul
19.00. Dia membonceng. Kedua tangannya memeluk pinggang saya. Saya rasakan
benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali dengan
nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di
punggung. Saya pura-pura tertawa ketika Rosi dengan manja memukuli punggung
saya.
“Mas Andy genit,” katanya.
Pada suatu ketika, mungkin karena
kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan dadanya ke puggung saya.
Menekannya.
“Kalau mau gini, bilang aja terus
terang,” katanya.
“Iya iya mau,” sahut saya.
Tidak ada tanggapan. Rosi bahkan
menggeser duduknya, merenggang. Sialan.
Malam itu Rosi mengenakan rok
span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit. Benar-benar seksi ipar
saya ini.
Di diskotik telah menunggu
teman-teman Rosi. Ada sekitar 15-an orang. Saya membiarkan Rosi berabung dengan
teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau nimbrung. Sudah
tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati tubuh-tubuh indah para
ABG. Tapi pandangan saya selalu berakhir ke tubuh Rosi. She is the most
beautiful girl. Di antara saudara istri saya Rosi memang yang paling cantik.
Tercantik kedua ya Mbak Maya, baru Yeni, istri saya. Mayang yang terjelek.
Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu.
Sesekali Rosi menengok ke arah
tempat duduk saya sambil melambai. Saya tersenyum mengangguk. Mereka turun ke
arena. Sekitar tiga lagu Rosi menghampiri saya.
“Mas Andy udah pesan minum?”
tanyanya.
Dagu saya menunjuk gelas berisi
lemon tea di depan saya. Saya tak berani minum minuman beralkohol, meski hanya
bir. Saya pun bukan pecandu.
“Kamu kok ke sini, udah sana
gabung temen-temen kamu,” kata saya.
Janjinya Rosi dkk pulang pukul
22.00. Tadi ibu mertua juga bilang supaya pulangnya jangan larut.
“Nggak enak liat Mas Andy
mencangkung sendirian,” kata Rosi duduk di sebelah saya.
“Sudah nggak pa-pa.”
“Bener?” Saya mengangguk, dan
Rosi kembali ke grupnya.
Habis satu lagu, dia mendatangi
saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak.
“Ayo. Nggak apa-apa, sekalian
saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok.”
Saya menyerah. Saya ikut saja
bergoyang-goyang. Asal goyang. Dunia diskotik sudah sangat lama tidak saya
kunjungi. Dulupun saya jarang sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik
sekedar supaya tahu saja kayak apa suasananya.
Sesekali tangan Rosi memegang
tangan saya dan mengayun-ayunkannya. Musik bener-benr hingar-bingar. Lampu
berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di lantai disko. Sesekali Rosi menuju
meja untuk minum.
Menjelang pukul 22.00 sebagian
teman Rosi pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga.
“Bentar dong Mas Andy, please,”
kata Rosi.
Astaga. Tercium aroma alkohol
dari mulutnya.
“Heh. Kamu minum apa? Gila kamu.
Sudah ayo pulang.” Segera saya gelandang dia.
“Yee Mas Andy gitu deh.” Dia
merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan saya.
“Udah dulu ya bro, sis. Satpam
ngajakin pulang neh.”
“Satpam-mu itu.”
Saya menjitak lembut kepala Rosi.
Rosi memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya tadi. Dia pun terlihat
sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua. Disuruh jagain kok
tidak bisa. Tapi ada senangnya juga sih. Rosi jadi lebih sering memeluk lengan
saya supaya tidak sempoyongn.
Kami menuju tempat parkir untuk
mengambil motor. Saya bantu Rosi mengenakan jaket yang kami tinggal di motor.
Saya bantu dia mengancing resluitingnya. Berdesir darah saya ketika sedikit
tersentuk bukit di dadanya.
“Hayoo, nakal lagi,” katanya.
“Hus. Nggak sengaja juga.”
“Sengaja nggak pa-pa kok Mas.”
Omongan Rosi makin ngaco. Dia
tarik ke bawah resluitingnya.
Dan sebelum saya berkomentar dia
sudah berkata, “Masih gerah. Ntar kalau dingin Rosi kancingin deh.”
Segera mesin kunyalakan, dan
motor melaju meninggalkan diskotik SO.
Sungguh menyenangkan. Rosi yang
setengah mabuk ini seakan merebahkan badannya di punggung saya. Kedua tangannya
memeluk erat perut saya. Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis saya
menegang sejak tadi. Dagu Rosu disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya
sesekali menyapu telinga saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya
ingin menikmati. Lalu saya seperti merasa Rosi mencium pipi saya. Saya ingin
memastikan dengan menoleh. Ternyata memang dia baru saja mencium pipi saya.
Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi saya. Saya kira dia benar-benar mabuk.
“Mas Andy, Rosi pengin pacaran
dulu,” katanya mengejutkan saya.
“Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu
ya.” Penis saya makin kencang.
“Mau enggak?”
“Kamu mabuk ya?” Dia tak
menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.
“Mas..”
“Hmm”
“Mas masih suka coli?”
“Hus. Napa sih?”
“Pengen tahu aja. Mbak Yeni nggak
mau melayani ya?”
“Tahu apa kamu ini.”
Saya sedikit berteriak. Saya
kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka dia omong begitu, Mungkin reflek
saja karena saya dipermalukan.
“Sorry. Gitu aja marah.” Rosi
kembali mencium pipi saya.
Bahkan dia tempelkan terus
bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah telinga.
“Saya horny Ros.”
“Kapan? Sekarang? Ahh masak.
Belum juga diapa-apain”
Saya raih tangannya dan saya
taruh di penis saya yang menyodok celana saya. Terperanjat dia. Tapi diam saja.
Tangannya merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya.
“Pacaran ama Rosi mau nggak?”
kata Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat.
“Di mana? Lagian udah malam.
Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman.”
“Kalau ama Mas Andy dijamin Ibu
gak marah.”
“Sok tahu.”
“Bener. Ayuk deh. Ke taman aja.
Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja.”
Tanpa menunggu perintah, motor
saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini memang arena asyik bagi
mereka yang seang berpacaran. Meski di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi
karena gelap, yaa tetap enak buat berpacaran.
Kami mencari bangku kosong di
taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah mencarinya. Biasanya cukup ramai
sehingga banyak yang berpacaran di rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi
merebahkan kepalanya di dada saya. Saya tak mengira anak ini akan begini
agresif. Atau karena pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket
dan menaruhnya di dekat bangku.
“Kamu kan belum punya pacar, kok
sudah segini berani Ros?” tanya saya.
“Enak aja belum punya pacar.” Dia
protes.
“Habis siapa pacar kamu?” Saya
genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya.
“Yaa ini.” Dia membuka kancing
kemeja saya. Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli saya.
Inilah saatnya.
Saya kecup keningnya. Matanya.
Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia tersentak, dan memberikan pipinya. Saya
kembali mencari bibirnya. Saya kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia
diam saja. Benarkah anak ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok?
“Kamu belum pernah melakukan ya?”
kata saya.
Dia tak menjawab. Saya cium lagi
bibirnya. Saya julurkan lidah saya. Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap
lidahnya, saya kulum. Tangan saya kini menjalar mencari payudara. Dia
menggelinjang tetapi membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah BH-nya.
Ketika saya menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua
kakinya terjatuh dari bangku dan menendang-nendang rumputan. Saya buka kancing
BH-nya yang terletak di bagian depan. Saya usap-usap lembut, ke kiri, lalu ke
kanan. Saya remas, saya kili-kili. Dia mengaduh. Tangannya terus meremasi
pinggang dan paha saya.
“Mas Andy..”
“Hmm”
“Please.. Please.”
Saya mengangsurkan muka saya
menciumi bukit-bukit itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt srrt..srrt.
Sesuatu keluar dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar, mani
saya telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti ketika bersetubuh
dengan Yeni. Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu hilang. Saya juga
masih merasakan penis saya sanggup menerima rangsangan. Saya masih menciumi
payudara itu, menghisap puting, dan tangan saya mengelus paha, menyelinap di
antara celap CD. Membelai bulu-bulu lembut. Menyibak, dan merasakan daging
basah. Mulut Rosi terus mengaduh-aduh. Saya rasakan kemaluan saya digeggamnya.
Diremas dengan kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu menggeser tempat duduk
karena sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan cengkeramannya.
Lalu dia membuka resluiting
celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat. Tapi dia berhenti sebentar.
“Kok basah Mas?” tanyanya. Saya
diam saja.
“Ehh, ini yang disebut mani ya?”
Sejenak situasi kacau. Ini anak
malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak sampai menempel.
Kayaknya dia mencoba membaui.
“Kok gini baunya ya? Emang kayak
gini ya?
“Heeh,” jawab saya lalu kembali
memainkan kelaminnya.
“Asin juga ya?”
Dia mengocok penis saya dengan
tangannya.
“Pelan-pelan Ros. Enakan kamu
ciumin deh,” kata saya.
Tanpa perintah lanjutan Rosi
mencium dan mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun, Tidak ada enaknya.
Jauhh dengan yang dilakukan Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta dia untuk lebih
pelan. Bahkan sesekali dia menggigit penis saya sampai saya tersentak. Akhirnya
saya kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya.
Setelah itu sunyi. Saya lemas. Saya benahi pakaian saya. Dia juga membenahi
pakaiannya. Tampaknya dia telah terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang
belepotan mani dibersihkan dengan tissu.
“Makasih pelajarannya ya Mas.”
Dia mengecup pipi saya.
“Tapi kamu janji jaga rahasia
kan?” Saya ingin memastikan.
“Iyaah. Emang mau cerita ama
siapa? Bunuh diri?”
“Siapa tahu. Pokoknya just for
us! Nobody else may knows.”
Dia mengangguk. Kami bersiap-siap
pulang. Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya. Menggelendot manja.
Dan pikiran waras saya mulai bekerja. Saya mulai dihinggapi kecemasan.
“Ros..”
“Yaa”
“Kamu nggak jatuh cinta ama Mas
Andy kan? Everyting just for sex kan?”
“Tahu deh.”
“Please Ros. Kita nggak boleh
keterusan. Anggap saja tadi kita sedang mabuk.” Saya menghentikan motor.
“Iya deh.”
“Bener ya? Ingat, Mas Andy ini
suami Mbak Yeni.”
Dia mengangguk mengerti.
“Makasih Ros.” Saya kembali
menjalankan motor.
“Apa yang terjadi malam ini,
tidak usahlah terulang lagi,” kata saya.
Saya benar-benar takut sekarang.
Saya sadari, Rosi masih kanak-kanak. Masih labil. Dia amat manja. Bisa saja dia
lepas kendali dan tak mengerti apa arti hubungan seks sesaat. Lalu saya dengar
dia sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. Segalanya berjalan
seperti yang saya harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun kesempatan
selalu terbuka dan dibuka oleh Rosi. Saya benar-benar takut akibatnya. Saya
tidak mau menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak mau menghancurkan rumah
tangga saya.
Saya hanya menikmati Rosi di
dalam bayangan. Ketika sedang onani atau ketika sedang bersetubuh dengan Yeni.
Sesekali saja saya membayangkan Mbak Maya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar