>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 8 3 9 2
Top 2D : 08 13 29 32 48
Cadangan 2D : 58 63 79 82 98
TOP SHIO : Naga Babi Kerbau
COLOK BEBAS : 2 3 8
AS : 1 4 5
KOP : 6 7 8
KEPALA : Besar / Ganjil
EKOR : Kecil / Genap
Jam lima pagi, aku terjaga lagi. Kali ini terasa agak dingin
dihembus kipas angin dari atas. Kuambil selimut sambil melihat Tante yang masih
berposisi telanjang bongkok udang. Hal ini menarikku untuk memeluknya dari
belakang. Kutebarkan selimut lebar itu hingga menutupi tubuh kami berdua.
Tangan kiri kusisipkan di bawah badannya dan tangan kananku kupelukkan
melingkupi dadanya. Pinggulku kulekatkan ke arah pantatnya, sehingga otomatis
zakarku menempel di situ pula, di sela-sela paha belakangnya.
Dasar darah mudaku masih panas, sejenak kemudian burung
kecilku sudah jadi ‘garuda’ perkasa yang siap tempur lagi. Kugerak-gerakkan
menusuki sela-sela paha belakang Tante. Tanganku pun tidak tinggal diam dan
mulai memelintir puting Tante kiri-kanan seraya meremas-remas gumpalan kenyal
itu. Kontan mendapat perlakuan seperti itu Tanteku terbangun dan bereaksi.
“Sudah, Ron..! Jangan lagi..!” tubuh Tante beringsut
menjauhiku, namun aku tetap memeluknya erat.
Bahkan dengkulku sekarang berupaya membuka pahanya dari
belakang. Tante beringsut menjauh lagi dan kedua tangannya berusaha melepas
pelukanku.
“Jangan, Ron..! Aku ini Tantemu.” rintihnya sambil tetap
membelakangiku.
“Tapi, tadi kita sudah melakukannya, Tante?” tanyaku tidak
mengerti. Pelukanku tetap.
“Ya. Ta.. tadi Tante.. khilaf..”
“Khilaf..? Tapi kita sudah melakukannya sampai dua kali
Tante?” aku tidak habis mengerti.
Kulekatkan lagi zakarku ke pantatnya. Tante menghindar.
“Ii.. ya, Ron. Tante tadi benar-benar tak mampu.. menahan
nafsu.. Tante sudah lama tidak melakukan ini sejak Oom-mu meninggal. Dan
sekarang kamu merangsang Tante sampai Tante terlena.”
“Masak terlena sampai dua kali?”
“Yang pertama memang. Tante baru terbangun setelah.., Roni
mem.. memasuki Tante. Tante mau melawan tapi tenagamu kuat sekali sampai
akhirnya Tante diam dan malah jadi terlena.”
“Kalau yang kedua, Tante..?” tanyaku ingin tahu sambil
mendekap lebih erat. Tante menghindar dan menepisku lagi.
“Kamu mencium bibir Tante. Di situ lah kelemahan Tante, Ron.
Tante selalu terangsang kalau berciuman..”
“Oh, kalau begitu Tante kucium saja sekarang ya..? Biar
Tante bernafsu lagi.” pintaku bernafsu sambil berupaya memalingkan wajah Tante.
Tapi Tante menolak keras.
“Jangan, Ron..! Sudah cukup. Kita jangan berzinah lagi.
Tante merasa berdosa pada Oom-mu. Hik.. hik.. hik..” Tante terisak.
Aku jadi mengendurkan serangan, meski tetap memeluknya dari
belakang.
Kemudian kami terdiam. Dalam dekapanku terasa Tante sedang
menangis. Tubuhnya berguncang kecil.
“Ya sudah, Tante. Sekarang kita tidur saja. Tapi bolehkan
Roni memeluk Tante seperti ini..?”
Tidak kuduga Tante justru berbalik menghadapku sambil
membetulkan selimut kami dan berkata, “Tapi kamu harus janji tak akan
menyetubuhi Tante lagi kan, Ron?”
“Iya, Tante. Aku janji.., anggap saja Tante sekarang sedang
memeluk anak Tante sendiri.”
Sekilas kulihat bibir Tante tersenyum. Di bawah selimut, aku
kembali memeluknya dan kurasakan tangan Tante juga memelukku. Buah dada
besarnya menekan dadaku, tapi aku mencoba mematikan nafsuku. Zakarku, meski
menyentuh pahanya, juga kutahan supaya tidak tegang lagi. Wajah kami
berhadap-hadapan sampai napas Tante terasa menerpa hidungku. Matanya terpejam,
aku pun mencoba tidur.
Mungkin saking lelahnya, dengan cepat Tante terlelap lagi.
Namun lain halnya dengan aku. Terus terang, meski sudah berjanji, mana bisa aku
mengekang terus nafsu birahiku, terutama si ‘garuda’ kecilku yang sudah mulai
mengepakkan sayapnya lagi. Dengan tempelan buah dada sebesar itu di dada dan
pelukan hangat tubuh polos menggairahkan begini, mana bisa aku tidur tenang?
Mana bisa aku menahan syahwat? Jujur saja, aku sudah benar-benar ingin segera
menelentangkan Tante, menusuk dan memompanya lagi!
Tapi aku sudah janji tidak akan menyetubuhinya lagi.
Mestikah janji ini kuingkari? Apa akal? Bisakah tidak mengingkari janji tapi
tetap dapat menyebadani Tante? Benakku segera berputar, dan segera ingat
kata-kata Tante tadi bahwa dia paling mudah terangsang kalau dicium. Mengapa
aku tidak menciumnya saja? Bukankah mencium tidak sama dengan menyetubuhi?
Ya, pelan tapi pasti kusisipkan kaki kiri di bawah kaki
kanan Tante, sedang kaki kananku kumasukkan di antara kakinya sehingga keempat
kaki kami saling bertumpang tindih. Aku tidak perduli zakarku yang sudah jadi
tonggak keras melekat di pahanya. Kurapatkan pelukan dan dekapanku ke tubuh
Tante, wajahku kudekatkan ke wajahnya dan perlahan bibirku kutautkan dengan
bibirnya.
Lidahku kembali berupaya memasuki rongga mulutnya yang agak
menganga. Aku terus bertahan dengan posisi erotis ini sambil agak menekan
bagian belakang kepala Tante supaya pertautan bibir kami tidak lepas. Dan
usahaku ternyata tidak sia-sia. Setelah sekitar 30 menit kemudian, tubuhku
mulai pegal-pegal, kurasakan gerakan lidah Tante. Serta merta gerakannya
kubalas dengan jilatan lidah juga.
“Emm.. emm.. mm..” desis Tante sambil membelit lidahku.
Kepalanya kutekan makin kuat dan aku berusaha menyedot
lidahnya hingga masuk ke mulutku. Kukulum lidahnya dan kupermainkan dengan
lidahku. Kusedot, kusedot dan kusedot terus sampai Tante agak kesakitan, lalu
kubelit-belit lagi dengan lidahku. Ya, silat lidah ini berlangsung cukup lama
dan ketika tanpa sengaja pahaku menyenggol vagina tante, terasa agak basah.
Pasti Tante terangsang, pikirku. Tapi aku tidak mau memulai, takut melanggar
janji. Biar Tante saja yang aktif.
Maka aku pun berusaha menambah daya rangsang pada diri
Tante. Pelan tangan kirinya kubimbing untuk menggenggam zakarku. Meski
mula-mula enggan, tapi lama kelamaan digenggamnya juga ‘garuda perkasa’-ku.
Bahkan dipijit-pijit sehingga aku pun menggelinjang keenakan.
“Shh.. shh..!” desisku sambil mengulum lidahnya.
Tangan kananku, setelah membimbing tangan kiri Tante
menggenggam zakarku lalu meneruskan perjalanannya ke celah paha Tante yang
sudah basah. Kusibakkan rambut-rambut tebal itu, mencari celah-celah lalu
menyisipkan jari telunjuk dan tengahku di situ. Kugerakkan ke keluar-masuk dan
Tante mendesis-desis, genggamannya di zakarku terasa mengeras. Aku tidak tahan
lagi.
“Masukin ya, Tante?” bisikku, lupa pada janjiku.
“Ja.. jangan, Ron..!”
“Ak.. aku nggak tahan lagi, Tante..!” pintaku.
“Di.. dijepit paha saja ya, Ron..?”
Tanpa kusuruh, Tante lalu telentang dan mengangkangkan
pahanya. Pelan aku menaikinya. Tante membimbing zakarku di antara pahanya
sekitar sejengkal di bawah vagina, lalu menjepitnya. Ia menggerak-gerakkan
pahanya sehingga zakarku terpelintir-pelintir nikmat sekali.
Payudara besar Tante menekan dadaku juga. Tangan kiriku
mengutil-ngutil puting kanannya. Ciuman ke bibirnya kulanjutkan lagi, jemari
tangan kananku juga terus berupaya memasuki vagina Tante dan mengocoknya.
“Heshh.. heshh.. Ron.. mm..,” Tante sulit bicara karena
mulutnya masih kukulum.
“Tanganmu.. Ron..!” tangan kanan Tante berusaha menghentikan
kegiatan tangan kiriku di putingnya, sedang tangan kanannya berusaha
menghentikan kegiatan jemari kananku di vaginanya.
Dipegangnya jemariku. Aku hentikan gerakan, tapi tiga jari tetap
terendam di vagina basah itu dan kukutil-kutil kecil. Sampai Tante tidak tahan
dan mengangkangkan sedikit pahanya hingga jepitan pada zakarku terlepas. Cepat
kutarik jemariku dari situ dan kunaikkan sedikit tubuhku sehingga sekarang
ganti zakarku berada di pintu gerbang nikmat itu. Kepalanya malah sudah
menyeruak masuk.
“Hshh.. Ron, jangan dimasukkan..!” Tante buru-buru memegang
zakarku, digenggamnya.
“Tapi aku sudah nggak tahan Tante..” desisku.
“Cukup kepalanya saja, Ron.. dan jangan dikocok..!” Tante
memperketat genggamannya, sementara aku semakin memperderas tekanan ke
vaginanya.
“Ii.. ingat janjimu, Ron..!”
“Ta.. tapi Tante juga ingin kan?” tanyaku polos.
“Ii.. iya sih, Ron. Tante juga sudah nggak tahan. Tapi ini
zinah namanya.”
“Apa kalau tidak dimasukkan bukan zinah, Tante?” tanyaku
bloon.
“Bu.. bukan, Ron. Asal burungmu tidak masuk ke vagina Tante,
bukan zinah..” aku jadi bingung.
Terus terang tidak mengerti definisi zinah menurut Tante
ini.
“Kalau begitu, apa Tante punya jalan keluar? Kita sudah
sama-sama terangsang berat. Tapi kita nggak mau berzinah.”
“Egh.. gini aja Ron. Tante akan.. ugh.. mengulum punyamu.
Turunlah sebentar..!”
Dan aku pun menurut, turun dari atas Tante dan telentang.
Tante bangkit lalu memutar badannya dan mengangkangiku. Mulutnya ada di atas
zakarku dan vaginanya di atas wajahku. Kurasakan ia mulai menggenggam dan
mengulum ‘garuda perkasa’-ku. Dikulum dan digerakkan naik turun di mulutnya.
Shiit.. hsshh.. nikmat sekali. Jemariku segera menangkap
pinggulnya yang bergerak maju mundur dan segera kuselipkan empat jari kanan ke
vaginanya. Kugerakkan cepat, malah agak kasar, keluar masuk sampai basah semua.
“Ugh.. uughh.. uagh.. Ron..! Ron, Tante mau keluar, mm.. mm..”
Tante terus mengulum sambil meracau.
Sekejap kemudian tubuhnya berhenti bergerak, lalu pinggul
yang kupegangi terasa berkejat-kejat. Kemudian cairan hangat membanjiri
tanganku dan sebagian menetesi dadaku. Kurasakan cairan itu seperti air maniku
hanya lebih encer dan bening.
Tante kemudian terkapar kelelahan di atasku dengan posisi
mulutnya tetap mengulum zakarku sambil mengocoknya. Tidak berapa lama, aku pun
merasa mau keluar.
“Egh.. egh.. Tante. Aku mau keluar..!” Tante malah
mempercepat kocokannya dan memperdalam kulumannya.
Aku berkejat dan muncrat memasuki mulut Tante dan
ditelannya, semuanya habis ditampung mulut Tante. Akhirnya aku pun lemas dan
ikut menggelepar kelelahan.
Tangan-kakiku terkapar lemas ke kiri-kanan. Tante juga
terkapar kelelahan namun mulutnya masih terus menjilati zakarku sampai bersih,
barulah kemudian dia berbalik dan memelukku. Wajah kami berhadapan, mata Tante
merem-melek.
“Kalau yang barusan ini bukan zinah tante?” tanyaku lagi.
“Bukan, Ron.. karena kamu tidak memasukkan burungmu ke
vagina Tante.” jawabnya sambil mata memejam.
Aku tidak tahu apakah jawabnya itu benar atau salah. Namun,
setelah kupikir-pikir, aku lalu bertanya lagi, “Jadi kalau begitu, boleh dong
kita melakukan lagi seperti yang barusan ini, Tante?”
“He-eh..” jawabnya sambil terkantuk-kantuk kemudian dengkur
kecilnya mulai terdengar lagi.
Jam enam pagi waktu itu. Aku pun segera menebarkan selimut
lagi di atas tubuh polos kami dan memeluknya dengan ketat. Rasanya aku tidak
mau melepaskan tubuh Tante walau sekejap pun. Persetan dengan pekerjaan,
persetan dengan kuliah. Sengaja aku juga tidak mengingatkan Tante akan
pekerjaan kami. Aku malah berharap menginap lagi semalam, biar ada kesempatan
bersebadan dengan Tante lebih lama lagi. Sepanjang hari ini aku mau bercumbu
terus dengan Tante, sampai spermaku keluar sepuluh kali lagi! Begitu
angan-angan jorokku.
Ya, akhirnya memang kami hari itu tidak keluar kamar dan
memperpanjang menginap sehari lagi. Selama di dalam kamar, di atas ranjang,
kami tidak pernah mengenakan pakaian barang selembar pun. Hampir setiap tiga
jam sekali aku dan Tante sama-sama mengalami orgasme, meskipun hanya pakai
bantuan tangan atau mulut dan lidah.
Jam delapan pagi, sebelas, dua siang, lima sore, delapan
malam, sebelas malam, dua pagi, lima pagi dan delapan paginya lagi kami selalu
terkejat-kejat dan orgasme hampir bersamaan. Selama itu memang Tante masih
selalu ingat untuk menolakku yang ingin memasukkan penisku ke vaginanya, dan
aku pun menurutinya.
Namun, akhirnya Tante terlena dan aku pun bebas memasukkan
penisku ke vaginanya. Tentunya setelah kami pulang dari perjalanan bisnis
berkesan itu, dan kembali pulang ke rumah. Kesempatan itu terbuka lebar karena
memang aku suka tinggal di rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar