>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 7 4 1 5
Top 2D : 07 15 24 31 47
Cadangan 2D : 51 65 74 87 95
TOP SHIO : Kuda Naga Harimau
COLOK BEBAS : 1 5 7
AS : 0 2 3
KOP : 6 8 9
KEPALA : Kecil / Ganjil
EKOR : Besar / Ganjil
Aku mengenalnya pertama kali
ketika nunggu bus di sebuah sudut Jakarta. Tiba-tiba saja turun hujan. Aku hari
itu memang sudah sedia payung lipat karena waktu berngkat dari rumah kulihat
langit sudah gelap. Kubuka payungku dan kulihat seorang gadis, masih muda,
berlari menembus hujan. Kusambut saja dia dengan payungku dan kami berpayungan
bersama. Selama berpayungan bersama kami hanya saling berdiam saja. Akhirnya
kami berteduh di bawah emperan toko.
“Iiih, laki-laki kok bawa payung,
tumben-tumbennya ada laki-laki takut hujan” katanya.
“Bukannya berterima kasih,
malahan mencela. Coba kalau tadi aku nggak bawa payung kamu udah basah kuyup”
kataku tanpa merasa tersinggung. Biarin aja orang mau ngomong apapun, nggak
efek bagiku. Tapi aku sendiri heran juga kok tumben memang aku mau bawa payung.
Biasanya cuek aja.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Pulang ke Grogol” jawabnya.
Kutanya namanya, kudengar dia
jawab bahwa namanya Yuli. Akhirnya angkutan yang ditunggunyapun datang. Akupun
pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian di tempat yang sama kembali aku bertemu
dengannya.
“Hai, masih ingat aku?” tanyaku.
“Masih. Mana payungnya, kok nggak
dibawa?” jawabnya.
“Ah, hari panas gini kok”.
“Baru pulang Yul?”
“Namaku Yuni, bukan Yuli”.
“Kemarin Yuli, sekarang Yuni
besok apa lagi,” olokku.
“Kamu aja yang budi, dari dulu
juga namaku Yuni, kadang juga dipangil Ike”.
Dari tadi suaranya datar,
cenderung ketus. Kuajak Yuni untuk makan Soto Betawi di seberang jalan.
“Buru-buru Yun? Makan dulu yuk!”
ajakku.
“Boleh, tapi kamu yang traktir”.
“Jangan kuatir”.
Akhirnya kami masuk ke dalam
warung tenda Soto Betawi. Kupesan dua porsi tapi dia menolak.
“Aku nggak usah, masih kenyang.
Aku minum es teh saja”.
“Ya sudah. Bang sotonya satu es
tehnya dua,” kupesan pada si abang tukang soto.
Kami duduk berhadapan dipisahkan
oleh meja kecil untuk 4 orang. Aku makan dengan cepat dan kemudian mulaiminum
es teh tadi. Karena mejanya kecil lutut kami bisa saling beradu. Tiba-tiba Yuni
menggoyangkan lututnya agak keras.
“Kenapa?” tanyaku.
“Orang di belakangmu dari tadi
lihatin aku terus”.
“Biarin aja, mata dia sendiri
aja”
Kedua lututnya kemudian menjepit
salah satu kakiku. Aku agak terkejut juga.
“Pijitin dong,” kataku.
“Mau? Jangan di sini,” katanya
sambil mengedipkan mata.
Alamak, apalagi yang terjadi
setelah ini?
“Jadi di mana?” pancingku lagi.
“Di hotel saja” sahutnya
berbisik.
Kutatap dia, seolah-olah tak
percaya dia ngajak check in.
Aku segera selesaikan makan,
bayar dan keluar dari warung. Laki-laki yang dibilangnya tadi ngelihatin terus
masih curi-curi pandang ke Yuni. Kami berjalan menuju hotel dekat tempat kami
makan tadi. Sambil jalan kubisikkan di telinganya “Pakai kondom?”
“Terserah aja,” jawabnya.
Aku hampir tidak pernah pakai
kondom, apalagi nawarin teman kencanku untuk pakai kondom dalam bercinta. Entah
kenapa, atau mungkin kasihan aja kepada Yuni makanya kutawarkan pakai kondom.
Sambil jalan kucoba cari-cari apotik atau toko obat, tapi nggak ada sampai kami
tiba di hotel.
Begitu masuk kamar, aku ke kamar
mandi dan membersihkan senjataku. Yuni berbaring di ranjang. Aku keluar dari
kamar mandi dan Yuni menatapku. Ia berdiri dan segera melepas pakaiannya sampai
ia telanjang bulat. Akupun kemudian melepas pakaianku dan berbaring di
sampingnya.
“Mas ini orang mana sih, kok
bulunya banyak sekali?” tanyanya.
“Jawa asli 100%,” kataku.
“Ada turunan Arab atau India kali
ya?” selidiknya lagi seperti tak percaya dengan jawabanku.
“Kamu kerja di mana Yun?”
“Di Pasar Minggu”.
“Kok mau ke Grogol lewat sini?”
“Iya, sekaligus mampir tempat
bapakku kerja”
Setelah ngobrol beberapa saat aku
tahu ternyata dia berasal dari Riau, umurnya sedikit di bawahku. Pada saat ini
aku dapat mengamati dia dengan lebih teliti. Tingginya kutaksir 150 cm,
kulitnya kuning kecoklatan, agak kurus. Rambutnya lurus sebahu, matanya kecil
dan dadanya cukup besar untuk ukuran dia.
“Nggak usah mandi ya” kataku.
“Nggak usah, nanti aja. Nanti aja
sekalian” katanya.
“Oh ya, katanya tadi mau pijitin
saya,” kataku menggodanya sambil kuubah posisi tubuhku tengkurap.
Yuni merapat padaku dan tangannya
mulai memijit tubuhku. Keras juga pijitan tangannya. Ia mulai memijit dari
kaki, kemudian paha, tangan, kepala dan punggungku.
“Udahan, sekarang mana lagi yang
mau dipijit?” tanyanya menantang.
“Depan ini belum dipijit,”
kataku.
Aku membalikkan badan dan Yuni
segera menerkamku dengan ciuman yang ganas. Aku membalas dengan tak kalah
ganas. Kecil-kecil nafsunya besar juga nih anak. Bibirnya bergeser ke bawah dan
ia mencium dan menjilat leherku. Aku menggelinjang nikmat.
Napas kami mulai memburu. Sambil
menciumi dan mengecup dadaku, Yuni memelukku erat. Kulihat buah dadanya yang
kenyal dan padat dihiasi dengan puting kecil yang berwarna merah muda
menantangku untuk segera mengulumnya. Payudara sebelah kanan kusedot dan
kukulum, sementara sebelah kirinya kuremas dengan tangan kananku. Tangan kiriku
mengusap-usap ppipnya dengan lembut. Yuni mengerang dan merintih ketika
putingnya kugigit kecil dan kujilat-jilat.
“Ououououhh.. Nghgghh, Mas..
Ouuhh.. Mas Anto”
Payudaranya kukulum habis sampai
semuanya masuk ke mulutku. Yuni menjilati telingaku. Akupun terangsang hebat.
Meriamku sudah mengeras siap untuk maju dalam pertempuran yang dahsyat.
Yuni melepaskan diri dari
pelukanku dan kini ia menjilati dan menciumi tubuhku. Dari leherku bibirnya
kemudian menyusuri dadaku, dan “.. Oukhh, Yuni.. Yachh.. ” aku mengerang ketika
mulutnya menjilati putingku. Kutolak tubuhnya karena tak tahan dengan
rangsangan yang diberikan pada putingku dan kemudian kugulingkan ke samping.
Bibirku menyambar bibirnya.
Kudorong lidahku menggelitik mulutnya. Lidahku kemudian disedotnya. Tangannya
menjelajah ke selangkanganku dan kemudian mengocok meriamku. Meriamku semakin
tegang dan besar.
“Puaskan aku, Mas. Bawa aku dalam
lautan kenikmatan.. ” ia memekik.
Tidak lama kemudian tangannya
memegang erat meriamku dan kurasakan pantat dan pinggul Yuni bergerak-gerak
menggesek meriamku. Kepala meriamku kemudian masuk ke dalam lubang
kenikmatannya. Terasa sempit dan basah.
“Akhh.. Oukkhh” Yuni mendongakkan
kepalanya dan memberikan kesempatan kepadaku untuk menjilati lehernya yang
tepat di depanku. Ia memutarkan pantatnya dan dengan tusukan keras akhirnya
semua batang meriamku sudah terbenam dalam vaginanya.
Pinggulku bergerak maju mundur
menimba kenikmatan. Kadang gerakanku kuubah menjadi ke kanan ke kiri atau
berputar berlawanan dengan arah putaran pantatnya. Sesekali gerakanku agak
pelan dan kugantung selangkanganku. Pantatnya naik agak tinggi sehingga kepala
meriamku berada di bibir guanya dan kemudian dengan cepat kuturunkan pantatku
hingga seluruh batang meriamku tenggelam ke dalam liang nikmatnya
Punggungnya naik dengan bertopang
pada sikunya. Kuisap puting buah dadanya yang sudah mengeras. Gerakanku menjadi
semakin liar dan berat. Tangannya kini memeluk punggungku dan dadanya merapat
pada dadaku. Tangannya meremas dan menjambak rambutku, mulutnya merintih dan
mengerang keras.
“Anto.. Ouhh Anto, aku mau
nyampai, aku mau kelu.. Ar”
“Sshh.. Shh”
“Anto sekarang ouhh.. Sekarang”
ia memekik. Tubuhnya mengejang rapat diatasku dan kakinya membelit kakiku.
Mulutnya mencari-cari mulutku dan kusambar agar ia tidak merintih terlalu keras
lagi. Vaginanya berdenyut kuat sekali. Akupun merasakan akan menggapai
kenikmatan dan kutekan pantatku ke bawah dengan keras hingga meriamku mentok.
“Akhkhkh Yuni.. Terimalah
tembakanku,” kumuntahkan cairan maniku ke dalam vaginanya. Terasa banyak sekali
dan meleleh keluar menetes di sprei.
Tubuhku melemas di atas badan
Yuni. Keringat kami bagaikan diperas, menitik di sekujur tubuh. Kemaluanku yang
masih menegang kubiarkan tetap di dalam vaginanya sampai akhirnya mengecil dan
terlepas sendiri.
Akhirnya kami bangun setelah
napas kami menjadi teratur. Kami masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan
diri. Kami pulang menuju rumah masing-masing. Karena sudah agak malam dan
angkutan umum sudah jarang, maka kuberikan ongkos taksi untuk Yuni. Kami
janjian untuk ketemu seminggu lagi.
Seminggu kemudian kami sudah ada
di dalam kamar hotel. Kini aku sudah menyiapkan kondom sebelumnya. Begitu masuk
ke dalam kamar, Yuni langsung memelukku dan menciumiku dengan ganasnya.
Tangannya dengan cekatan mempreteli baju kemudian celana dan sekaligus celana
dalamku. Setelah itu kemudian ia membuka pakaiannya sendiri dengan cepat.
Tangannya sudah mengembara ke selangkanganku, meremas, mengurut dan
mengocoknya. Perlahan namun pasti meriamku semakin membesar dan mengeras. Kami
masih berciuman dan memagut leher.
Kami mulai terangsang dan tubuh
kami mulai hangat. Detak jantung mulai cepat dan napas menjadi berat. Kududukan
dia di atas meja di dalam kamar. Kini kami lebih leluasa mengeksplorasi tubuh
kami. Tangannya masih juga bermain di bawah perutku. Tanganku meremas
payudaranya, memilin putingnya. Kutarik pantatnya sedikit ke depan sehingga
posisinya berada di bibir meja. Dengan bantuan tangannya kucoba memasukkan
penisku ke vaginanya dalam posisi aku berdiri. Ia menggerak-gerakkan pantatnya
untuk membantu usahaku. Digesekkan kepala penisku pada bibir vaginanya.
Setelah cukup pelumasan ia
berbisik, “Dorong Mas.. Dorong”.
Kudorong pantatku dengan pelan
dan akhirnya batang meriamku bisa masuk dengan lancar ke dalam guanya. Dalam
beberapa saat kami masih bertahan pada posisi berdiri. Kakiku sudah mulai
gemetar menahan tubuhku. Kuangkat tubuhnya kemudian kugendong berjalan ke arah ranjang.
Uuppss.. Sayang penisku terlepas. Kudorong dia sambil tetap berpelukan dan
berciuman ke kamar mandi. Sampai kamar mandi kulepaskan pelukanku dan kami
membersihkan milik kami masing-masing terlebih dahulu untuk melanjutkan
permainan berikutnya yang lebih panas.
Kubopong tubuhnya yang mungil dan
kuhempaskan ke ranjang. Sebentar kemudian kami kembali bergumul untuk saling
memberi dan menerima kenikmatan. Yuni berada di atas tubuhku. Kepala Yuni ke
bawah, ke perut dan terus ke bawah. Digigitnya meriamku dengan gigitan kecil di
sepanjang batangnya.
Yuni memandangku dan aku menarik
buah zakarku sehingga batang penisku juga tertarik dan berdiri tegak menantang.
Aku memberi isyarat ketika kepalanya ada di atas selangkanganku. Kepalanya
kemudian bergerak ke bawah. Ia mengisap-isap kepala penisku dan menjilatinya.
Tiba-tiba tubuhku seperti kena
sengatan listrik ketika lidah Yuni menjilat lubang kencingku. Kulihat Yuni
dengan asyiknya menjilat, menghisap dan mengulum kepala meriamku. Ia tidak
memasukkan seluruh batang penisku ke dalam mulutnya, melainkan hanya kepala
penisku saja yang menjadi areal kerjanya.
Kutarik tubuhnya dan kini
kutindih. Yuni memelukku dan menciumi daun telingaku. Aku merinding. Dadanya
yang kencang dan padat menekan dadaku. Kucium bibirnya dan kuremas buah
dadanya.
“Ouhh ayo Mas.. Aku.. Masukkan
Mass.. Ayo masukkan.. ”
Aku menurunkan pantatku dan
segera penisku sudah tengelam dalam lubangnya.
“Mass.. Enak sekali Mas Anto,
aku.. Oukhh”
Ia memekik kecil, lalu kutekan
kemaluanku sampai amblas. Tangannya mencengkeram punggungku. Tidak terdengar
suara apapun dalam kamar selain deritan ranjang dan lenguhan kami.
Kucabut kemaluanku, kutahan dan
kukeraskan ototnya. Pelan-pelan kumasukkan kepalanya saja ke bibir gua yang
lembab dan merah.
Yuni terpejam menikmati
permainanku pada bibir kemaluannya.
“.. Hggk.. “. Dia menjerit
tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya.
Kumaju mundurkan dengan pelan
setengah batang sampai tujuh kali kemudian kusodokkan dengan kuat sampai semua
batangku amblas. Yuni menggerakkan pinggulnya memutar dan naik turun sehingga
kenikmatan yang luar biasa sama-sama kami rasakan. Kejantananku seperti
dipelintir rasanya. Kusedot payudaranya dan kumainkan putingnya dengan lidahku.
Yuni seperti orang yang mau
berteriak menahan sesuatu menikmati hubungan ini. Ia memukul-mukul dadaku
dengan histeris.
“Auuhkhh.. Terus.. Teruskan..
Mass Anto.. Enak sekali.. Ooh”
Kini kakiku menjepit kakinya.
Ternyata vaginanya nikmatnya memang luar biasa, meskipun agak becek namun
gerakan memutarnya seperti menyedot penisku.
Aku mulai menggenjot lagi. Yuni
seperti seekor singa liaryang tidak terkendali. Keringat membanjiri tubuh kami.
Kupacu Yuni mendaki lereng terjal penuh kenikmatan. Kami saling meremas,
memagut, dan mencium.
Kubuka lagi kedua kakinya, kini
betisnya melilit di betisku. Matanya merem melek. Aku siap untuk memuntahkan
peluruku.
“Yuni, aku mau keluar.. Sebentar
lagi Yun.. Aku mau.. “.
“Kita sama-sama Mas, Ouououhh..
“. Yuni melenguh panjang.
Sesaat kemudian.., “Sekarang Yun.
Ayo sekarang.. Ouuhh”, aku mengerang ketika peluruku muntah dari ujung rudalku.
“Mas Anto.. Agghh” kakinya
menjepit kakiku dan menarik kakiku sehingga kejantananku tertarik mau keluar.
Aku menahan agar posisi
kemaluanku tetap dalam vaginanya. Matanya terbuka lebar, tangannya mencakar punggungku,
mulutnya menggigit dadaku sampai merah. Kemaluan kami saling membalas berdenyut
sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi dan
tenang. Kami membersihkan diri dan check out dari hotel.
Aku menggauli Yuni sampai lima
kali dan setelah itu tidak pernah bertemu lagi. Dulu aku pernah minta nomor
telepon kantornya tapi dia tidak mau memberikannya. Entah apa alasannya. Sampai
sekarang aku tak pernah bertemu lagi dengan dirinya, meskipun kadang-kadang aku
masih nongkrong di tempat biasa kami bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar