>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 5 2 4 7
Top 2D : 05 12 24 37 47
Cadangan 2D : 52 65 74 87 95
TOP SHIO : Tikus Naga Monyet
COLOK BEBAS : 4 5 7
AS : 0 1 3
KOP : 6 8 9
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : Besar / Ganjil
Aku dibilang anak dari keluarga
broken home sepertinya tidak bisa, walaupun ayah dan ibuku bercerai saat aku
baru saja diterima di perguruan tinggi. Adanya ketidakcocokan serta
pertengkaran-pertengkaran yang sering kali terjadi terpaksa meluluh-lantakkan pernikahan
mereka yang saat itu telah berusia 18 tahun dengan aku sebagai putri tunggal
mereka.
Keluargaku saat itu hidup
berkecukupan. Ayahku yang berkedudukan sebagai seorang pejabat teras sebuah
departemen memang memberikan nafkah yang cukup bagiku dan ibuku, walaupun ia
bekerja secara jujur dan jauh dari korupsi, tidak seperti pejabat-pejabat lain
pada umumnya.
Dari segi materi, memang aku
tidak memiliki masalah, begitu pula dari segi fisikku. Kuakui, wajahku
terbilang cantik, mata indah, hidung bangir, serta dada yang membusung walau
tidak terlalu besar ukurannya. Semua itu ditambah dengan tubuhku yang tinggi
semampai, sedikit lebih tinggi dari rata-rata gadis seusiaku, memang membuatku
lebih menonjol dibandingkan yang lain. Bahkan aku menjadi mahasiswi baru
primadona di kampus.
Akan tetapi karena pengawasan
orang tuaku yang ketat, di samping pendidikan agamaku yang cukup kuat, aku
menjadi seperti anak mama. Tidak seperti remaja-remaja pada umumnya, aku tidak
pernah pergi keluyuran ke luar rumah tanpa ditemani ayah atau ibu.
Namun setelah perceraian itu
terjadi, dan aku ikut ibuku yang menikah lagi dua bulan kemudian dengan duda
berputra satu, seorang pengusaha restoran yang cukup sukses, aku mulai berani
pergi keluar rumah tanpa didampingi salah satu dari orang tuaku. Itupun masih
jarang sekali. Bahkan ke diskotik pun aku hanya pernah satu kali. Itu juga
setelah dibujuk rayu oleh seorang laki-laki teman kuliahku. Setelah itu aku
kapok. Mungkin karena baru pertama kali ini aku pergi ke diskotik, baru saja
duduk sepuluh menit, aku sudah merasakan pusing, tidak tahan dengan suara musik
disko yang bising berdentam-dentam, ditambah dengan bau asap rokok yang
memenuhi ruangan diskotik tersebut.
“Don, kepala gue pusing. Kita
pulang aja yuk.”
“Alaa, Mer. Kita kan baru sampai
di sini. Masa belum apa-apa udah mau pulang. Rugi kan. Lagian kan masih sore.”
“Tapi gue udah tidak tahan lagi.”
“Gini deh, Mer. Gue kasih elu
obat penghilang pusing.”
Temanku itu memberikanku tablet
yang berwarna putih. Aku pun langsung menelan obat sakit kepala yang
diberikannya.
“Gimana sekarang rasanya? Enak
kan?”
Aku mengangguk. Memang rasanya
kepalaku sudah mulai tidak sakit lagi. Tapi sekonyong-konyong mataku
berkunang-kunang. Semacam aliran aneh menjalari sekujur tubuhku. Antara sadar
dan tidak sadar, kulihat temanku itu tersenyum. Kurasakan ia memapahku keluar
diskotik. “Ini cewek lagi mabuk”, katanya kepada petugas keamanan diskotik yang
menanyainya. Lalu ia menjalankan mobilnya ke sebuah motel yang tidak begitu
jauh dari tempat itu.
Setiba di motel, temanku
memapahku yang terhuyung-huyung masuk ke dalam sebuah kamar. Ia membaringkan
tubuhku yang tampak menggeliat-geliat di atas ranjang. Kemudian ia menindih
tubuhku yang tergeletak tak berdaya di kasur. Temanku dengan gemas mencium
bibirku yang merekah mengundang. Kedua belah buah dadaku yang ranum dan kenyal
merapat pada dadanya. Darah kelaki-lakiannya dengan cepat semakin tergugah
untuk menggagahiku. “Ouuhh.. Don!” desahku.
Temanku meraih tubuhku yang
ramping. Ia segera mendekapku dan mengulum bibirku yang ranum. Lalu diciuminya
bagian telinga dan leherku. Aku mulai menggerinjal-gerinjal. Sementara itu
tangannya mulai membuka satu persatu kancing blus yang kupakai. Kemudian dengan
sekali sentakan kasar, ia menarik lepas tali BH-ku, sehingga tubuh bagian
atasku terbuka lebar, siap untuk dijelajahi. Tangannya mulai meraba-raba buah
dadaku yang berukuran cukup besar itu. Terasa suatu kenikmatan tersendiri pada
syarafku ketika buah dadaku dipermainkan olehnya. “Don.. Ouuhh.. Ouuhh..”
rintihku saat tangan temanku sedang asyik menjamah buah dadaku.
Tak lama kemudian tangannya setelah
puas berpetualang di buah dadaku sebelah kiri, kini berpindah ke buah dadaku
yang satu lagi, sedangkan lidahnya masih menggumuli lidahku dalam
ciuman-ciumannya yang penuh desakan nafsu yang semakin menjadi-jadi. Lalu ia
menanggalkan celana panjangku. Tampaklah pahaku yang putih dan mulus itu.
Matanya terbelalak melihatnya. Temanku itu mulai menyelusupkan tangannya ke
balik celana dalamku yang berwarna kuning muda. Dia mulai meremas-remas kedua
belah gumpalan pantatku yang memang montok itu.
“Ouh.. Ouuh.. Jangan, Don!
Jangan! Ouuhh..” jeritku ketika jari-jemari temanku mulai menyentuh bibir
kewanitaanku. Namun jeritanku itu tak diindahkannya, sebaliknya ia menjadi
semakin bergairah. Ibu jarinya mengurut-urut klitorisku dari atas ke bawah
berulang-ulang. Aku semakin menggerinjal-gerinjal dan berulang kali menjerit.
Kepala temanku turun ke arah
dadaku. Ia menciumi belahan buah dadaku yang laksana lembah di antara dua buah
gunung yang menjulang tinggi. Aku yang seperti tersihir, semakin
menggerinjal-gerinjal dan merintih tatkala ia menciumi ujung buah dadaku yang
kemerahan. Tiba-tiba aku seperti terkejut ketika lidahnya mulai menjilati ujung
puting susuku yang tidak terlalu tinggi tapi mulai mengeras dan tampak
menggiurkan. Seperti mendapat kekuatanku kembali, segera kutampar wajahnya.
Temanku itu yang kaget terlempar ke lantai. Aku segera mengenakan pakaianku
kembali dan berlari ke luar kamar. Ia hanya terpana memandangiku. Sejak saat
itu aku bersumpah tidak akan pernah mau ke tempat-tempat seperti itu lagi.
Sudah dua tahun berlalu aku dan
ibuku hidup bersama dengan ayah dan adik tiriku, Rio, yang umurnya tiga tahun
lebih muda dariku. Kehidupan kami berjalan normal seperti layaknya keluarga
bahagia. Aku pun yang saat itu sudah di semester enam kuliahku, diterima
bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta nasional papan atas. Meskipun aku
belum selesai kuliah, namun berkat penampilanku yang menarik dan
keramah-tamahanku, aku bisa diterima di situ, sehingga aku pun berhak
mengenakan pakaian seragam baju atas berwarna putih agak krem, dengan blazer
merah yang sewarna dengan rokku yang ujungnya sedikit di atas lutut.
Sampai suatu saat, tiba-tiba
ibuku terkena serangan jantung. Setelah diopname selama dua hari, ibuku wafat
meninggalkan aku. Rasanya seperti langit runtuh menimpaku saat itu. Sejak itu,
aku hanya tinggal bertiga dengan ayah tiriku dan Rio.
Sepeninggal ibuku, sikap Rio dan
ayahnya mulai berubah. Mereka berdua beberapa kali mulai bersikap kurang ajar
terhadapku, terutama Rio. Bahkan suatu hari saat aku ketiduran di sofa karena
kecapaian bekerja di kantor, tanpa kusadari ia memasukkan tangannya ke dalam
rok yang kupakai dan meraba paha dan selangkanganku. Ketika aku terjaga dan
memarahinya, Rio malah mengancamku. Kemudian ia bahkan melepaskan celana
dalamku. Tetapi untung saja, setelah itu ia tidak berbuat lebih jauh. Ia hanya
memandangi kewanitaanku yang belum banyak ditumbuhi bulu sambil menelan air
liurnya. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkanku yang langsung saja merapikan
pakaianku kembali. Selain itu, Rio sering kutangkap basah mengintip tubuhku
yang bugil sedang mandi melalui lubang angin kamar mandi. Aku masih berlapang
dada menerima segala perlakuan itu. Pada saat itu aku baru saja pulang kerja
dari kantor. Ah, rasanya hari ini lelah sekali. Tadi di kantor seharian aku
sibuk melayani nasabah-nasabah bank tempatku bekerja yang menarik uang secara
besar-besaran. Entah karena apa, hari ini bank tempatku bekerja terkena rush.
Ingin rasanya aku langsung mandi. Tetapi kulihat pintu kamar mandi tertutup dan
sedang ada orang yang mandi di dalamnya. Kubatalkan niatku untuk mandi. Kupikir
sambil menunggu kamar mandi kosong, lebih baik aku berbaring dulu melepaskan
penat di kamar. Akhirnya setelah melepas sepatu dan menanggalkan blazer yang
kukenakan, aku pun langsung membaringkan tubuhku tengkurap di atas kasur di
kamar tidurnya. Ah, terasa nikmatnya tidur di kasur yang demikian empuknya. Tak
terasa, karena rasa kantuk yang tak tertahankan lagi, aku pun tertidur tanpa
sempat berubah posisi.
Aku tak menyadari ada seseorang
membuka pintu kamarku dengan perlahan-lahan, hampir tak menimbulkan suara.
Orang itu lalu dengan mengendap-endap menghampiriku yang masih terlelap.
Kemudian ia naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba ia menindih tubuhku yang masih
tengkurap, sementara tangannya meremas-remas belahan pantatku. Aku seketika itu
juga bangun dan meronta-ronta sekuat tenaga. Namun orang itu lebih kuat, ia
melepaskan rok yang kukenakan. Kemudian dengan secepat kilat, ia menyelipkan
tangannya ke dalam celana dalamku. Dengan ganasnya, ia meremas-remas gumpalan
pantatku yang montok. Aku semakin memberontak sewaktu tangan orang itu mulai
mempermainkan bibir kewanitaanku dengan ahlinya. Sekali-sekali aku
mendelik-delik saat jari telunjuknya dengan sengaja berulang kali
menyentil-nyentil klitorisku.
“Aahh! Jangaann! Aaahh..!” aku
berteriak-teriak keras ketika orang itu menyodokkan jari telunjuk dan jari
tengahnya sekaligus ke dalam kewanitaanku yang masih sempit itu, setelah celana
dalamku ditanggalkannya. Akan tetapi ia mengacuhkanku. Tanpa mempedulikan aku
yang terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit kesakitan, jari-jarinya terus-menerus
merambahi lubang kenikmatanku itu, semakin lama semakin tinggi intensitasnya.
Aku bersyukur dalam hati waktu
orang itu menghentikan perbuatan gilanya. Akan tetapi tampaknya itu tidak
bertahan lama. Dengan hentakan kasar, orang itu membalikkan tubuhku sehingga
tertelentang menghadapnya. Aku terperanjat sekali mengetahui siapa orang itu
sebenarnya.
“Rio.. Kamu..” Rio hanya
menyeringai buas.
“Eh, Mer. Sekarang elu boleh
berteriak-teriak sepuasnya, tidak ada lagi orang yang bakalan menolong elu. Apalagi
si nenek tua itu sudah mampus!”
Astaga Rio menyebut ibuku, ibu
tirinya sendiri, sebagai nenek tua. Keparat.
“Rio! Jangan, Rio! Jangan lakukan
ini! Gue kan kakak elu sendiri! Jangan!”
“Kakak? Denger, Mer. Gue tidak
pernah nganggap elu kakak gue. Siapa suruh elu jadi kakak gue. Yang gue tau
cuma papa gue kawin sama nenek tua, mama elu!”
“Rio!”
“Elu kan cewek, Mer. Papa udah
ngebiayain elu hidup dan kuliah. Kan tidak ada salahnya gue sebagai anaknya
ngewakilin dia untuk meminta imbalan dari elu. Bales budi dong!”
“Iya, Rio. Tapi bukan begini
caranya!”
“Heh, yang gue butuhin cuman
tubuh molek elu, tidak mau yang lain. Gue tidak mau tau, elu mau kasih apa
tidak!”
“Errgh..”
Aku tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Mulut Rio secepat kilat memagut mulutku. Dengan memaksa ia melumat
bibirku yang merekah itu, membuatku hampir tidak bisa bernafas. Aku mencoba
meronta-ronta melepaskan diri. Tapi cekalan tangan Rio jauh lebih kuat,
membuatku tak berdaya. “Akh!” Rio kesakitan sewaktu kugigit lidahnya dengan
cukup keras. Tapi, “Plak!” Ia menampar pipiku dengan keras, membuat mataku
berkunang-kunang. Kugeleng-gelengkan kepalaku yang terasa seperti
berputar-putar.
Tanpa mau membuang-buang waktu
lagi, Rio mengeluarkan beberapa utas tali sepatu dari dalam saku celananya. Kemudian
ia membentangkan kedua tanganku, dan mengikatnya masing-masing di ujung kiri
dan kanan tempat tidur. Demikian juga kedua kakiku, tak luput diikatnya,
sehingga tubuhku menjadi terpentang tak berdaya diikat di keempat arah. Oleh
karena kencangnya ikatannya itu, tubuhku tertarik cukup kencang, membuat dadaku
tambah tegak membusung. Melihat pemandangan yang indah ini membuat mata Rio
tambah menyalang-nyalang bernafsu.
Tangan Rio mencengkeram kerah
blus yang kukenakan. Satu persatu dibukanya kancing penutup blusku. Setelah
kancing-kancing blusku terbuka semua, ditariknya blusku itu ke atas. Kemudian
dengan sekali sentakan, ditariknya lepas tali pengikat BH-ku, sehingga buah
dadaku yang membusung itu terhampar bebas di depannya.
“Wow! Elu punya toket bagus gini
kok tidak bilang-bilang, Mer! Auum!” Rio langsung melahap buah dadaku yang
ranum itu. Gelitikan-gelitikan lidahnya pada ujung puting susuku membuatku
menggerinjal-gerinjal kegelian. Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa. Semakin
keras aku meronta-ronta tampaknya ikatan tanganku semakin kencang. Sakit sekali
rasanya tanganku ini. Jadi aku hanya membiarkan buah dada dan puting susuku
dilumat Rio sebebas yang ia suka. Aku hanya bisa menengadahkan kepalaku
menghadap langit-langit, memikirkan nasibku yang sial ini.
“Aaarrghh.. Rio! Jangaann..!”
Lamunanku buyar ketika terasa sakit di selangkanganku. Ternyata Rio mulai
menghujamkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Tambah lama bertambah cepat,
membuat tubuhku tersentak-sentak ke atas. Melihat aku yang sudah tergeletak
pasrah, memberikan rangsangan yang lebih hebat lagi pada Rio. Dengan sekuat
tenaga ia menambah dorongan kemaluannya masuk-keluar dalam kewanitaanku.
Membuatku meronta-ronta tak karuan.
“Urrgh..” Akhirnya Rio sudah
tidak dapat menahan lagi gejolak nafsu di dalam tubuhnya. Kemaluannya
menyemprotkan cairan-cairan putih kental di dalam kewanitaanku. Sebagian
berceceran di atas sprei sewaktu ia mengeluarkan kemaluannya, bercampur dengan
darah yang mengalir dari dalam kewanitaanku, menandakan selaput daraku sudah
robek olehnya. Karena kelelahan, tubuh Rio langsung tergolek di samping tubuhku
yang bermandikan keringat dengan nafas terengah-engah.
“Braak!” Aku dan Rio terkejut
mendengar pintu kamar terbuka ditendang cukup keras. Lega hatiku melihat siapa
yang melakukannya.
“Papa!”
“Rio! Apa-apa sih kamu ini?!
Cepat kamu bebaskan Merry!”
Ah, akhirnya neraka jahanam ini
berakhir juga, pikirku. Rio mematuhi perintah ayahnya. Segera dibukanya seluruh
ikatan di tangan dan kakiku. Aku bangkit dan segera berlari menghambur ke arah
ayah tiriku.
“Sudahlah, Mer. Maafin Rio ya.
Itu kan sudah terjadi”, kata ayah tiriku menenangkan aku yang terus menangis
dalam dekapannya.
“Tapi, Pa. Gimana nasib Meriska?
Gimana, Pa? Aaahh.. Papaa!” tangisanku berubah menjadi jeritan seketika itu
juga tatkala ayah tiriku mengangkat tubuhku sedikit ke atas kemudian ia
menghujamkan kemaluannya yang sudah dikeluarkannya dari dalam celananya ke
dalam kewanitaanku.
“Aaahh.. Papaa.. Jangaan!” Aku
meronta-ronta keras. Namun dekapan ayah tiriku yang begitu kencang membuat
rontaanku itu tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Ayah tiriku semakin ganas
menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Ah! Ayah dan anak sama
saja, pikirku, begitu teganya mereka menyetubuhi anak dan kakak tiri mereka
sendiri.
Aku menjerit panjang kesakitan
sewaktu Rio yang sudah bangkit dari tempat tidur memasukkan kemaluannya ke
dalam lubang anusku. Aku merasakan rasa sakit yang hampir tak tertahankan lagi.
Ayah dan kakak tiriku itu sama-sama menghunjam tubuhku yang tak berdaya dari
kedua arah, depan dan belakang. Akibat kelelahan bercampur dengan kesakitan
yang tak terhingga akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi, tak sadarkan
diri. Aku sudah tidak ingat lagi apakah Rio dan ayahnya masih mengagahiku atau
tidak setelah itu.
Beberapa bulan telah berlalu. Aku
merasa mual dan berkali-kali muntah di kamar mandi. Akhirnya aku memeriksakan
diriku ke dokter. Ternyata aku dinyatakan positif hamil. Hasil diagnosa dokter
ini bagaikan gada raksasa yang menghantam wajahku. Aku mengandung?
Kebingungan-kebingungan terus-menerus menyelimuti benakku. Aku tidak tahu
secara pasti, siapa ayah dari anak yang sekarang ada di kandunganku ini. Ayah
tiriku atau Rio. Hanya mereka berdua yang pernah menyetubuhiku. Aku bingung,
apa status anak dalam kandunganku ini. Yang pasti ia adalah anakku. Lalu apakah
ia juga sekaligus adikku alias anak ayah tiriku? Ataukah ia juga sekaligus
keponakanku sebab ia adalah anak adik tiriku sendiri?
Tolongkah aku, wahai pembaca yang
budiman!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar