>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 3 2 6 1
Top 2D : 03 12 26 31 43
Cadangan 2D : 53 62 76 81 93
TOP SHIO : Kelinci Ayam Kerbau
COLOK BEBAS : 1 2 3
AS : 0 1 2
KOP : 4 5 6
KEPALA : Besar / Genap
EKOR : Kecil / Ganjil
Bu Chintya, begitulah kami biasa
memanggilnya. Seorang wanita muda yang tak hanya cerdas dan penuh kharisma
namun juga cantik dan modis. Beliau resmi mengajar di fakultas kami baru 1
semester. Tapi dengan berjuta keanggunan itu, tak heran jika beliau langsung
dikenal & dikagumi oleh seluruh penghuni kampus.
Tapi hal ini lain bagi mahasiswa
TA bimbingan Bu Chintya. Kemarin pagi Bu Chintya mengirimkan e-mail yang
mempersilahkan seluruh mahasiswa bimbingannya mengirimkan pekerjaan
masing-masing via e-mail, kemudian beliau menjadwalkan kami untuk bimbingan di
rumahnya selama beliau cuti. Sungguh seorang dosen yang sempurna. Cantik,
cerdas dan penuh integritas.
blok
C3 nomer 21, begitu aku membaca kembali sms
yang berisi alamat Bu Chintya. Tak terasa aku telah sampai di perumahan Griya
Pesona, dan tinggal 1 blok lagi aku telah sampai di kediaman beliau.
sebelah
kiri jalan, gerbang merah maroon, kataku
dalam hati sambil memarkirkan motorku didepannya. Rumah itu tidak terlihat
megah, tapi terlihat sangat rapi. Kombinasi warna lampu tamannya terlihat
sangat menarik dimataku.
Dan seolah tidak ingin
membuang-buang waktu lagi, aku bergegas memencet bel dibalik gerbangnya.
selamat
malam begitu sambut sosok pemilik rumah yang
sudah kukenal baik itu. Dan tak lama kemudian, kami sudah duduk berhadapan di
ruang tamu yang ukurannya juga tidak terlalu luas.
Malam itu Bu Chintya mengenakan
atasan tanpa lengan berwarna hitam, dengan bawahan celana ketat berwarna
abu-abu. Sungguh padu padan yang pas sekali, terlihat sexy tetapi tidak
menyirnakan keanggunannya. Sangat cantik.
kamu
tadi tidak kehujanan kan? tanyanya membuka pembicaraan.
tidak
Bu. Ibu sudah sehat? kataku basa-basi
ah,
saya sebenarnya juga tidak merasa sakit kok
jawabnya sambil tersenyum dan menyalakan netbook-nya.
Dhimas
Perdana, HC04XXXXX, betul kan? katanya
sambil membuka file pekerjaanku, dan aku pun mengangguk meng-iya-kan.
nah,
saya harus mengatakan kepadamu bahwa kamu selalu mengulang kesalahan yang sama.
Sekarang kamu baca hasil pekerjaanmu dan silahkan bertanya kalau ada yang belum
paham katanya sambil memutar netbook berisi
draft TA yang penuh coretan-coretan highlight itu kearahku
seperti
yang sudah saya katakan kemarin, sebaiknya tulisanmu jangan bertele-tele.
Gunakan sumber materi yang valid dan jangan menuliskan pendapatmu sendiri
kedalam dasar teori. Kalau kamu ingin mengutip, blablabla
Begitulah Bu Chintya menelanjangi
hasil kerjaku seolah semua yang kukerjakan penuh kesalahan. Sekilas aku melirik
wajah cantik yang penuh ekspresi itu, dan memang semua yang dikatakanya tidak
salah.
maaf
Bu, kalau mengenai paragraf ini, kira-kira yang salah bagian mana? kataku sedikit memotong pembicaraannya sambil menghadapkan
netbook itu kearahnya
nah,
kalau yang ini mengenai penggunaan kalimatnya. Kalimat ini mengandung makna
yang sama persis dengan bagian ini, begitu
katanya sambil menyorot beberapa kalimat dibawahnya
maaf
bu, boleh saya duduk disitu, soalnya dari sini kurang jelas begitu sahutku sambil menunjuk bangku panjang yang diduduki
Bu Chintya
ya
silahkan katanya sambil menggeser posisi
duduknya.
Dan akhirnya malam itu kulewati
dengan duduk bersanding Bu Chintya sambil mendengarkan ceramahnya.
Malam minggu, hujan gerimis mulai
turun, dan duduk bersanding Bu Chintya. What
a perfect weekend begitu kataku dalam hati. Dan
tentu saja kalimat-kalimat yang terdengar dari bibir tipis itu tidak sepenuhnya
lagi kusimak. Aku lebih memperhatikan gerak bibirnya dari belakang sambil
menikmati kecantikannya parasnya.
ada
pertanyaan lagi? katanya mengakhiri penjelasannya
ehm,
tidak bu jawabku cepat
kamu
ini sebenarnya sudah paham, tapi kurang serius saja menulisnya. Tolong yang
serius yak,, kasihan penelitianmu. Kabarnya TA ini sudah 4 semester tidak kamu
kerjakan ya?
hehe,,
kan yang 1 tahun cuti Bu.. jawabku sekenanya
apa
bedanya??? Ya pokoknya saya harap semester ini kamu selesaikan. Kalau tidak,
silahkan cari pembimbing lain saja kata Bu Chintya
dengan nada tegas.
ngomong-ngomong
kamu mau minum apa? Saya buatkan kopi sambil nunggu hujan reda ya? kata Bu Chintya sambil beranjak berdiri
What
a super perfect weekend!! Sekarang malah acara ngopi bersama Bu Chintya begitu kataku dalam hati dengan polos.
Dan satu hal lagi kusadari ketika
Bu Chintya beranjak menuju dapur. Tampak jelas ketika beliau lewat didepan
mataku, celana abu-abunya mencetak jelas belahan pantatnya.
masa Bu Chintya gak pake CD yak??
begitu kira-kira pikiran jorokku tiba-tiba muncul dan segera kutepis jauh-jauh.
Beliau termasuk dosen yang kuhormati, so, sepertinya tidak pantas kalau aku
berpikiran yang aneh-aneh seperti itu
Ngomong-ngomong,
kamu asli mana dim?.. tiba-tiba Bu Chintya sudah
muncul lagi membuyarkan lamunanku. Katanya
kamu buka usaha konveksi ya? lanjutnya
sambil meletakkan cangkir kopi didepanku
Iya
bu. Usaha clothing kecil-kecilan. Saya asli Surabaya Bu. Kalau Ibu asli mana? kataku menanggapi.
Saya
kecil di Medan, tapi sudah pindah sini sejak kuliah S1 dulu. Katanya usaha
clothing kamu sudah kirim kemana-mana ya??? memang mahasiswa kalau sudah kenal
duit biasanya jadi susah lulus. sahutnya
sambil tertawa kecil.
Dan akhirnya malam itu kami
lewati dengan pembicaraan-pembicaraan ringan tentang bisnis yang sedang
kujalankan, tentang hobby kami, tentang keluargaku, tentang keluarga Bu
Chintya, dll.
Ternyata Bu Chintya adalah anak
bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakak laki-lakinya sudah berumah tangga.
Ayahnya adalah orang Medan, seorang pejabat militer dan ibunya seorang
keturunan Belanda. Kedua orang tua Bu Chintya bercerai sejak beliau duduk di
SMU, oleh karena itu, Bu Chintya memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah ini,
sejak beliau lulus SMU dulu.
Ngomong-ngomong,
hujannya tambah deras dim, kamu tunggu disini dulu saja sampai reda. Saya mau
masuk dulu sebentar kata Bu Chintya sambil menengok
kearah jam yang tergantung disudut ruangan
eh,
sudah malam Bu. Sudah setengah 10. Mending saya nekat saja, daripada nanti
tambah malam. Kayanya hujanya juga ndak bakal berhenti
begitu jawabku sambil melihat memasukkan laptopku
ya
kalau hujanya ndak berhenti kamu nginep disini saja ndak pa pa sahut Bu Chintya sambil tersenyum menirukan gaya bicaraku
ya
kalau saya nginep nanti bisa dimasa tetangga Bu
begitu sahutku dengan nada bercanda
siapa
yang mau ngeroyok kamu? sahut Bu Chintya cepat.
Saya
tidak bercanda kok dim. Kamu bisa disini dulu kalau kamu mau. Daripada kamu
hujan badai nekat. begitu sahut Bu Chintya.
Jawabanya singkat, tapi cukup menegaskan bahwa dia tidak bercanda.
bagaimana?
Kalau mau nekat hujan-hujan tidak apa-apa. Saya tidak bisa melarang kamu, tapi
kalau mau nunggu hujan dulu juga tidak apa-apa.
eh,
saya nunggu hujan dulu saja bu jawabku
sambil tetap merapikan laptopku.
OK,
saya masuk dulu ya. Soalnya disini banyak angin. Nanti kalau hujannya belum
reda silahkan istirahat disini, anggap saja rumah sendiri. Jangan lupa motormu
dimasukkan begitu kata Bu Chintya sambil
tersenyum
iya
Bu, begitu jawabku singkat.
Aku sendiri tidak habis pikir.
Bagaimana bisa seorang Bu Chintya menawarkan aku untuk tidur disini. Biarpun
aku tidur diteras sekalipun, apakah layak seorang mahasiswa sepertiku tidur
dirumah seorang dosennya? Apakah ini suatu jebakan? Jangan-jangan ada
konspirasi atau rencana khusus dari pihak kampus, atau apapun itu. Begitulah
pikiranku muluk-muluk, dan ternyata hujan tak kunjung reda.
Sementara hujan angin semakin
deras, akupun memutuskan memasukkan motorku dan menutup pintu depan. Bukan
karena aku memutuskan untuk menginap, tapi angin diluar tambah kencang dan air
hujan tertiup masuk ke ruang tamu. Nanti kalau
reda baru balik deh begitu kataku dalam hati
Setelah menutup pintu, aku
bergegas masuk kedalam mencari Bu Chintya, bukan pula karena aku ingin tidur
dirumahnya, melainkan aku ingin ke toilet mencuci kaki sambil buang air kecil
Ternyata Bu Chintya berada
didalam kamarnya. Aku mendengar suara beliau menonton TV sambil tertawa kecil.
Dan aku pun bergegas mendekat dan mengetuk pintu kamarnya yang memang terbuka.
Eh
dimas, gimana? Jadi mau nginep? Masuk dim
sahut beliau sambil tetap menyimak TV-nya.
Tubuhnya terbaring diatas spring
bed yang cukup lebar, sementara selimut tebal yang tampaknya sangat hangat
menutup hingga bahunya.
eh
tidak Bu, saya mau ke toilet begitu
jawabku
ya
silahkan sahutnya cepat. pakai
yang didalam saja ya, soalnya yang diluar tidak ada sabunnya. saklarnya ada
disamping pintu lanjutnya sambil menunjuk ke
salah satu sudut kamarnya
Dengan sedikit canggung, akhirnya
aku masuk dan pipis di kamar mandi di kamar Bu Chintya. Padahal tadi aku mau
buang air di toilet belakang.
Tidak enak kan kalau masuk rumah
sampai ke belakang tanpa bilang. Rasanya agak rikuh juga buang air di kamar
mandi Bu Chintya, apalagi yang punya kamar sudah berbaring nyaman ditempat
tidurnya.
pintu
depan sudah ditutup? begitu tanyanya begitu aku
keluar dari kamar mandi, sambil tetap menyimak tayangan TV yang tergantung
disisi kanan kamar
ehm,
sudah Bu begitu jawabku canggung
ya
sudah, itu acaranya bagus lho. Kalau kamu perhatikan bisa jadi masukan buat
TA-mu katanya sambil membesarkan volume TV
ini
tentang budaya Jepang jaman PD 2, ini bisa jadi referensi blablabla.. begitu lanjutnya menerangkan. Aku sendiri hanya bisa melihat
tayangan TV itu dari depan pintu kamar mandi, dan bingung harus bagaimana.
Mati gaya banget lah
Heh,
mau sampe kapan berdiri disitu? Bu Chintya
segera berseru dengan tanggap. Sepertinya beliau tahu kalau aku berdiri disitu
dengan canggung.
ngapain
bengong disitu??, lanjutnya sambil menggeser
posisi tidurnya.
Dengan bahasa tubuh seperti itu,
aku menangkap bahwa beliau menginginkan aku beranjak ke tempat tidurnya. Atau
setidaknya, duduk disitu lah.
Dan, dengan sedikit salah tingkah
aku pun mendekat dan duduk diseberang tempat Bu Chintya berbaring. Tepatnya
dibelakang Bu Chintya yang sedang asyik memperhatikan TV nya.
Sesaat kami pun terdiam. Aku
benar-benar merasa canggung berada disini. Aku juga tidak tahu harus memulai
pembicaraan dari mana, aku benar-benar merasa aneh dan mati gaya. Aku berada
dikamar Bu Chintya, seorang dosen yang menjadi idola di kampus, atau mungkin
idola di universitas!!! ckckck
nih
bantalmu begitu kata Bu Chintya sambil
mengulurkan sebuah bantal kepangkuanku. Tampaknya beliau tahu bagaimana aku
merasa aneh dan tidak tahu harus bagaimana.
Dan dengan bantal yang yang
diulurkan padaku itu, aku malah tambah bingung harus bagaimana. Aku tambah
salah tingkah dan tetap diam
kurang
besar apa dim? atau kamu mau pakai bantal saya saja?
katanya sambil tertawa ringan dan menggeser bantal panjang berwarna putih yang
menopang wajah cantiknya.
eh aku tambah bingung dengan kalimat terakhirnya, dan aku masih
tak bisa menyahut apa-apa, sekalipun aku tahu maksud beliau adalah
mempersilahkan aku tiduran disitu
ehm,
maksud Ibu, saya tidur disini? kataku
terbata. Seolah aku bingung mau menyahut apa
apa
kamu mau tidur di garasi? Sepertinya kasur saya masih sisa banyak kalau cuma
kamu tiduri sahutnya sambil tersenyum
Dan sekali lagi aku sangat tidak
percaya dengan kata-katanya.
Aku tidak percaya dengan
telingaku sendiri. Namun aku tetap mengerti apa yang dimaksud dan segera
berbaring sambil tetap menyaksikan tayangan TV yang tergantung didepan Bu
Chintya.
Sesaat kemudian, nampak acara TV
yang kusaksikan dengan canggung itu hampir selesai, dan tiba-tiba suara Bu
Chintya kembali memecah kecanggunganku lampu besar
saya matikan saja ya dim, saya tidak bisa tidur kalau terlalu terang
Dan tanpa banyak berkata lagi,
beliau langsung beranjak turun dari tempat tidur, dan aku benar-benar tidak
percaya dengan apa yang kulihat.
Dibalik selimut itu, Bu Chintya
masih mengenakan atasan berwarna hitam yang tadi dikenakannya, tetapi ternyata
beliau tidak lagi mengenakan celana abu-abunya.
Sebagai gantinya, seutas tali G
string hitam terselip diantara belahan pantatnya. Terlihat jelas pantat yang
halus dengan paha yang mulus itu bergerak menuju pintu kamar, dimana saklar
lampu berada.
OMG!!! I cant believe what ive see.
Setelah mematikan lampu, Bu
Chintya berjalan kearah tempatku berbaring, dan melewatiku yang ternganga dan
sibuk mengalihkan pandangan.
Beliau berjalan menuju kekamar
mandi yang terletak tepat dibelakangku, tepatnya diatas kepalaku.
Tampaknya beliau menggosok gigi,
beliau sedang bersiap-siap untuk tidur.
Bu Chintya hanya dengan G-string
hitam menutupi bagian bawahnya, oh My God, I cant realized what Ive see.
Dan G-string itu menjawab misteri
belahan pantat yang terlihat jelas dibalik celana abu-abu tadi. Ternyata Bu
Chintya tadi mengenakan G-String didalamnya.
Dan apakah aku bermimpi saat ini?
Aku tidak tahu, aku tidak mau tahu. Dan dengan cepat aku menyusupkan kakiku
dibalik selimut. Andaikan ini mimpi, sungguh aku berharap aku tidak terbangun
dari tidurku.
Sebenarnya
saya tidak suka celana jeans diatas tempat tidur dim
tiba-tiba Bu Chintya sudah berdiri lagi disamping tempatku berbaring, tepatnya
disamping kepalaku.
Tapi karena sudah terlanjur ya
tidak apa-apa begitu lanjutnya sambil berjalan
mengelilingi tempat tidur, dan kembali menyusupkan kedua kaki jenjangnya
kedalam selimut dan berbaring sambil memindah chanel televisi. Beliau tampak
beberapa kali memindah saluran, tapi sepertinya tidak ada yang menarik baginya.
Kini dia berbaring
membelakangiku, menghadap sisi dimana televisi LCD 32
itu digantungkan. Dan dengan segenap jiwa, aku mencoba memberanikan diri membuka
pembicaraan. Aku anggap saat ini sebagai sebuah mimpi, so, its free to me to
speak up!!!
ehm,
Ibu suka John Lennon? begitu kalimat pembuka yang
otomatis kuucapkan ketika melihat Bu Chintya berhenti memencet-mencet remotenya
pada salah satu channel music
yakk,
i love The Beatles, dan tolong berhenti memanggil saya Ibu begitu ujarnya tegas
kalau
nggak boleh panggil Ibu, terus saya harus panggil gimana ni bu?
ya
terserah kamu mau panggil gimana. Yang pasti disini kan bukan dikampus, kalau
kamu panggil aku Ibu, kok kesannya aku ini sudah tua banget. Padahal, bisa jadi
kamu lebih tua dari aku lho begitu
jawabnya bercanda
ya,
nggak lah bu, saya ini kan masih mahasiswa, young teenager yang masih energik
dan bersemangat
whatever
you say. Yang pasti aku kuliah S1 tahun 2001, so, paling kamu 3-4 tahun lebih
muda. Itu juga kalau kamu SMUnya lancar.
eh,
saya SMUnya malah cuma 2 tahun bu, jawabku
berkelakar
jangan
panggil aku Ibu,,, thats the point. ujarnya
kemudian
you
can call me chintya, atau teman-teman dekatku biasa memanggil cinta
eh,
begitu ya cin,, sahutku bergumam canggung ah kalau panggil seperti itu, gimana kalau kak atau mbak atau gimana lah,, saya canggung bu, eh, mbak..
kenapa
nggak manggil tante saja!! biar puas sekalian. Kamu ini bikin aku merasa tua
saja jawab Bu Chintya ketus sambil tetap
tertawa ringan
OK
deh mbak, saya panggil cinta… Ngomong-ngomong, kalau saya disini, nggak ada
yang marah apa mbak,, eh, cin?
maksudmu,
kamu bertanya apa aku tidak punya pacar,, begitu? ujarnya
sambil berbalik menghadap kearahku. Sorot matanya terlihat serius dan menatap
tajam mataku
eh,
ya bukan begitu mbak,,, eh, ya tapi mungkin bisa begitu maksudnya, atau,,,
aku jadi salah tingkah sendiri
dengan pertanyaanku. Tampaknya aku juga salah bertanya
dimas,
sepertinya kamu harus banyak belajar tentang wanita. Masa kamu bertanya seperti itu kepada perawan tua seperti saya? lanjutnya sambil tetap menatap mataku
eh,
bukan begitu maksud saya mbak,, eh,, saya cuma
.
nggak
apa-apa kok, aku cuma merasa familiar dengan pertanyaanmu barusan. pertanyaanmu
itu seperti pertanyaan papaku saja: kapan kamu nikah cin?? Ngga mungkin lah gadis cantiknya papa
gak laku-laku?? sambungnya lagi dengan nada
serius
eh aku benar-benar tambah salah tingkah dengan ucapan beliau.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, dan memang sepertinya aku salah bertanya. Sorot
matanya yang tajam itu seolah melucuti mentalku yang tiba-tiba hancur runtuh.
Dia benar-benar menelanjangi mataku dengan wajah cantiknya yang sangat dekat
dihadapanku, sangat-sangat dekat. Mungkin hanya berjarak 5cm dari hidungku. Dan
aku benar-benar merasa terpojok dengan ucapannya
Namun tiba-tiba dia tersenyum
dengan senyuman yang sangat teduh dan menenangkan. Raut mukanya tiba-tiba
berubah seolah mengatakan: aku hanya
bercanda, aku tidak marah kok. Dan kami
saling bertatapan sangat dalam.
Sungguh aku terpesona dengan
kecantikannya. Kecantikan khas seorang Indo yang menurutku tidak mungkin
ditandingi oleh siapapun juga.
Dan ditengah kekagumanku akan
wajah menawan itu, tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba dia memajukan kepalanya,
dan dengan cekatan dia memagut bibirku. Aku benar-benar kaget dan tidak
menyangka hal ini terjadi. Jantungku berdegup sangat kencang, darahku seakan
mengalir sangat deras kearah kepala.
Aku menyadari bahwa aku sedang
bercumbu dengan idola dari segala idola. Aku dapat merasakan dengan jelas aroma
nafasnya yang wangi, bibir basahnya yang menghisap pelan bibirku, dan lidahnya
yang mulai bermain dirongga mulutku.
Semakin lama, bibir kami terpaut
semakin dalam, hingga tak sadar tanganku telah memeluk erat tengkuknya, dan
kami tidak lagi berbaring berdampingan, melainkan aku telah berada diatasnya.
Perlahan aku memberanikan diri
untuk menggeser cumbuan bibirku, aku memberanikan diri mencumbu bagian leher
hingga belakang telinganya, dan tampaknya dia sangat menikmatinya. Sungguh aku
tak percaya dengan apa yang kulakukan. Sesaat aku menghisap daun telinganya
perlahan, dan aku bisa membaui dengan jelas aroma wangi yang selama ini hanya
terasa samar.
Sungguh seorang wanita yang
cantik dan spesial.
dim,
boleh kubuka ini? kata Chintya tiba-tiba sambil
menyingkap kaos hitamku. Aku tidak menyahut dan menjawabnya dengan membuka kaos
yang kukenakan.
Dan tak lama kemudian, Chintya
sudah asik memainkan dadaku dengan lidahnya yang hangat. Aku sungguh merasa
melambung tinggi dengan permainan lidahnya, dan aku sengaja bergeser dan
berbaring hingga Chintya lebih bebas mengexplore tubuhku.
Dan tanpa dipersilahkan, Bu
Chintya sudah telungkup menindih perutku. Mulutnya yang lembut tak
henti-hentinya menjilat wilayah dadaku, dia terus melakukan ritual tersebut
hingga lidahnya kembali menuju bibirku, dan sekali lagi kedua bibir itu
berciuman erat. Dia kembali mencumbu erat bibirku, dan melanjutkan kecupanya
hingga wilayah leher dan telingaku. Tanganku pun dengan sigap memeluk erat
pinggulnya sambil mencumbu bagian bawah lehernya.
boleh
tangan saya masuk Cin? tanyaku sambil tetap menikmati
permainan lidahnya. Kali ini jemariku sudah mulai berani menyusup melalui
bagian bawah kaosnya dan meraba bagian punggungnya. Dapat kurasakan punggung
yang halus itu bersinggungan dengan jariku
Chintya pun menghentikan usapan
lembut lidahnya di bagian belakang telingaku, dan berbisik pelan: mau masuk kemana memangnya?
eh,,
mau masuk kesini, eh, mbak, kataku
gugup, sambil menghentikan jemariku yang tengah meraba bagian perutnya yang
rata dan terawat.
Dan, Chintya pun tidak menjawab
pertanyaanku, dia hanya tersenyum cantik sambil menggenggam bagian bawah
kaosnya, kemudian menyingkapnya keatas dengan cekatan.
Yah, dia membuka penutup atas
tubuhnya itu yang ternyata sudah tidak dilapisi bra didalamnya.
Dan mataku kembali terbelalak
ketika atasan itu tersingkap melewati bagian dadanya. Sebuah pemandangan yang
terindah yang pernah kulihat. Sepasang gumpalan daging tersembul dibalik kaos
itu, sangat halus dan lembut. Saking halusnya, dapat kulihat alur urat yang
tersembunyi tipis dibalik kulitnya.
Sungguh payudara terindah yang
pernah kulihat.
Ukurannya tidak terlalu besar,
mungkin sekitar 34an, tetapi ukurannya sangat proporsional dengan tubuhnya,
ditambah lagi dengan putingnya yang mungil berwarna coklat kemerahan menghiasi
ujung-ujungnya. Sangat-sangat sempurna, im really speechless
Saking kagumnya dengan payudara
itu, aku tidak menyadari tangan nakalku sudah meraba lembut bagian bawah
gumpalan daging itu,
eh,,
boleh saya…
sure.. katanya memotong kalimatku sambil kembali telungkup dan
melumat bibirku.
Mendapat perlakuan seperti itu,
aku pun tak mau kalah.
Seolah telah mendapat ijin,
akupun melayangkan serangan-serangan yang lebih berani. Kedua tanganku segera
meremas lembut payudara indah itu, dan permainan Chintya pun semakin mengganas.
Dia tampaknya tidak memberikan
kesempatan bagiku untuk memegang kendali. Bibir mungilnya semakin agresif, dia
menorehkan cupang merah tipis didadaku, hingga menjelajahi perut bawahku sambil
menyibak selimut yang masih sedikit menaunginya.
Sangat-sangat liar, bahkan aku tidak
kesampaian merasakan puting merah itu dengan bibirku.
Sambil bibir mungilnya terus
beraksi, dia menarik turun resliting celanaku, no
jeans in my bed begitu bisiknya ditelingaku
sambil tersenyum menggoda.
Dan aku hanya bisa pasrah ketika
ternyata Chintya tidak hanya berniat melucuti celana jeansku. Dia mencengkeram
jeans berikut celana dalamku, menariknya turun dengan cekatan, dan melepaskanya
dari kakiku hingga aku benar-benar dibuat bugil dihadapnya.
Sekali lagi aku merasa bahwa aku
sedang bermimpi, aku sedang bugil dihadapan idola kami semua.
Sungguh aku tidak percaya,
Chintya sedang mencumbu perut bagian bawahku, dengan pangkal pahaku yang
terbuka lebar tanpa seuntai benang pun menutupinya. Sungguh terasa bagaikan
mimpi, imajinasiku melayang jauh dan aku tidak pernah merasakan moment seindah
ini, seorang wanita yang kupuja, sedang bermain-main dipangkal pahaku.
Dan sekali lagi Chintya
menunjukkan keajaiban lidahnya, kali ini serangannya diarahkan pada bagian
bawah perutku.
Yak, dia mencoba membunuhku
dengan jilatan-jilatan maut dibawah sana. Dan tak lama kemudian, tangan
kanannya memegang erat batang yang sudah berdiri tegak disana. Dan sambil
menatap mataku dia mengecup bagian kepalanya, dan segera memasukkan batang itu
kedalam mulutnya. Sungguh sekali lagi aku merasa terbang ke awan.
Tidak seperti lumatan-lumatan
yang pernah kurasa, lidah Bu Chintya benar-benar ajaib, dia benar-benar mampu
memainkannya dibawah sana, just like a french kiss in my junior.
Begitupun dia tidak perhenti
disitu, setelah puas menghisap bagian batang, Bu Chintya menggeser mulutnya
kebawah, dan inilah pertama kali aku merasakan sensasi rangsangan di bagian
paling bawah sana. Chintya melumat habis pangkal bola-bolaku, dan
melanjutkannya dengan mencumbu area sun hole-ku dengan liarnya.
Dan tampaknya dia begitu
menikmatinya. Dia melakukannya sambil terus memainkan bola-bolaku, sungguh
suatu sensasi yang luar biasa.
Sejenak, ingin rasanya aku
membobolkan saja pertahananku dan mengaku kalah. Bibir Bu Chintya adalah bibir
paling gila yang pernah kuhadapi. Namun aku masih bisa berpikir sehat. Aku
segera menarik bagian pangkal pahaku itu dari cengkeramannya, dan segera
memagut bibir ajaib itu dengan bibirku.
Dengan cepat pula, kubaringkan
Chintya karena kali ini aku ingin menguasai permainan. Aku pun segera berganti
menunjukkan potensiku. Kembali kurangsang bagian leher Bu Chintya, kujilat
perlahan, hingga turun sampai bagian payudara. Bagian yang sangat kunanti dari
tadi. Kubenamkan mukaku diantara kedua payudara itu, sungguh payudara yang
paling lembut yang pernah kurasakan.
Tanganku pun tak mau kalah,
kuremas payudara kanan dengan tangan kanan, sambil lidahku mulai bermain dengan
puting kirinya. Bagaikan buah cherry yang sangat manis, aku mengulum lembut
puting itu, sungguh rasanya sangat menggairahkan. Ini adalah puting paling
sempurna yang pernah dirasakan bibirku.
Merasa sudah menguasai keadaan,
aku mulai memainkan ritme permainan. Sesaat kuhisap puting itu lebih dalam,
sambil meremas payudara kanannya. Demikian aku bergantian bermain dengan kedua
gumpalan menakjubkan itu. Sesaat aku mencoba menyentuh lembut lingkaran
penyangga puting itu dengan telunjukku, sesaat pula dapat kurasakan puting itu
mulai mengeras kencang disertai munculnya bulu-bulu halus yang berdiri diatas
kedua bukit indah itu.
Sungguh sepasang payudara yang
sangat cantik, sangat indah dengan bintik2 bulu roma yang menghiasinya, aku
jadi semakin bergairah melihatnya, dan akupun tak mau menyia-nyikan moment ini.
Permainan bibirku mulai menjamah
bagian perutnya yang rata. Sambil tangan kiriku tetap mencengkeram satu dari
dua bukit indah itu, tangan kananku menekan bagian punggungnya perlahan.
Tampaknya Bu Chintya benar-benar menikmati permainanku, dan akupun memberanikan
diri mengexplore bagian bawah perutnya dengan lidahku. Yah, aku mengecup lembut
belly buttonnya dan mencoba bermain sedikit lebih kebawah sana.
Menanggapi perlakuanku, Bu
Chintya tidak terlalu terlihat keberatan. Dia malah terlihat sangat menikmati
dan sedikit membuka pangkal pahanya. Bahasa tubuhnya seolah memberiku ijin
untuk beranjak ke bagian itu. Segera aku kembali menurunkan kepalaku. Kali ini
aku mencumbu bagian dalam pahanya, tanganku pun sekarang sudah memegang erat
kedua pinggulnya, dan akhirnya aku mulai berani mencium bagian segitiga G-string
yang menutupi surganya.
Sungguh suatu pengalaman yang
tidak pernah akan kulupakan. Aku sedang menghirup bagian paling intim milik Bu
Chintya, aku merasakan sensasi yang paling dahsyat yang pernah kurasakan selama
ini.
Gairahku semakin menggebu, dan
akhirnya kuberanikan diri menyusupkan lidahku ke sela-sela bagian bawah
segitiga cinta itu. Tangan kanan ku mencoba menyibak kain hitam itu, dan
bibirku mulai mengecupnya perlahan, rasanya sungguh indah, agak terasa asin,
tetapi aromanya sangat lembut. Sungguh-sungguh indah.
Bu Chintya yang tampaknya sudah
sangat pasrah itu akhirnya menyangga kepalaku dengan tangan kanannya. Tanpa
berkata apa-apa, dia meraih tali pengait segitiga itu dengan tangan kirinya,
dan dengan perlahan dia menurunkan G-String itu dengan tangan kirinya. Aku yang
sedang dimabuk gairah pun segera tanggap, kubantu dia menurunkan segitiga
bertali itu, dan melepaskannya dari kakinya yang jenjang.
Dan dengan segera, seperti
seorang anak kecil yang sedang dijamu dengan dengan sekotak permen lezat, aku
pun segera kembali dengan daerah segitiga yang menakjubkan itu.
Kini tubuh wanita pujaan itu
telah benar-benar telanjang. Aku benar-benar takjub dengan keindahannya,
lekuknya yang sempurna dibalut dengan kulit yang putih, tipis dan lembut. Ahh,,
ternyata Bu Chintya yang kami puja selama ini tidak hanya pintar dan cantik,
beliau sangat sempurna seutuhnya, sangat terawat.
Bagian pangkal paha itu terihat
sebagai bagian segitiga yang ditumbuhi dengan bulu-bulu lembut. Tampaknya
Chintya sangat rajin mencukurnya. Pun begitu, tepat pada bagian bawahnya,
terdapat sekatup bibir mungil berwarna merah muda. Pintu surga itu terlihat
begitu rapi, hanya terlihat sebagai segaris lubang yang berwarna kemerahan.
Tanpa diberi aba-aba, aku pun
segera kembali menjamu segitiga cinta itu. Kali ini aku merasa sangat bebas,
tidak ada lagi sehelai benang pun yang jadi penghalang. Aku mulai mengecup
pelan bibir cantik dibawah bulu-bulu tipis itu, dan tampaknya Chintya
sangat-sangat menikmatinya, dan akupun menikmatinya.
Samar-samar mulai kurasakan aroma
wangi yang sempurna, aroma yang mungkin dapat mengalahkan nikmatnya rasa sabu
yang dulu sering kuhisap jaman SMU. Perlahan tapi pasti, aku memagut bagian itu
dengan bibirku, lalu kembali kuhisap perlahan. Dengan sedikit keberanian,
tanganku pun mulai turut meraba bagian itu. Kucoba membuka tangkupan dua bibir
itu dengan jemariku, dan kulihat jelas liang berwarna merah muda yang begitu
indah. Tampaknya sangat hangat dan nyaman didalam sana. Dan kembali aku
memberanikan diri mengeksplore lubang itu dengan lidahku.
Kali ini, kucoba memasukkan
lidahku kedalamanya dengan bantuan kedua tanganku yang menyingkap pintu cinta
itu. Kali ini, aku benar-benar merasakan aroma yang sangat memabukkan itu,
sangat membangkitkan gairahku. Dan dengan segera, aku memainkan lidahku didalam
sana, menghisap perlahan, kemudian menghisap kuat, demikian aku mencoba mencari
ritme yang tepat dalam menangani bibir terindah ini.
Aku mencoba memainkan lidahku
dengan maksimal disini, sambil tangan kananku merangsang bagian klitoris Bu
Chintya. Dan tampaknya dia sangat-sangat menikmatinya.
Setelah sesaat bermain dengan
ritmeku, aku mencoba mengubah pola serangan. Kali ini, bibirku menghisap lembut
bagian klitorisnya. Disini lidahku pun turut bermain, kuhisap sambil sesekali
menekan bagian itu dengan lidahku.
Perlahan tapi pasti, aku kemudian
memberanikan diri memasukkan telunjuk kananku yang dari tadi sudah memegang erat
kulit berwarna kemerahan itu. Dan, ketika seluruh telunjukku tercelup
didalamnya, Chintya tiba-tiba mencengkeram kepalaku dengan tangan kanannyanya
yang sedari tadi menyangga kepalaku.
Sejenak aku tiba-tiba tersadar,
kali ini aku memasuki daerah privatnya tanpa mohon ijin terlebih dulu.
Aku sedikit terkejut dan kembali
gugup, secara reflek aku segera menarik keluar jariku dari lubang itu, tetapi
dengan segera pula Bu Chintya memegang tanganku dengan tangan kirinya.
Yak, dia mengijinkan jemariku
bermain didalamnya, dan tanpa berkata apa-apa, dia membimbing jari nakal ini
masuk kedalam miliknya yang sangat berharga itu.
Sungguh aku dapat melihat raut
wajah cantik itu yang kini sedang dibara gairah, aku melihat dia sangat
menikmati permainanku, dan dengan sigap pula, aku merangsang kembali daerah
klitorisnya dengan bibirku, sembari jemariku mencari-cari daerah G-spotnya
didalam sana.
Tidak butuh waktu lama untuk
mendapatkan area paling sensitif itu. Tak lama jariku bermain disana, Chintya
semakin membuka lebar pangkal pahanya. Dia kini tidak hanya mendesah dan
menatapku nakal. Bu Chintya sudah tidak malu-malu lagi untuk mengerang. Kaki
jenjangnya sedikit ditarik keatas, dia sedikit melipat lututnya, suatu tanda
bahwa dia sungguh terbuai dalam permainan jemariku.
Pun demikian, aku pun semakin
bergairah, aku semakin cepat menggerakkan jariku didalam sana, kutekan kuat
pagian G-Spotnya sambil lidahku terus memainkan klitorisnya, jemari dan lidahku
kini sudah masuk gigi 5. Aku semakin cepat dan liar bermain dengan lubang cinta
itu.
Namun tiba-tiba Chintya mengapit
erat kepalaku dengan lututnya. Dia menjepit kuat kepalaku sambil tangan
kanannya menekannya kedalam. Dan segera setelahnya, aku bisa merasakan tubuh
itu terguncang, aku bisa merasakan, tubuhnya sedikit kejang, dan,, aku kembali
kaget dibuatnya, seiring dengan teriakan yang keras, tiba-tiba dia
menggelinjang hebat, jemariku merasakan ada kedutan hebat didalam sana,,, dan
tidak putih bening kemukaku.
Yess, dia sudah sampai… and she
squirt in my face!!
dan aku tidak bisa mengelak sama
sekali, secara reflek aku meronta mencoba melepaskan kepalaku, tetapi
cengkeraman pahanya terlampau kuat, dan sampai saat ini pula, paha lembut itu
masih mencengkeram kuat kepalaku.
Aku hampir tidak percaya dengan
apa yang kualami, Bu Chintya mencapai puncak dan menyemprot mukaku dengan
cairan cintanya memabukkan.
Aku sangat terkejut, tetapi
sebenarnya aku sangat menikmatinya. Pun begitu Bu Chintya yang sudah terkulai
lemas, aku bisa melihat tubuhnya yang masih sedikit gemetar, wajahnya
sangat-sangat erotis, sepertinya dia baru saja mengalami orgasme paling dahsyat
yang pernah dirasakannya.
***
Aku kemudian beranjak ke sudut
ruangan berinisiatif mengambil beberapa lembar tissue, dan mengelap mukaku yang
agak lengket,
kamu
baik2 saja kan cin? tanyaku sambil berbaring lagi
disisinya
eh,,
maaf ya dim, aku sendiri tidak terpikir kalau bakal sampai kaya gitu tangannya dengan reflek menarik lembar tissue yang kupegang
dan segera me-lap bagian pipiku yang ternyata masih sedikit basah.
tidak
apa-apa kok, aku juga menikmatinya
serius,,
ini pertama kalinya sampai seperti itu, aku benar-benar tidak menyangka sampai
seperti itu jawab Chintya sambil memeluk aku
erat.
Dan akhirnya, malam itu kami
melanjutkan sesi bimbingan TA dengan bercerita panjang lebar tentang keseharian
kami, tentang keluarga kami, tentang kesibukan-kesibukan kami.
Maklum, pada dasarnya aku dan Bu
Chintya masih belum terlalu mengenal satu sama lain.
jadi,
sekarang mamamu masih tinggal di Jakarta bersama suaminya yang baru itu? tanyaku menanggapi cerita Chintya.
begitulah jawabnya pelan.
ooh,,
beliau punya anak lagikah?
nggak
sih,, cuma ada suatu hal yang dulu bikin aku nggak nyaman tinggal disana
kenapa??
well,
si om bule itu hypersex.
heh??
maniak gitu??
yupss.
dan aku pernah tinggal bersama mereka selama 2tahun
haha..
yang kamu ceritakan waktu kamu SMU itu ya? Trus, apa hubungan antara hypersex
dengan ketidaknyamananmu tinggal bersama mereka? Toh si om bule itu kan
papa-mu, bukan suamimu?
yahh,,
masalahnya bukan cuma hypersex doang dim. dia juga orang naturist. Kalau
dirumah mamaku sana, begitu masuk gerbang udah wajib bugil. Itu berlaku buat
semua orang yang tinggal disitu.
whatsss???
jadi kamu juga ikut2an nudis gitu??
nggak
cuma saya honeyy, disana dari sopir nyampe tukang kebon juga bugil semua.
begitukah??
are u serious??
Aku seperti tidak tahu harus
menjawab apa lagi. Tampaknya Chintya memang memiliki pengalaman yang luar biasa
dalam hidupnya. Dia banyak bercerita tentang masa lalunya, dan tiba-tiba aku
merasakan empati yang sangat dalam, sebuah perasaan seolah tidak terasa lagi
ada jarak antara kami.
Seolah seperti sepasang
kekasih/sahabat yang sedang berbaring dan sharing berdua
uhm,,
kembali ke masalahmu tadi Cin, emang kalo menurutmu kamu trauma dengan masa
lalumu, lalu apa dampaknya di masa sekarang?
aku kembali bertanya mencoba mengenal dosenku itu lebih dekat.
well,
kita bahas topik ini lain kali lagi saja ya dim, kamu belum dapet kan? katanya sambil kembali memelukku mesra. Tampaknya dia belum
ingin membahas sampai sejauh itu, dan akupun harus menghormatinya
kalau
aku sih, asal kamu senang sudah bisa dibilang dapet kok cin. gue ikhlas jawabku cengengesan
Dasar
mulut buaya!! sekarang kamu sudah berani merayu saya
sahutnya tersipu sambil mencubit lenganku keras-keras
Ehmn,
Dim, kamu percaya sama aku kan? lanjut
Chintya sambil meraih laci disamping tempat tidur. Aku tidak menjawab dan hanya
mengangguk kecil
okeey,,
tangan kamu diikat dulu yaa,, katanya
sambil mengeluarkan seutas kain panjang dan mengikat kedua tanganku ke bagian
atas tempat tidur. Aku mulai berpikir aneh-aneh, sejenak aku ingin menolak apa
yang dilakukan Bu Chintya padaku. Tapi, aku penasaran juga dengan rencananya,
so, ikuti saja deh,, hehe
aku
mau diapain hon?
diem
ah,, trust me honey jawabnya sambil kembali mengecup
bibirku. Aku sendiri tidak bisa banyak bergerak dengan kedua tangan yang
terikat erat diatas kepala, sedangkan tampaknya bibir maut itu akan kembali
mengeksekusi titik-titik lemahku.
Perlahan, Chintya menggeser
kembali kecupannya kearah leherku, sedikit cupang panjang disana, dan kemudian
turun kearah dada. Bagian ini tampaknya bagian yang paling disukainya, lidahnya
yang lembut bermain dengan putingku, sambil kedua tangannya mimijit-mijit bagian
samping dadaku. Di babak pertama ini aku sudah mulai bisa merasakan sensasi
Chintya. Sebuah teknik-teknik yang baru kutemui dalam bercinta, diselimuti oleh
paras yang sungguh-sungguh menggoda.
Perlahan, dia kembali menggeser
posisi bibirnya, kali ini kecupan-kecupan itu diarahkan kebagian samping
dadaku, dan, dia bermain dengan ketiakku. Aku meronta keras, kukatakan padanya
bahwa ini keterlaluan, Geli banget Cin, kamu menyiksaku,, begitu ujarku. Tapi tampaknya Chintya tidak peduli dan
terus melancarkan aksinya.
Dan ternyata teknik yang satu ini
juga sangat mengerikan. Rasa geli yang perlahan berubah menjadi sebuah
rangsangan yang mahadahsyat. Seiring dengan rabaan-rabaan tangannya yang
sedikit memijit, Chintya benar-benar bak seorang sex machine yang istimewa.
Selama beberapa saat Chintya
menyiksaku, tampaknya dia sudah cukup puas dan berniat memulai permainannya di
bagian bawah.
Sudah
panas kan? katanya sambil sambil tersenyum
kecil dan memegang batangku yang sudah berdiri keras.
Dan tanpa banyak bicara lagi,
dimasukkannya batang itu kedalam mulutnya.
Yah, Chintya segera mengulumnya
dengan bersemangat, dan dia langsung memainkan ritme permainan oral terdahsyat
yang pernah kurasakan. Sesekali setelah lidah hangatnya bermain lincah,
dihisapnya batangku kuat-kuat, seolah dia ingin menyedot habis seluruh isinya.
Sambil terus bermain-main
dengannya, tangan Chintya meraih dua bantal disisi kiri tempat tidur,
diganjal
bantal ya dim katanya sambil menyusupkan dua
bantal itu dibawah pantatku. Aku yang sudah merasa keenakan pun pasrah saja,
kuangkat pantatku sesuai dengan apa yang diingininya, dan kini, posisiku agak
berasa tidak nyaman, punggung dan pantatku terganjal oleh bantal yang tampaknya
cukup tinggi. Aku agak heran sebenarnya apa rencana Chintya, tapi kembali lagi,
aku pasrah saja.
Chintya kemudian mengambil posisi
tepat dbawah selakangku, dan kemudian kembali dia memasukan batangku ke bibir
mungilnya, tangan kirinya memegang testikelnya dan tangan kanannya memegang
pangkal batangku. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas apa yang terjadi disana,
tapi aku kembali merasakan sensasi yang luar biasa.
Sejenak setelahnya, aku merasakan
kepala penisku bersentuhan dengan bidang yang sangat hangat dan licin, saat itu
pula kurasakan sensasi yang luar biasa diujung kemaluanku, sembari kudengar
Chintya sedikit batuk-batuk dan mengeluarkan penisku dari mulutnya.
Dan,, ternyata dia melakukan deep
throat. Bu dosen satu ini memang gila, dan ini adalah pengalaman deep throat
pertamaku. Dan malam ini Chintya memberiku deep throat tidak hanya sekali,
melainkan berkali-kali.
Sensasi rasanya benar-benar gila,
sepertinya aku hampir ejakulasi dibuatnya.
Sesi oral pun berakhir, saat ini
Chintya kembali memeluk aku. Tubuhnya yang gemulai bergelayut mesra diatasku sekarang menu utama yuk,,
begitu bisiknya memanja ditelingaku
Sambil tangan kirinya tetap
memeluk leherku, Chintya meraih kembali senjataku dan mengarahkannya kebagian
pangkal pahanya yang memang sudah berada tepat diatasnya.
Yah, Chintya memasukkan kepala
batangku kedalam lubang yang berhias bulu lembut itu, dan tak lama kemudian
dengan sedikit menindihku, seluruh batangku telah bersemayam didalam lubang
hangatnya.
1001 rasa penasaran yang selama
ini berkecamuk hilang sudah. Kini aku telah merasakan hangat dan nikmatnya liang
itu. Sangat hangat dan rapat, bahkan jika batang kesayanganku itu bisa
membauinya, kukira dia pun akan terkesima dengan aroma wanginya.
Chintya pun memagut bibirku
sambil sedikit menggoyangkan pinggulnya, tidak naik turun tetapi memutar
perlahan. Wew, bahkan teknik goyanganya pun dahsyat, tidak banyak bergerak,
tapi dapat kurasakan batangku dipijit dengan sempurna.
Dan perlahan kusadari, sepertinya
pijitan ini tidak hanya bermuara pada goyangan pinggul semata, tetapi tampaknya
dinding-dinding kemaluan Chintya turut berperan. Lubang ini menggigit rapat dan
dapat kurasakan sedikit berdenyut teratur, ini juga baru kali ini kurasakan.
Hal ini kusadari ketika Chintya
beranjak dan menjamuku dengan posisi duduk. Dengan senjataku yang masih
tertancap disana, kurasakan pijitan-pijitan lembut itu walau Chintya tidak
banyak menggerakan pinggulnya.
Dan, aku tidak menyangka bahwa
menit-menit kedepan adalah waktu yang tidak akan pernah kulupakan seumur
hidupku. Mungkin bila aku bisa memutar balik waktu, aku akan selalu memutar
menit-menit itu sambil mengaktifkan fitur slow motion.
Dengan posisinya yang
mendudukiku, Chintya kembali menggoyangkan pinggulnya.
Kali ini tidak memutar maupun
maju mundur, melainkan naik turun. Tubuhnya yang semampai itu seakan menduduki
bantalan trampoline. Sekilas aku merasa miris dengan perlakuannya. Dengan
sedikit berjongkok, Chintya menarik pangkal pahanya keatas hingga tiga perempat
batang penisku keluar dari sarangnya, dan dengan cekatan pula dia menimpanya
kembali. Yah, dia mengocok batangku dengan kencang dengan posisi pinggulnya
yang naik-turun tajam itu.
Jujur, aku sedikit takut
kalau-kalau dia sedikit meleset dan mematahkan senjataku yang sangat berharga
itu. Tapi, kekhawatiran itu segera sirna terhapus sensasi yang kembali
kurasakan.
Chintya memperlakukan senjata
yang benar-benar berdiri keras itu seperti mainan, seperti dildo stainless yang
tak punya jaringan syaraf, dan kali ini aku benar-benar ingin menyerah dan
memuntahkan cairan cintaku, aku tak kuasa mengimbangi wanita cantik yang
tiba-tiba menjadi sangat liar ini. Dapat kulihat jelas ekspresi mukanya saat
ini, dia tidak hanya sekedar mencoba memuaskanku, dia kembali turn on, dan aku
wajib mengimbanginya.
Tapi semakin aku melihat wajah
cantiknya, semakin ingin rasanya aku mengakhiri permainan ini. Whatever, aku
memang tidak mampu melayaninya.
Tapi tiba-tiba, Chintya
mengakhiri gerakan naik turun yang dahsyat itu.
Dia merebahkan tubuhnya, memeluk
aku erat, sambil tetap mengocok kencang batangku dengan goyangan pinggulnya
super cepat itu.
Dan tentu saja pada akhirnya aku
segera tewas dan mengakhiri pertahananku. Aku benar-benar tidak tahan dengan
perlakuannya, dan kali ini aku benar-benar tak bisa berkutik dan harus menyerah
kalah
Chintya tengah memelukku erat
sambil sambil mengggoyangkan pinggulnya maju-mundur dengan cepat saat batangku
mulai kejang-kejang.
Pinggul indah itu bergerak dengan
kerasnya seolah penisku hanya mainan tak bernyawa.
Dan seiring dengan dengan
senjataku yang mulai muntah dan mengaku kalah, ritme goyangan Chintya
perlahan-lahan mulai melambat, dan dapat kurasakan kembali cengeraman pahanya
yang mulai bergetar, seiring dengan kedutan ringan yang memijit lembut
kemaluanku yang masih tertanam didalamnya. Dan perlahan-lahan, lubang
menakjubkan itu mencengkeram penisku sangat erat. Ternyata, Chintya pun
mendapatkan orgasme untuk yang kedua kalinya
Yah, liang hangat itu seakan
menyedot batangku dengan kerasnya seiring dengan bobolnya pertahananku.
Dan kembali aku menangkap
ekspresi muka cantik Chintya yang seolah mengatakan bahwa dia baru saja
mendapatkan orgasme yang hebat.
Selama beberapa saat tubuh indah
itu bergetar lemah diatas tubuhku, dan tak lama kemudian sosok cantik itu
benar-benar lemas tak berdaya.
Perlahan-lahan, Chintya menggeser
tubuhnya sambil melepaskan liang terindahnya dari kemaluanku dengan hati-hati.
Tanpa berkata apa-apa, dia
membaringkan tubuh indahnya disampingku, dan tak lama kemudian, idola dari
segala idola itu sudah terbaring lelap disisiku
Dan aku kembali terdiam seakan
tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Aku hanya bisa termangu, mencoba
meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi malam ini bukanlah mimpi.
Dalam hatiku, terbentu sebuah
perasaan yang tidak bisa didefinisikan. Ada sebuah kepuasan yang tidak pernah
tertandingi, bercampur rasa tidak percaya yang masih menghantui.
Dan akhirnya aku hanya bisa terheran-heran
sambil berusaha melepaskan tali yang masih mengikat erat tanganku.
Sungguh malam terdahsyat yang
pernah kualami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar