>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 7 8 4 1
Top 2D : 07 18 24 31 47
Cadangan 2D : 58 64 71 87 98
TOP SHIO : Kuda Anjing Monyet
COLOK BEBAS : 1 7 8
AS : 0 2 3
KOP : 5 6 9
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : kecil / Ganjil
Pagi pagi sekali Susilo Bangun.
Dia tampak agak terperanjat, sepertinya kaget. Tergagap matanya memandang ke
arah jam di dinding kamarnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 6.15 menit. Dia
kemudian menengok ke samping. Tampak istrinya sudah tak ada disampingnya.
Tentulah Nina sudah bangun dari tadi.
Dengan agak malas, Susilo pun
turun dari tempat tidur. Menggerakkan bagian – bagian tubuh sambil menguap,
kenudian bangun dan menyambar handuk. Lalu melangkah keluar kamar, menuju ke
belakang dimana kamar mandi berada.
Di dapur yang bersebelahan dengan
kamar mandi, tampak istrinya yang sedang memasak. Tentunya untuk sarapan pagi.
“Sudah bangun, Mas?” sapa Nina.
“Iya. Hari ini aku harus
berangkat lebih awal.”
“Memangnya kenapa?”
“Hari ini di kantor ada acara
pergantian pimpinan,” jawab Susilo seraya membuka pintu kamar mandi. Kemudian
melangkah masuk dan menutup pintu kamar mandi kembali. “Nin, tolong siapkan
pakaianku…”
“Iya. Memangnya mau berangkat
sepagi ini?”
“Jam tujuh aku harus sudah sampai
di kantor untuk mempersiapkan segala sesuatu keperluan penyambutan pimpinan
baru, “ jawab Susilo dari dalam kamar mandi. Dan tak lama kemudian, terdengar
suara air bergecipak mengguyur tubuh.
Nina segera meracik kopi dan
menyedu dengan air panas. Setelahitu, dibawanya kopi itu ke ruang makan di mana
biasanya mereka melakukan sarapan pagi. Setelah itu, Nina menuju ke kamar.
Dirapikannya tempat tidur. Dilipatnya selimut. Kemudian dia menuju ke lemari
pakaian. Dibukanya lemari, dan di ambilnya sesetel pakaian kerja untuk
suaminya. Meletakkannya diatas kasur. Lalu setelah itu, Nina kembali keluar.
Langsung menuju ke dapur untuk meneruskan masak. Dia harus mempersiapkan
sarapan lebih cepat, agar suaminya bisa sarapan pagi di rumah.
Dari kamar mandi, Susilo keluar
dengan tubuh di lilit handuk.
“Sudah kau siapkan pakaianku,
Nin?”
“Sudah, Mas.”
“Sudah matang masakannya?” tanya
Susilo dengan wajah menunjukkan tak sabar.
“Sebentar lagi, Mas. Tinggal
menumis. Kenapa memangnya?”
“kalau masih lama, biar aku
sarapan di kantor saja.”
“Nggak kok, Mas. Tak lama. Paling
lima menit.”
“Hm, baiklah. Aku berpakaian
dulu…”
Susilo meneruskan langkahnya,
meninggalkan ruang belakang. Masuk keruang tengah dan melangkah ke kamar tidur
untuk mengenakan pakaian. Sedang Nina agak terburu – buru, berusaha
menyelesaikan masakannya untuk sarapan pagi suaminya yang tampaknya tak sabar
memburu waktu.
Lima menit kemudian, Susilo sudah
keluar dari kamar dansudah berpakaian rapi. Siap untuk berangkat ke kantor. Dia
menuju ke dapur dimana istrinya masih sibuk memasak.
“Bagaimana, sudah selesai?”
“Belum, Mas. Paling sebentar
lagi.”
Susilo memandang ke arlojinya.
Saat itu jam sudah menunjukkan angka 6.45, berarti hanya ada waktu 15 menit
baginya. Kalau menunggu sampai istrinya selesai memasak, dia kawatir akan
terlambat sampai di kantor. Karena itu, akhirnya Susilo memutuskan untuk tidak
menunggu sampai istrinya selesai memasak.
“Sebaiknya aku sarapan di kantor
saja nanti, Nin.”
“Tap, Mas…”Nina mencegah dengan
wajah kecewa. Kalau suaminya tak sarapan di
rumah, berarti sia-sia dirinya memasak.
“Maaf, Nin, waktuku tak ada. Aku
harus tiba di kantor jam tujuh. Sedang sekarang sudah jam enam lewat empat
puluh lima menit… Oh ya, kau sudah buatkan aku kopi, kan?”
Nina mengangguk, masih dengan
wajah menunjukkan kekecewaan.
Melihat istrinya tampak murung
dan kecewa karena dia tak bisa sarapan pagi bersama di rumah, Susilo dengan
bibir tersenyum menghampiri istrinya. Dipegangnya pundak Nina, lalu dengan
lembut berkata : “Aku mengerti perasaanmu, Nin. Kau memang istri yang baik,
yang ingin menunjukkan pengabdianmu pada suami. Tapi cobalah untuk mengerti.
Aku hanya pegawai kecil yang harus mematuhi perintah atasan. Kalau atasan
menyuruhku datang jam tujuh, maka aku pun harus mematuhi perintahnya. Nah,
semoga kau mau mengerti.”
Nina akhirnya menyadari keadaan
suaminya yang memang hanya pegawai kecil. Yang senantiasa patuh pada atasannya.
Dan sebagai istri, dan sebagai istri dia harus bisa memberikan dorongan
semangat dan membantu meringankan beban bagi suaminya. Dia pun akhirnya
tersenyum, sambil merebahkan kepala di dada Susilo yang menerimanya dengan
penuh kasih. Lalu dengan masih berpelukan keduanya melangkah ke ruang makan.
Susilo melepaskan pelukannya,
mengambil gelas berisi kopi buatan istrinya. Kemudian setelah membuka penutup
gelas, dia pun menyeruput kopi panas itu beberapa kali.
“Aku berangkat dulu, ya?” katanya
lembut sambil mengecup kening istrinya dengan kecupan yang tak kalah lembut dan
penuh kasih.
“Hati-hati, Mas.”
Susilo tersenyum dan mengangguk.
Kemudian dengan di antar Nina sampai di teras rumah kontrakannya, Susilo pun
pergi meninggalkan istrinya untuk berangkat kerja.
Setelah suaminya hilang di
tikungan gang, Nina pun kembali masuk ke dalam rumah kontrakannya untuk
meneruskan memasaknya. Namun Sesampainya di dapur, Nina jadi termenung sendiri.
Untuk apa dia masak, toh suaminya sudah pergi tak sarapan pagi di rumah. Kalau
pun untuk makan malam, tentu masakannya akan basi.
Di turunkan sumbu kompor,
kemudian Nina pun duduk termenung di kursi dapur. Di helanya nafas panjang dan
berat. Ingatannya seketika melayang pada beberapa tahun yang silam, ketika dia
masih gadis.
Dulu, banyak pemuda yang
tergila-gila kepadanya. Banyak pemuda anak orang kaya yang berusaha untuk
mendapatkan dirinya. Namun Nina justru memilih Susilo, yang hanya tamatan SMA
dan anak orang tak punya. Bahkan, sudah di tinggal mati oleh ayahnya semenjak
masih kelas enam sekolah dasar.
Nina mencintai dan menyukai
Susilo, bukan karena semata Susilo memang tampan. Tapi ada yang jauh menarik
pada diri Susilo dalam penilaian Nina, yaitu sifat mandirinya. Bayangkan saja,
sejak di tinggal mati ayahnya, Susilo berjuang hidup sendiri. Sambil sekolah,
dia bekerja menjual koran. Dari hasil menjual koran itu, Susilo bisa membiayai
sekolahnya dan juga memberi makan ibunya yang sakit-sakitan yang akhirnya
meninggal dunia, saat Susilo baru duduk di bangku kelas tiga SMP.
Setamat SMP, dengan ijazah
SMP-nya, Susilo pergi merantau ke Jakarta. Mungkin dia merasa, kalau hanya
tinggal dikota kecil madiun, hidupnya kurang bisa berkembang. Dengan modal
ijazah SMP-nya, Susilo kemudian melamar bekerja di sebuah perusahaan sebagai
pesuruh kantor.
Atas kebaikan pimpinan
perusahaan, Susilo diterima. Lagi-lagi, Susilo yang mandiri dan tak mau
menyerah, berusaha untuk meningkatkan pendidikannya. Maka sambil bekerja, sore
harinya dia pun meneruskan sekolah di sebuah SMA swasta yang dikhususkan untuk
orang-orang yang sudah bekerja.
Dan akhirnya Susilo pun lulus
dari SMA. Maka seiring dengan peningkatan pendidikannya, kedudukan Susilo pun
meningkat pula. Dari pertama hanya sebagai pesuruh kantor, akhirnya setelah
mengikuti tes kepegawaian yang diadakan oleh perusahaan, serta di tambah lagi
dengan pengabdiannya selama ini, Susilo akhirnya diangkat menjadi staf dengan
jabatan kepala staf Umum, yang membawahi para pesuruh, klining service, dan
kurier.
Nina mengenal Susilo, bukan tidak
lama. Dia dan Susilo adalah teman sekolah dari Sekolah Dasar sampai SMP. Jadi,
sembilan tahun lamanya Nia mengenal Susilo.
Mulanya, Nina memang tak begitu
perduli apalagi memperhatikan Susilo. Namun semenjak mereka duduk di bangku
SMP, Nina mulai mengagumi Susilo. Dia kagum pada keuletan dan kemandirian
Susilo. Dan dari rasa kagum itu, tumbuh di hati Nina benih-benih cinta pada
Susilo. Dan tampaknya, begitu pula halnya dengan Susilo. Sayang, waktu itu
mereka masih belum dewasa. Belum berani mengutarakan cinta. Ditambah lagi,
keadaan status ekonomi mereka yang jauh berbeda. Semakin membuat Susilo segan
untuk mengungkapkan perasaannya.
Namun, semenjak Susilo berada di
Jakarta dan mulai bekerja, perasaan ingin mengungkapkan isi hatinya pada Nina
semakin menggembu. Meski hatinya agak sedikit bimbang dan ragu apa mungkin Nina
yang cantik dan putri orang kaya mau menerimanya sebagai teman? Tetapi, kenapa
tidak dia coba? Diterima syukur, tidak pun tak apa-apa. Susilo harus maklum dan
menyadari siapa dirinya dan siapa Nina.
Dengan masih menyimpan keraguan,
Susilo pun iseng-iseng mengirim surat ke Nina. Mulanya menanyakan bagaimana
kabarnya serta mengingatkan siapa dirinya.
Tak disangka, ternyata Nina masih
ingat pada dirinya. Bahkan, tanpa Susilo duga, Nina berkenan membalas suratnya
dan balik menanyakan keadaan dirinya. Semenjak itu, mereka pun Saling
bersurat-suratan. Mulanya hanya menanyakan kabar, namun lama kelamaan Susilo
memberanikan diri menanyakan apakah Nina sudah punya pacar? Yang di balas oleh
Nina dengan mengatakan : belum. Bahkan Nina dengan berani balas bertanya :
kenapa memangnya? Apa kamu punya keinginan menjadi pacarku ?
Menerima surat itu, Susilo semula
masih bimbang dan ragu. Hatinya pun bertanya-tanya : apa pernyataan Nina itu
sungguh-sungguh, atau hanya bercanda.
Untuk membuktikan apakah
pernyataan Nina sungguh-sungguh atau bercanda, suatu hari setelah tamat SMU dan
sudah di angkat menjadi staf perusahaan dan ketika ada waktu cuti, Susilo
pulang ke kampunghalamannya di mana Nina tinggal.
Sungguh tak disangka, mendengar
Susilo datang, Nina waktu itu duduk di bangku kuliah langsung menemui Susilo
dan kemudian, mengajak Susilo pergi jalan-jalan ke pantai.
Di pantai itulah, keduanya saling
mengungkapkan isi hati masing-masing. Dan ternyata cinta mereka tak bertepuk
sebelah tangan. Baik Nina maupun Susilo, ternyata selama ini menyimpan perasaan
cinta.
“Jadi . . . Kau benar mau
menerima cintaku?” tanya Susilo yakin.
Matanya menatap lekat ke wajah Nina, seakan berusaha untuk mencari kepastian
atas keraguannya.
“Ya,” tegas Nina Mantap, sambil
balas menatap lekat ke wajah Susilo yang tampan.
“Tapi… Aku hanya…”
“Aku mencintaimu, bukan karena
harta, Sus,”potong Nina. “Kalau aku memandang harta, bukankah sudah dari dulu
kuterima saja lamaran Bowo, anak pak camat. Namun aku mencintaimu, karena aku
menilai kau lelaki yang bertanggung jawab, yang bisa mandiri. Dan aku yakin,
bersamamu aku akan mendapatkan cinta kasih serta perlindungan dan tanggung
jawab yang kuinginkan.”
Mengetahui putrinya berhubungan
dengan Susilo, orang tua Nina marah. Mereka kemudian berusaha memisahkan cinta
Susilo dengan anaknya. Bahkan, karena Nina tetap nekad berhubungan dengan
Susilo, kedua orang tuanya memutuskan untuk menikahkan Nina dengan Bowo, putra
Pak Camat yang ngebet dan tergila-gila pada Nina.
Tak mau menikah dengan lelaki
yang tidak dicintai, Nina pun nekad kabur meninggalkan rumah. Dia minggat ke
Jakarta menemui Susilo. Dan akhirnya mereka pun bertemu.
“Nina . . . kapan kau datang?”
tanya Susilo waktu mendapatkan kekasihnya sudah berada di dalam rumah
kontrakannya.
“Tadi siang.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku kabur.”
“Kabur?” kening susilo mengerut.
Matanya memandang lekat ke wajah kekasihnya, seakan berusaha untuk mencari tahu
apa yang membuat kekasihnhya itu sampai kabur.
“Ya,”desah Nina lirih dan sedih.
“Kenapa?”
Dengan menangis sambil memeluk
Susilo, Ninapun menceritakan apa yang terjadi yang sebagian sudah diketahui
oleh Susilo, yaitu ketidak setujuan kedua orang tua Nina akan hubungan cinta
mereka. Kemudian, karena Nina tetap nekad menjalin hubungan dengan Susilo,
kedua orang tuanya bermaksud menikahkan Nina dengan Bowo, anak Pak Camat.
“Sus . . .”
“Ya?”
“Kulakukan semua ini, karena aku
hanya mencintaimu. Karena itu, aku pun berharap kau tidak menyia-nyiakan
pengorbananku,” pinta Nina.
“Tentu sayang. Aku berjanji akan
mencintai dan menyayangimu sepenuh hati. . .”
Meski kedua orang tua Nina tak
menyetujui, namun karena saling mencintai, keduanya pun akhirnya sepakat untuk
menikah. Tak lupa, mereka tetap berusaha mengundang kedua orang tua Nina
datang. Namun kedua orang tua Nina menolak datang, bahkan dengan marah ayah
Nina membalas surat mereka yang isinya, sejak saat itu mereka tak lagi mau
mengakui Nina sebagai anak mereka.
Nina mulanya menangis sedih
setelah membaca surat dari orang tuanya. Namun akhirnya dia pun bisa menerima
kenyataan yang ada. Dia sudah mengambil keputusan, maka apapun yang dia terima
sebagai buah dari keputusannya, harus dia terima dengan lapang dada. Nina hanya
berharap, kiranya Susilo akan senantiasa mencintai dan menyayanginya. Sebab
hanya pada Susilo segalanya dia pasrahkan.
Lima tahun sudah mereka menikah,
dan selama itu pula Susilo senantiasa tetap menunjukkan cinta kasihnya.
Sehingga kesedihan hati Nina karena tak lagi diakui anak oleh orang tuanya,
terhibur.
Nina menghela napas panjang,
setelah mengingat masa lalunya. Lima tahun sudah dia menjadi istri Susilo
–mendapatkan cinta kasih dari Susilo sebagaimana yang dia harapkan. Sayang,
wakau sudah lima tahun menikah, di antara mereka belum juga hadir seorang anak
sebagai buah dari cinta mereka. Padahal, Nina berharap kiranya Tuhan memberi
mereka seorang anak. Karena dengan kehadiran seorang anak, Nina berharap kedua
orang tuanya akan mau memaafkannya dan mau menerima dan merestui pernikahannya
dengan Susilo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar