>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 2 4 7 9
Top 2D : 03 12 24 37 49
Cadangan 2D : 52 64 77 89 91
TOP SHIO : Kuda Kambing Monyet
COLOK BEBAS : 4 7 9
AS : 2 3 6
KOP : 4 5 8
KEPALA : Besar / Genap
EKOR : Besar / Ganjil
Lima bulan sudah aku bekerja
sebagai seorang pembantu rumahtangga di keluarga Pak Umar. Aku memang bukan
seorang yang makan ilmu bertumpuk, hanya lulusan SD saja di kampungku. Tetapi
karena niatku untuk bekerja memang sudah tidak bisa ditahan lagi, akhirnya aku
pergi ke kota jakarta, dan beruntung bisa memperoleh majikan yang baik dan bisa
memperhatikan kesejahteraanku.
Ibu umar pernah berkata kepadaku
bahwa beliau menerimaku menjadi pembantu rumahtangga dirumahnya lantaran usiaku
yang relatif masih muda. Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota
besar ini. “Jangan-jangan kamu nanti malah dijadikan wanita panggilan oleh para
calo WTS yang tidak bertanggungjawab.” Itulah yang diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan
terkadang aku sadar bahwa aku memang lumayan cantik, berbeda dengan para gadis
desa di kampungku. Pantas saja jika Ibu umar berkata begitu terhadapku.
Namun akhir-akhir ini ada sesuatu
yang mengganggu pikiranku, yakni tentang perlakuan anak majikanku Mas Anto terhadapku.
Mas Anto adalah anak bungsu keluarga Bapak umar. Dia masih kuliah di semester
4, sedangkan kedua kakaknya telah berkeluarga. Mas Anto baik dan sopan
terhadapku, hingga aku jadi aga segan bila berada di dekatnya. Sepertinya ada
sesuatu yang bergetar di hatiku. Jika aku ke pasar, Mas Anto tak segan untuk
mengantarkanku. Bahkan ketika naik mobil aku tidak diperbolehkan duduk di jok
belakang, harus di sampingnya. Ahh.. Aku selalu jadi merasa tak Enak. Pernah
suatu malam sekitar pukul 20.00, Mas anto hendak membikin mie instan di dapur,
aku bergegas mengambil alih dengan alasan bahwa yang dilakukannya pada dasarnya
adalah tugas dan kewajibanku untuk bisa melayani majikanku. Tetapi yang terjadi
Mas Anto justru berkata kepadaku, “Nggak usah, Sarni. Biar aku saja, ngga
apa-apa kok..”
“Nggak.. nggak apa-apa kok, Mas”,
jawabku tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba Mas Anto menyentuh
pundakku. Dengan lirih dia berucap, “Kamu sudah capek seharian bekerja, Sarni.
Tidurlah, besok kamu harus bangun khan..”
Aku hanya tertunduk tanpa bisa
berbuat apa-apa. Mas Anto kemudian melanjutkan memasak. Namun aku tetap
termangu di sudut dapur. Hingga kembali Mas Anto menegurku.
“Sarni, kenapa belum masuk ke
kamarmu. Nanti kalau kamu kecapekan dan terus sakit, yang repot kan kita juga.
Sudahlah, aku bisa masak sendiri kalau hanya sekedar bikin mie seperti ini.”
Belum juga habis ingatanku saat
kami berdua sedang nonton televisi di ruang tengah, sedangkan Bapak dan Ibu
Umar sedang tidak berada di rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Anto memandangiku
dengan lembut. Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
“Kamu cantik, Sarni.”
Aku cuma tersipu dan berucap,
“Teman-teman Mas Anto di kampus
kan lebih cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya dan pandai.”
“Tapi kamu lain, Sarni. Pernah
tidak kamu membayangkan jika suatu saat ada anak majikan mencintai pembantu rumahtangganya
sendiri?”
“Ah.. Mas Anto ini ada-ada saja.
Mana ada cerita seperti itu”, jawabku.
“Kalau kenyataannya ada,
bagaimana?”
“Iya.. nggak tahu deh, Mas.”
Kata-katanya itu yang hingga saat
ini membuatku selalu gelisah. Apa benar yang dikatakan oleh Mas Anto bahwa ia
mencintaiku? Bukankah dia anak majikanku yang tentunya orang kaya dan
terhormat, sedangkan aku cuma seorang pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu
selalu terngiang di benakku.
Tibalah aku memasuki bulan ke
tujuh masa kerjaku. Sore ini cuaca memang sedang hujan meski tak seberapa
lebat. Mobil Mas Anto memasuki garasi. Kulihat pemuda ini berlari menuju teras
rumah. Aku bergegas menghampirinya dengan membawa handuk untuk menyeka
tubuhnya. cerita seks 2013
“Bapak belum pulang?” tanyanya padaku.
“Belum, Mas.”
“Ibu.. pergi..?”
“Ke rumah Bude Mami, begitu ibu
bilang.”
Mas Anto yang sedang duduk di
sofa ruang tengah kulihat masih tak berhenti menyeka kepalanya sembari membuka
bajunya yang rada basah. Aku yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas
menghampirinya. Saat aku hampir meninggalkan ruang tengah, kudengar Mas anto
memanggilku. Kembali aku menghampirinya.
“Kamu tiba-tiba membikinkan aku
minuman hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan”, ucap Mas Anto sembari
bangkit dari tempat duduknya.
“Santi, aku mau bilang bahwa aku
menyukaimu.”
“Maksud Mas Apa bagaimana?”
“Apa aku perlu jelaskan?” sahut
Mas Anto padaku.
Tanpa sadar aku kini
berhadap-hadapan dengan Mas Anto dengan jarak yang sangat dekat, bahkan bisa
dikatakan terlampau dekat. Mas Anto meraih kedua tanganku untuk digenggamnya,
dengan sedikit tarikan yang dilakukannya maka tubuhku telah dalam posisi
sedikit terangkat merapat di tubuhnya. Sudah pasti dan otomatis pula aku
semakin dapat menikmati wajah ganteng yang rada basah akibat guyuran hujan
tadi. Demikian pula Mas Anto yang semakin dapat pula menikmati wajah bulatku
yang dihiasi bundarnya bola mataku dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata
lagi, hanya saling melempar pandang dengan dalam tanpa tahu rasa masing-masing
dalam hati. Tiba-tiba entah karena dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana
bibir Mas Anto menciumi setiap lekuk mukaku yang segera setelah sampai pada
bagian bibirku, aku membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan MasAnto
merambah naik ke arah dadaku, pada bagian gumpalan dadaku tangannya meremas
lembut yang membuatku tanpa sadar mendesah dan bahkan menjerit lembut. Sampai
disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan nikmat yang berlebih tapi
pada bagian lain aku merasakan nikmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku
merasakan takut yang entah bagaimana aku harus melawannya. Namun campuran rasa
yang demikian ini segera terhapus oleh rasa nikmat yang mulai bisa
menikmatinya, aku terus melayani dan membalas setiap ciuman bibirnya yang di
arahkan pada bibirku berikut setiap lekuk yang ada di bagian dadaku. Aku
semakin tak kuat menahan rasa, aku menggelinjang kecil menahan desakan dan gelora
yang semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu
kancing baju yang kukenakan, sampailah aku telanjang dada hingga buah dada yang
begitu ranum menonjol dan memperlihatkan diri pada Mas Anto. Semakin saja Mas
Anto memainkan bibirnya pada ujung buah dadaku, dikulumnya, diciuminya, bahkan
ia menggigitnya. Golak dan getaran yang tak pernah kurasa sebelumnya, aku kini
melayang, terbang, aku ingin menikmati langkah berikutnya, aku merasakan sebuah
kenikmatan tanpa batas untuk saat ini.
Aku telah mencoba untuk memerangi
gejolak yang meletup bak gunung yang akan memuntahkan isi kawahnya. Namun suara
hujan yang kian menderas, serta situasi rumah yang hanya tinggal kami berdua,
serta bisik goda yang aku tak tahu darimana datangnya, kesemua itu membuat kami
berdua semakin larut dalam permainan cinta ini. Pagutan dan rabaan Mas Anto ke
seluruh tubuhku, membuatku pasrah dalam rintihan kenikmatan yang kurasakan.
Tangan Mas Anto mulai mereteli pakaian yang dikenakan, iapun telanjang bulat
kini. Aku tak tahan lagi, segera ia menarik dengan keras celana dalam yang
kukenakan. Tangannya terus saja menggerayangi sekujur tubuhku. Kemudian pada
saat tertentu tangannya membimbing tanganku untuk menuju tempat yang
diharapkan, dibagian bawah tubuhnya. Mas Anto dan terdengar merintih.
Buah dadaku yang mungil dan padat
tak pernah lepas dari remasan tangan Mas Anto. Sementara tubuhku yang telah
telentang di bawah tubuh Mas Anto menggeliat-liat seperti cacing kepanasan.
Hingga lenguhan di antara kami mulai terdengar sebagai tanda permainan ini
telah usai. Keringat ada di sana-sini sementara pakaian kami terlihat
berserakan dimana-mana. Ruang tengah ini menjadi begitu berantakan terlebih
sofa tempat kami bermain cinta denga penuh gejolak.
Ketika senja mulai datang,
usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu Mas Anto. Kami duduk di sofa, tempat
kami tadi melakukan sebuah permainan cinta, dengan rasa sesal yang
masing-masing berkecamuk dalam hati. “Aku tidak akan mempermainkan kamu, Sarni.
Aku lakukan ini karena aku mencintai kamu. Aku sungguh-sungguh, Sarni. Kamu mau
mencintaiku kan..?” Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun.
Mas Anto menyeka butiran air
bening di sudut mataku, lalu mencium pipiku. Seolah dia menyatakan bahwa hasrat
hatinya padaku adalah kejujuran cintanya, dan akan mampu membuatku yakin akan
ketulusannya. Meski aku tetap bertanya dalam sesalku, “Mungkinkah Mas Anto akan
sanggup menikahiku yang hanya seorang pembantu rumahtangga?”
Sekitar pukul 19.30 malam,
barulah rumah ini tak berbeda dengan waktu-waktu kemarin. Bapak dan Ibu umar
seperti biasanya tengah menikmati tayangan acara televisi, dan Mas Anto
mendekam di kamarnya. Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa yang pernah terjadi
di ruang tengah itu.
Sejak permainan cinta yang penuh
nafsu itu kulakukan dengan Mas Anto, waktu yang berjalanpun tak terasa telah
memaksa kami untuk terus bisa mengulangi lagi nikmat dan indahnya permainan
cinta tersebut. Dan yang pasti aku menjadi seorang yang harus bisa menuruti
kemauan nafsu yang ada dalam diri. Tak peduli lagi siang atau malam, di sofa
ataupun di dapur, asalkan keadaan rumah lagi sepi, kami selalu tenggelam hanyut
dalam permainan cinta denga gejolak nafsu birahi. Selalu saja setiap kali aku
membayangkan sebuah gaya dalam permainan cinta, tiba-tiba nafsuku bergejolak
ingin segera saja rasanya melakukan gaya yang sedang melintas dalam benakku
tersebut. Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan membayangkan
wajah Mas Anto. Bahkan ketika di rumah sedang ada Ibu umar namun tiba-tiba
nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan memberi isyarat pada Mas Anto
untuk menyusulnya. Untung kamar mandi bagi pembantu di keluarga ini letaknya
ada di belakang jauh dari jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan
penuh gejolak di bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa sabun di
sana-sini yang rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas
tentang kenikmatan.
Walau setiap kali usai melakukan
hal itu dengan Mas Anto, aku selalu dihantui oleh sebuah pertanyaan yang
itu-itu lagi dan dengan mudah mengusik benakku: “Bagaimana jika aku hamil
nanti? Bagaimana jika Mas Anto malu mengakuinya, apakah keluarga Bapak Umar mau
merestui kami berdua untuk menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu?
Ataukah aku bakal di usir dari rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh untuk
menggugurkan kandungan ini?” Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku seolah
gila dan ingin menjerit sekeras mungkin. Apalagi Mas Anto selama ini hanya
berucap: “Aku mencintaimu, Sarni.” Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari
mulut Mas Anto, tidak akan berarti apa-apa jika Mas Anto tetap diam tak
berterus terang dengan keluarganya atas apa yang telah terjadi dengan kami
berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang
selama ini kutakutkan, bahwa aku mulai sering mual dan muntah, yah.. aku hamil!
Mas Anto mulai gugup dan panik atas kejadian ini.
“Kenapa kamu bisa hamil sih?” Aku
hanya diam tak menjawab.
“Bukankah aku sudah memberimu pil
supaya kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot juga..”
“Kenapa mesti repot Mas? Bukankah
Mas Anto sudah berjanji akan menikahi Sarni?”
“Iya.. iya.. tapi tidak secepat
ini Santi. Aku masih mencintaimu, dan aku pasti akan menikahimu, dan aku pasti
akan menikahimu. Tetapi bukan sekarang. Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara
dengan Bapak dan Ibu bahwa aku mencintaimu..”
Yah.. setiap kali aku mengeluh
soal perutku yang kian bertambah usianya dari hari ke hari dan berganti dengan
minggu, Mas Anto selalu kebingungan sendiri dan tak pernah mendapatkan jalan
keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh kondisi dalam rahim yang tentunya kian
membesar.
Genap pada usia tiga bulan
kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi dari rumah
keluarga Bapak umar. Kutinggalkan semua kenangan duka maupun suka yang selama
ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan menyalahkan Mas Anto. Ini semua
salahku yang tak mampu menjaga kekuatan dinding imanku.
Subuh pagi ini aku meninggalkan
rumah ini tanpa pamit, setelah kusiapkan sarapan dan sepucuk surat di meja
makan yang isinya bahwa aku pergi karena merasa bersalah terhadap keluarga
Bapak Umar.
Hampir setahun setelah
kepergianku dari keluarga Bapak umar, Aku kini telah menikmati kehidupanku
sendiri yang tak selayaknya aku jalani, namun aku bahagia. Hingga pada suatu
pagi aku membaca surat pembaca di tabloid terkenal. Surat itu isinya bahwa
seorang pemuda Anto mencari dan mengharapkan isterinya yang bernama Sarni untuk
segera pulang. Pemuda itu tampak sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si
calon isterinya karena dia begitu mencintainya.
Aku tahu dan mengerti benar siapa
calon isterinya. Namun aku sudah tidak ingin lagi dan pula aku tidak pantas
untuk berada di rumah itu lagi, rumah tempat tinggal pemuda bernama Anto itu.
Aku sudah tenggelam dalam kubangan ini. Andai saja Mas Anto suka pergi ke
lokalisasi, tentu dia tidak perlu harus menulis surat pembaca itu. Mas Anto
pasti akan menemukan calon istrinya yang sangat dicintainya. Agar Mas Anto pun
mengerti bahwa hingga kini aku masih merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang
pertama dan terakhir bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar