>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 2 7 1 4
Top 2D : 03 12 27 31 44
Cadangan 2D : 52 67 71 84 95
TOP SHIO : Babi Kerbau Naga
COLOK BEBAS : 7 1 4
AS : 2 0 5
KOP : 7 3 6
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : Kecil / Ganjil
Pada dasarnya, gua ini orang yang
senang bergaul. Gua orang yang gemar berada dalam sebuah komunitas atau perkumpulan.
Baik yang positif yang rada negative. Hehe.
Gua ini orangnya supel. Suka
pelempuan~
Tapi, seperti halnya kebanyakan
masyarakat urban, masyarakat kelas menengah ngehek, gua justru luput menjalin
hubungan dengan tetangga sekitar.
Gua gak tau siapa-siapa tetangga
yang tinggal bahkan disebelah rumah gua sendiri. Tapi sebetulnya, selain karena
memang gua yang kurang peduli juga karena sebelah rumah gua itu kontrakan rumah
toko (ruko) yang penghuninya sering berganti seiring musim yang sedang terjadi.
Kalo musim hujan, biasanya ruko
diisi sama tukang bakso. Kalo musim kemarau, diisi sama tukang cendol. Gua gak
tau bakal diisi sama tukang apa kalo di Indonesia ada musim salju. Besar
kemungkinan diisi sama tukang jamu.
Suatu hari, dirumah gua menggelar
sebuah pertemuan yang dihadiri ratusan orang. Karena rumah gua gak cukup untuk
menampung ratusan orang (rumah gua cuma cukup menampung 99 orang. Hehe) maka
terpaksa harus menggelar tiker sampai keluar rumah, yaitu jalanan komplek yang
sekaligus menjadi jalanan umum masyarakat sekitar menuju jalan raya utama.
Gua baru sampai rumah jam 8 malam
dan cukup kaget melihat rumah gua bak studio JKT48. Gua pikir omongan nyokap
dipagi hari, “Nanti malem ada acara dirumah..” cuma acara rutin macem pengajian
atau arisan warga, ternyata lebih dari pada itu.
Karena enggan,
“permisi-permisi..” untuk masuk ke dalem rumah, gua pun akhirnya menunggu acara
selesai disebelah rumah. Diruko tukang jamu, eh, ruko tukang bakso.
Satu jam berlalu sambil ngobrol
ngalor-ngidul sama kang bakso yang tau muka tapi tidak tau nama gua, begitu pun
dengan gua sendiri. Akhirnya kami pun berkenalan. Dan akhirnya kang bakso yang
bernama Mas Mujiono ini gua pake. Yakali!
Mas Muji, begitu biasa dia
disapa, usianya hampir 50 tahun. Dia baru punya satu anak perempuan, namanya
Ria. Usianya tak lebih dari 10 tahun. Sedang lucu-lucunya. Waktu gua ngobrol
sama Mas Muji, Ria beberapa kali keluar masuk menggali perhatian gua yang
sebelumnya, saat pertama kali melihat dia, gua menggodanya. Anak kecil tau
sendiri kalo digodain, maunya terus dan terus.
Karena tak kuat menahan kencing,
gua pun meminta izin Mas Muji untuk pakai kamar mandinya. Mas Muji kemudian
mempersilahkan gua setelah sebelumnya masuk ke dalam. Besar kemungkinan dia
sedang membersihkan kamar mandinya agar “layak dipinjam”.
Ruko Mas Muji ini memiliki tiga
ruangan/petak. Petak pertama tempatnya berjualan, petak kedua kamar tidur, dan
petak terakhir dapur serta kamar mandi. Lebarnya 4 meter dan panjang 10 meter.
Yang berminat ngontrak silahkan pm. Lah!
Saat masuk kedalam, menuju kamar
mandi, ada istri Mas Muji, sedang menonton tv. Karena gua diantar Mas Muji, gua
pun hanya sepintas lalu melihat istrinya yang sedang ‘diusel-usel’ sama Ria.
Setelah selesai buang hajat,
(yap, abis kencing, mendadak gua mau boker) gua pun keluar kamar mandi. Saat
baru saja keluar dari area dapur memasuki area kamar tidur, Ria (kembali)
ngajak bercanda. Dia sembunyi dibalik tembok, kemudian seperti seolah-olah
mengagetkan gua sembari memeluk sekitaran kaki dan paha gua sambil tertawa
cekakakan.
Mas Muji yang sedang melayani
pembeli terdengar memperingatkan buah hatinya itu untuk tidak mengganggu. Tapi
apakah gua merasa terganggu? Tentu tidak. Kejadian itu gua manfaatkan untuk
melihat dengan seksama sosok istri Mas Muji.
“Wow..” Gerak mulut gua saat
melihatnya. Istri Mas Muji kemudian meminta Ria untuk kembali anteng atau duduk
dikasur. Gua sempat tersenyum dan menganggukkan kepala saat saling menatap
dengan istri Mas Muji. Dia pun balas tersenyum dan mengangguk.
Mas Muji ini sepertinya punya
aji-ajian dari mbah dukun. Karena kalo dicari alasan logis perempuan muda,
cantik, dan bahenol macam istrinya ini mau ‘diajak’ susah menjalani hidup sama
dia, gua gak nemuin.
Istrinya Mas Muji ini cuantik,
rek!
Untuk bersanding sama lelaki umur
50 tahunan yang berprofesi sebagai kang bakso, istrinya malah bisa dibilang
cantik banget.
Bukan bermaksud merendahkan
tukang bakso, tapi wajarnya perempuan cantik yang umurnya terpaut 20 tahun
dengan seorang lelaki, cuma akan menikah sama kang korupsi, kang tender, atau
kang-kang lainnya yang punya harta melimpah. Lah Mas Muji?
Nama istri Mas Muji ini tak lain
dan tak bukan adalah Teh Lilis. Dia dipanggil “Teh” karena lahir dan besar di …
Ambon. What? Hehe.
Teh Lilis ini aseli Ciamis. Dia berkenalan
dengan Mas Muji diarea wisata pantai daerahnya. Selang sebulan perkelanannya
itu, Teh Lilis dilamar dan kemudian dinikahi lalu dibojong Mas Muji ke Jakarta.
Ini yang tadi gua bilang kalo Mas
Muji punya aji-ajian. Saat berkenalan dan hendak mempersunting Teh Lilis, usaha
bakso Mas Muji hanyalah sekala gerobak dorong yang mana tidak mempunyai
pelanggan tetap. Mas Muji mengumpulkan keuntungannya berdagang selama lebih
dari 10 tahun untuk menikah dan mencari peruntungan lebih besar dengan
mengontrak toko, bahasa kitanya, mangkal. Agar punya pelanggan tetap dan usaha
berkembang.
Laba selama 10 tahun itulah modal
Mas Muji menemui orang tua Teh Lilis dan memboyongnya ke ibu kota. Kalo Mas
Muji gak punya aji-ajian, rasanya orang tua Teh Lilis enggan menyerahkan buah
hatinya yang cantik nan montok itu.
Sejarah singkat diatas,
disponsori langsung oleh Mas Muji sendiri Keabsahan dan keakuratannya jelas
terverifikasi serta dapat di pertanggungjawabkan. Ngok!
Tidak ada hal istimewa yang
terjadi setelah perkenalan dengan tetangga sebelah rumah gua ini. Semua kembali
normal seperti biasanya, seiring selesainya acara yang berlangsung dirumah gua.
Janganlah kalian berharap gua langsung doggiestlye sama Teh Lilis disaat Mas
Muji menggodok gilingan baksonya, jangan! Semua berjalan seperti hari-hari
sebelumnya.
Awal mula perkenalan langsung gua
sama Teh Lilis adalah saat gua hendak keluar rumah. Waktu itu gua memarkirkan
kendaraan disebelah rumah atau lebih tepatnya didepan ruko Mas Muji karena lupa
membawa pulpen. Ou, ouw. Jangan sepelekan pulpen. Googling, ‘lost your pen’
untuk keterangan lebih lanjut.
Karena masih pagi, warung Mas
Muji masih tutup. Itu kenapa gua santai aja parkir didepan rukonya.
Sekembalinya mengambil pulpen, gua ketemu Ria sama ibunya yang mau berangkat ke
sekolah. Gua pun dengan tulus ikhlas tanpa niat kotor mengajak mereka bareng.
Sebenarnya jarak antara area
sekolahan sama rumah gua tidaklah jauh-jauh amat. Bahkan tidak lebih dari 2 km.
Tapi atas dasar perputaran ekonomi, masyarakat sekitar rumah gua lebih memilih
naik ojek ketimbang jalan kaki. “Bagi-bagi rejeki..” begitu alasan dari
keengganan berjalan kaki masyarakat urban saat ini.
Teh Lilis awalnya sempat menolak
karena mungkin malu atau segan. Tapi karena Ria langsung setuju dan naik ke
dalam kendaraan, Teh Lilis tak bisa berbuat apa-apa.
Teh Lilis tampak malu dan kaku,
dia membatasi gerak Ria di dalam mobil. Gua sesekali mnggoda Ria dan
meng-gpp-kan usaha Teh Lilis meredam tingkah random anaknya. “Gpp, Mba.. Ih, si
Mba, kaya gak pernah kecil aja..”
“Bapaknya mana? Masih tidur ya?”
Kata gua, bertanya pada Ria yang tampak antusias (mau gua sebut ‘norak’ ga
tega) mencet-mencet dan melihat monitor didepannya. Ria hanya menjawab sepintas
lalu tanpa melihat kearah gua, “Iya..” katanya.
Teh Lilis yang menyadari tingkah
anaknya menggelengkan kepala dan tersenyum malu. Karena anaknya tak menggubris,
gua pun lalu mengajak berbicara ibunya. Eaaa. Kalo kata pepatah, “Habis jatuh
tertiban janda”
Kalo kata orang jawa, malahane.
“Mba, siapa namanya?”
“Lilis..”
“Aslinya juga satu daerah sama
Mas Muji?”
“Oh, ngga. Saya mah dari
Ciamis..”
“Ooh, urang sunda. Teteh, dong
ya, manggilnya..”
“Hehe, iya..”
Lagi-lagi kalian jangan berharap
gua langsung akan meng-wot-kan Teh Lilis didalam mobil. Karena tak lama dari
obrolan perkenalan diatas, kami tiba diarea sekolahan. Lagipula masih ada anak
dibawah umur.
Setelah kami berpisah semuanya
kembali normal seperti biasanya lagi. Tak ada niat kotor, tak ada pikiran
mesum, meski bertemu dan bertukar senyum dengan Teh Lilis di hari-hari
berikutnya.
Sampai akhirnya, awal mula
kemesuman yang kalian tunggu-tunggu hadir juga.
Gua kedatangan tamu dari jauh,
seorang teman lama. Kolega gua dalam usaha membawa cewe-cewe mabuk ke dalam
gubuk.
Namanya Udjo. Saat ini dia sudah
tinggal diluar kota bersama istri, anak, dan ibu mertuanya. Sepaket.
Gua mengajak Udjo makan bakso
ditempat Mas Muji karena enggan menambah kemacetan ibu kota diakhir pekan.
Entah karena akhir pekan atau habis hujan, ruko Mas Muji kebanjiran pembeli.
“Alhamdulillah, ya Mas kebanjiran
pembeli, bukan kebanjiran air got!” Kata gua, coba mencairkan raut sibuk Mas
Muji sehingga membuatnya tertawa. Karena ramai, tentu saja, Teh Lilis membantu
suaminya melayani pembeli.
Saat itulah, Udjo memberi kode
dengan menyolek-nyolek paha gua. Semacam isyarat yang berbunyi, “Bro, Anjirr.
Bininya cakep bener nih tukang bakso!”
Gua hanya tersenyum dan sesekali
menghentikan colekan Udjo. “Lu kata gua sabun!” kata gua juga dalam bahasa
isyarat. Isyarat laraswati~
Gua sama Udjo pun terlibat
obrolan tanpa suara saat menunggu baksonya datang. Kalian tau macam mana
obrolan tanpa suara, kan? Taulah, pasti. Haha.
Gua menyikut Udjo saat dia mulai
ekstrim memandang Teh Lilis yang entah sedang mengambil kembalian atau mencuci
mangkok. “Lah, elu mah enak, mau ngeliatin dia pake muka mesum macam apa juga
gak masalah. Gua, yang gak enak!” Kata gua saat kembali berbincang dirumah.
“Tapi asli, bro. Itu tadi mbanya
boleh tuh, asli. Lah, lakinya aja udah aut, bro!”
“Aut?” Tanya gua, gak ngerti.
“Iya, aut. Tua, bego!” Jawabnya
menjelaskan sambil tertawa.
Gua pun tertawa dan mencoba
mengalihkan topik pembicaraan. Tapi Udjo seperti sudah dirasuki iblis mesum
piaraan gua sendiri. Dia berkata dengan begitu yakin, “Kalo gua jadi lu, bro.
Gua sikat tuh bininya kang bakso! Asli!”
“Sikat, ndasmu sempal!” Balas gua
menyudahi kemesuman yang ada.
Udjo benar-benar menginspirasi
gua untuk menggagahi Teh Lilis. Dia seolah memberikan gua keyakinan kalo Teh
Lilis pasti mau diajak selingkuh. “Asli, pasti mau!” begitu kata Udjo, dengan
keyakinan tingkat wali.
Dan, iblis pun menyusun situasi
mesum untuk gua.
Malam itu gua sampe rumah sudah
sangat larut, sekitar jam 1an. Gua ngeliat Teh Lilis sedang belanja diwarung
klontong milik orang Madura, yang pernah gua tanya, “Buka 24 jam ya pak?”
Dijawab, “Ngga, cuma sampe pagi kok..” Okee.. Makasih pak.. ~
Setelah markir kendaraan, gua
bergegas ke warung klontong itu yang jaraknya tak jauh dari rumah gua.
“Eh, Teh Lilis.. Belum tidur,
Teh?”
“Oh, iyaa..” Jawabnya malas. Duh,
gak ada peluang nih, batin gua.
“Beli apaan, Teh..” Tanya gua
lagi.
“Hah? Ituh, tau nih, bapaknya
Ria. Minta makan mie..” Jawabnya setengah terkejut. Teh Lilis tampak murung dan
melamun. Gua memandanginya dengan seksama. Baru ngeliatin dia aja, dada gua
udah berdebar. Kaki gua gemeter. Dan, yap! Iblis berbisik, “tuh bos, dia nyebut
Mas Muji “Bapaknya Ria” bos, bukan “Suamiku”. Itu artinya bisa digoyang
imannya, bos! Lanjut, bos!”
“Beli apa mas?” Tanya Teh Lilis?
Bukan! Tanya orang Madura. Membuyarkan lamunan gua menatap Teh Lilis.
“Oh. Rokok pak.. Lupa saya. Sama
kopi juga deh..”
“Seduh sekalian kopinya?”
“Gak usah, pak. Eh, tapi kalo
airnya baru mendidih, boleh deh..”
Tak disangka, Teh Lilis ikut
bicara.
“Jam segini malah mau ngopi, mas.
Gak tidur emangnya?”
“Hehe, iya Teh. Masih ada
kerjaan..”
“Emang, Mas kerjanya dimana?”
Tanyanya lagi. Sambil bayar gua ngomong, “Kenapa? Teteh mau ikut? Hehe.” dengan
pandangan menggoda. Teh Lilis sesaat kaget, lalu tertawa.
“Duluan, Teh..” Kata gua,
kemudian cabut dari warung. Teh Lilis masih menunggu belanjaannya. Dan tak
lama, dia pun bergegas pulang.
Teh Lilis cuma berjarak 3 langkah
dibelakang gua. Gua sengaja memperlambat jalan gua. Teh Lilis dilema, antara
mau duluin gua atau ikutan jalan lambat. Dia milih opsi pertama, mungkin karena
sudah ditungguin suaminya.
“Ayo, mas..” Katanya saat berada
disebelah gua sesaat mendahului.
“Oh, iya Teh..” Balas gua, sok
cuek dengan akting mainan gejet. Dalam hati bergejolak,
“minta-ngga-minta-ngga..” Akhirnya gua memilih, Ngga! Haha, cupu banget gua.
Minta nomornya aja takut! Yaiyalah, takut. Bini orang, sob!
Tapi iblis punya rencana lain.
Saat berada didepan ruko/rumah Teh Lilis, dia kembali bersuara sebelum masuk.
Seolah memberikan kode, kalo dia mau kok diajak selingkuh.~
“Awas, Mas, kesandung! Hehe”
godanya, yang melihat gua jalan sambil menatap layar gejet. Gua sok cool,
menengok kearahnya dan hanya tersenyum. Ingin rasanya ngomong, “Teh, minta
nomor teleponnya, Teh..” Tapi itu namanya main kotor. Kemungkinan didenger Mas
Muji besar, jadi gua urung melakukannya.
Sampai kamar, gua menyusun
rencana dan tidur. Kopi yang gua beli dan udah diseduh, yang hanya menjadi
kamuflase itu pun tak tersentuh. “Biarlah jadi rejeki semut..” Batin gua, lalu
tidur.
Pagi-pagi sekali gua bersiap
menjalankan aksi. Hemm, seperti apa aksi gua? Stay tune, gaes!
Pagi-pagi sekali gua sudah berada
di area sekolahan tempat Ria sekolah.
Iblis benar-benar sudah menguasai
diri gua. Entah dimana keberadaan malaikat.
Rencananya, gua akan mulai
mendekatkan diri sama Teh Lilis saat dia menunggu Ria. Dan, melihat umur Teh
Lilis yang gak tua-tua amat, dugaan gua dia pasti gak akan ikut nunggu Ria
sambil ngerumpi sama ibu-ibu lain yang juga mengantar anaknya.
Tapi dugaan tinggal dugaan. Teh
Lilis ikut membaur dengan ibu-ibu. Iblis memberi celah dengan tidak adanya
ibu-ibu yang berada di sekitar Teh Lilis yang gua kenal. Jadi, besar
kemungkinan juga gak ada yang mengenal gua. Tinggal kemudian gua mencari celah
untuk “dilihat” Teh Lilis.
Mulai dari bersiul kearah Teh
Lilis, sampai melambai-lambaikan tangan, dia tetap tak sadar keberadaan gua.
Tiba-tiba saja ide muncul saat melihat bocah sd keluar dari salah satu kelas
(bukan kelasnya Ria), gua langsung mengiming-imingin jajanan dan mengantarnya
kembali ke kelas seolah-olah gua adalah sodaranya.
Teh Lilis sedikit kaget melihat
keberadaan gua. Gua mengangguk dan tersenyum kearahnya. Setelah si bocah masuk
kelas, gua menghampiri Teh Lilis.
“Nganter? Siapa?” Katanya,
membuka pembicaraan.
“Oh, iya. Keponakan Teh..”
“Oohh..” Responnya sambil
beranjak dari tempat duduk hendak membeli jajanan.
Gua sih yakin kalo dia cuma
ngasih peluang ke gua, semacem kode minta ditelanjangin. Atau minimal ini
settingan iblis.
“Nungguin sampe pulang, Teh?”
Tanya gua. Dia gak gak menjawab, hanya mengangguk. Raut wajahnya tampak risih.
Seketika gua bagai tersambar petir. “Anjir, gua cuma kegeeran nih..” Batin gua.
“Teh..” Sapa gua lagi. Pantang
menyerah.
“Iya..” Jawabnya, masih dengan
raut wajah risih dan cenderung was-was. Gua langsung menyodorkan hp dan minta
nomor teleponnya. Dang! Hp gua gak direspon.
Tapi dia malah bilang, “Nomor Mas
aja berapa?” sambil mengeluarkan hpnya dan gua pun pamit duluan setelah
memberikan nomor hp.
Gua sih ga yakin dia bakal
ngontek gua, tapi atas dasar positive thinking untuk kelakuan negative, gua
menunggu kontak Teh Lilis. Tak sampai satu jam, ada pesan masuk ke hp gua.
“Ada apa ya, Mas? Maaf, saya
risih ngobrol ditempat umum. Takut dikira macem-macem. Lilis.”
Hhhuuaaa.. Teh Lilis. Macam orang
dulu aja ngirim Short Messages Service. Hehe
“Hehe, kalo gitu saya Teh yang
minta maaf. Ga ada apa-apa Teh, mau kenal aja. Mau ngobrol-ngobrol. Kalo smsan
gini masih risih ga, Teh? Hehe”
“Ya kalo sms gini ga risih. Kan
gak ada yang liat. Mau kenal? Kan udah kenal. Ngobrol kok sama ibu-ibu sih Mas,
sama yang masih gadis aja atuh.”
“Duh, Teh. Kalo sama gadis mah
ribet Teh, ambekan. Dikit2 ngambek. Hehe. Teh Lilis tiap hari nungguin Ria?”
“Yah Mas, ibu-ibu juga sering
ngambek kok. Namanya juga perempuan. Heee. Iya, tiap hari nungguin. Mas tadi
anter anaknya ponakan? Kok baru liat.”
“Hehe, ngga Teh. Sebenernya cuma
alesan buat ketemu Teteh aja ”
“Hmm. Mas, tolong jangan nelepon
saya yah klo saya lagi dirumah. Takut bapaknya Ria tau nanti malah nyangka
macet-macet.”
Pesan terakhir Teh Lilis gak gua
bales, tapi gua berinisiatif langsung meneleponnya. Teh Lilis terasa begitu
segan dan risih saat menerima telepon gua. Tapi meski begitu, dia juga tak
memadamkan percikan untuk digoda. Gua sebagai lelaki normal yang abnormal tentu
saja tak melewatkan peluang begitu saja.
Gua mencoba membuatnya nyaman
berbicara sama gua. Pelan-pelan Teh Lilis mulai ‘biasa’ dan enjoy dalam
berbicara. Sesekali dia bercerita juga bertanya. Nah, kedua hal tersebut adalah
koentji sebuah pedekate berhasil atau tidak.
Akhirnya Teh Lilis menyudahi
obrolan via telepon itu karena jam pulang Ria sudah tiba. Gua longok jam
tangan, ‘pukul 09:50 WIB’.
Diakhir obrolan gua sempet
ngomong, “Kalo lagi suntuk sms saya aja, Teh. Siapa tau malah tambah suntuk..”
seraya tertawa. Teh Lilis juga tertawa lepas saat menutup teleponnya.
Gua pulang kerumah waktu banci
pun belum dandan. Pikiran gua dipenuhi strategi-strategi menelanjangi Teh
Lilis.
Dan sepertinya, Teh Lilis ini
memang minta ditelanjangi. Dia sms gua gak lama setelah gua sampai rumah.
“Tumben Mas jam segini udah
pulang? Gak jalan-jalan dulu sama pacarnya? Lagi marahan ya.. Hehehe”
Gua sempat kaget mendapati sms
Teh Lilis, karena pas gua liat sebelum masuk rumah, Teh Lilis lagi momong Ria
di dekat Mas Muji. Mas Muji sendiri sedang melayani pembeli yang gak
banyak-banyak amat dan gak sedikit juga.
“Hehe, bisa aja Teteh. Lagi
nonton tv apa masih di depan Teh? Tadi saya lihat kan Teteh di depan.”
“Iya, lagi nonton tv. Udah ga di
depan, banyak pembeli. Lagi sekalian nidurin Ria.”
“Nidurin Ria? Mau juga dong Teh,
ditidurin. Ahahaha. Becanda, Teh. Loh, banyak pembeli kok gak bantuin Mas
Muji?”
“Hmm. Untung cuma becanda.
Bantuin kok, tapi sambil nonton tv. Heee.”
“Owgitu..”
Biajingan, gua keabisan ide sampe
cuma begitu doang bales smsnya. ‘Owgitu..’ Sms macam apa itu? Macem lagi
wasapan atau bbman aja. Padahal di sms tersedia 140 karakter. Eh, bener apa
ngga ya? Bodo, ah. Haha.
Tapi ditengah keputusasaan
balesan sms gua, Teh Lilis memainkan perannya.
“Besok nganter lagi Mas?”
“Nganter, bareng aja Teh.”
“Gak ah. Ngerepotin.”
“Yah, Teh. Timbang gitu aja
ngerepotin.”
“Heeeehe. Boleh deh kalo gak
ngerepotin.”
“Eh, sebenernya emang ngerepotin
sih Teh. Kecuali kalo abis nganter trus Teteh nungguin Ria-nya diluar sama
saya, baru gak ngerepotin.”
“Hmm. Keluar kemana Mas?”
“Gak usah jauh-jauh Teh. Biar jam
setengah sepuluh udah sampe sekolahan lagi. Kemana aja, yang penting bisa
ngobrol-ngobrol.”
“Gak ah. Takut ada yang liat
Mas.”
“Ya kalo gitu, kita pergi
ketempat yang gak ada orang liat. Hehe.”
“Mas bisa aja. Udahan dulu ya,
Mas. Jangan sms lagi.”
Huhu. Yes!
Besoknya, seperti yang sudah
dismskan semalem, gua nganter Ria dan Teh Lilis dengan bergaya seolah-olah gak
janjian.
Teh Lilis sempat bertanya,
“Keponakannya mana Mas?” waktu perjalanan ke sekolah. Tapi gak gua jawab,
karena pun dia nanya dengan raut wajah menggoda. Jiguri.
Setelah sampai sekolahan, Teh
Lilis mengantar Ria ke kelas. Gua kemudian meneleponnya, memberitau kalo gua
nunggu diseberang jalan utama sekolahan. Teh Lilis hanya membalas dengan suara,
“Hmm.. He’em.. Iya. Iya. He’em..”
Tak sampai 20 menit, Teh Lilis
sudah masuk ke dalam mobil yang gua parkir di minimarket. Gua sedang berada di
dalam membeli ‘perlengkapan perang’.
Mobil sengaja menyala dan gak gua
kunci, Teh Lilis menjalankan semua perintah gua. Nice.
“Kemana Mas?” Tanya Teh Lilis
waktu gua baru masuk mobil.
“Kemana ya?” Kata gua sambil
memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa ada gangguan sedikitpun. Muka Teh Lilis
seketika memerah. Kemudian memalingkan pandangannya.
Teh Lilis hanya memakai celana
piama. Celana tidur dipadu dengan daster sedengkul dan jaket. Badannya yang
bahenol terlihat dari balik pakaian yang berbahan lemas itu. Meski jaket
blazernya coba menutupi.
Gua mulai nakal dengan menyentuh
bagian rusuknya. Teh Lilis reflek bergoyang. Sekali, dua kali, sampai akhirnya
Teh Lilis menghadap gua, lalu meraup wajah gua. Seperti sedang menampar, tapi
tanpa tenaga.
“Bajingan, berani nyentuh gua nih
ibu-ibu..” Batin gua. Gua pun langsung memanfaatkan dengan memegang tangannya.
Teh Lilis membeku. Gua berdebar tak karuan.
“Yang penting, cabut dulu aja Teh
dari sini..” Kata gua kemudian sambil keluar parkiran dan gas pol entah kemana.
Dijalan, gua menimang-nimang
tempat tujuan. Teh Lilis gak banyak bicara, cenderung sedikit grogi. Raut
wajahnya juga tampak khawatir. Entah khawatir gua apa-apain atau khawatir
perbuatan nekatnya ini ketahuan Mas Muji.
Di depan gerbang hotel, gua
berhenti dan memandang Teh Lilis. Satu, dua, tiga detik, Teh Lilis tak kunjung
memandang balik. Gua menggoyangkan jari di lingkaran stir.
Teh Lilis memandang balik. Raut
wajahnya bukan sekedar bertanya “Ngapain berhenti didepan hotel?” tapi juga,
“..Kalo mau masuk, ya masuk.”
Gua tersenyum lebar. Teh Lilis
menghembuskan nafas panjang. Iblis berdendang dijok belakang. Malaikat
terbelenggu didalem bagasi.
“Mas ngapain kita kesini?” Tanya
Teh Lilis saat sudah duduk dibibir kasur hotel.
“Ngapain ya Teh enaknya? Hehe.
Ngobrol aja Teh..” Jawab gua sambil merebahkan badan dikasur. Teh Lilis
membelakangi gua.
“Kan, kalo ngobrol disini gak
bakal ada yang liat Teh..”
Teh Lilis sesekali menengok
kebelakang, melihat posisi pewe gua. “Sini, Teh, nontonnya sambil rebahan. Kaya
waktu saya pertama ngeliat Teteh, kan lagi nonton tv sambil tiduran gini..”
Goda gua.
Teh Lilis kembali menengok dan
tertawa malu. “Saya duduk, sih waktu itu. Gak tiduran. Dibilangin bapaknya Ria,
mau ada yang numpang kamar mandi.”
Didalam kamar, hampir selama
setengah jam, hanya gua habiskan dengan ngobrol gak jelas. Sama-sama malu.
Sama-sama grogi. Tapi lambat laun, Teh Lilis mulai santai dan berkeliling kamar
hotel.
Duduk dimeja rias. Ke kamar
mandi. Buka-buka kulkas dan baca majalah. Sesekali mendekat ke arah gua untuk
bertanya sesuatu yang ada dikamar hotel. Gua pun justru larut dengan
menyia-nyiakan waktu yang ada sambil glesoran dikasur.
Madep kanan, madep kiri,
tungkerep, telentang. Glesoran gak karuan.
Sampai akhirnya gua bertanya
sesuatu, “Eh, Teh. Kok umurnya bisa beda jauh sih sama Mas Muji?”
Teh Lilis yang sedang duduk
didepan meja rias sambil baca majalah kemudian berdiri. Mukanya seketika kesal.
“Saya mau balik ke sekolahan, Mas..” Katanya.
Doh, ngambek!
Teh Lilis lalu berjalan menuju
pintu, gua langsung beranjak dari kasur dan menahannya.
Kemudian gua minta maaf kalo ada
sesuatu yang menyinggung. Teh Lilis tak bergeming. Gua sedikit menarik
tangannya. Yang terjadi kemudian sungguh diluar perkiraan.
Gua hanya menarik tangannya pelan
untuk mendapat perhatiannya yang sebelumnya enggan memandang gua. Tapi reaksi
Teh Lilis seperti baru saja di uppercut Muhammad Ali.
Dia merobohkan badannya yang
secara otomatis menimpa badan gua yang lalu terjatuh dikasur.
Sesaat kami saling pandang. Kedua
tangan Teh Lilis berada didada gua, sedikit menopang tubuhnya.
Gua lalu melingkarkan tangan gua
dibadannya. Teh Lilis tak bereaksi. Masih memandangi gua. Gua salah tingkah.
Muka Teh Lilis sedikit berubah menjadi sangat serius. Sesekali dia memejam.
Kemudian gua meraih kedua
tangannya. Badan Teh Lilis sepenuhnya menindih badan gua. Payudaranya yang
montok mendarat tepat didada gua. Muka Teh Lilis makin berubah saat gua
menggoyangkan badannya. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin melumat atau
berkata sesuatu.
Gua melepaskan jaket blazzernya.
Ariel sudah tegangan tinggi. Kaki Teh Lilis lurus diatas gua.
Gua lalu meremas bokongnya agar
kakinya terbuka. Dan, yap, Teh Lilis mengangkang diatas gua dengan wajah horny.
Ariel yang sudah tegangan tinggi
terasa bersentuh dengan bagian vagina Teh Lilis. Gua menggoyangkan pinggul
naik-turun sambil meremas bokongnya. Sebentar saja, Teh Lilis sudah mengikuti
irama goyangan.
“Sssstttt..” Desisnya sambil
memejamkan mata. Giginya seperti sedang menggigit sesuatu. Gua makin kencang
meremas bokongnya.
Tiap gua remas dan bergoyang, Teh
Lilis berdesis sambil mengatur nafas. “Sssssttt..”
Tangan gua masuk ke dalam celana
piamanya. Mudah saja buat gua karena hanya berbahan kolor. Setelah didalam
celana, tangan gua gak meremas bokongnya, tapi langsung menyentuh vaginanya
dari atas.
Teh Lilis langsung mencengkram
wajah dan melumat bibir gua. “Eemmm…” Desah gua.
Sambil berciuman, saling melahap
satu sama lain, gua menarik-narik kancut Teh Lilis. Teh Lilis bergeliat sambil
menggoyangkan sendiri pinggulnya. “Sssssttt…hhuuu..” Desahnya kali ini.
Gua lalu mulai meremas
payudaranya. Teh Lilis memberi ruang dengan sedikit mengangkat tubuhnya yang
berada diatas gua. Sebentar saja, gua langsung membuka tali branya dan
mengangkat daster serta branya.
Payudara montok Teh Lilis
menggantung diatas wajah gua. Dia menahan tubuhnya dengan kedua tangan dikasur.
Setelah menikmati aroma tubuhnya, gua mulai mengulum puting payudara Teh Lilis.
Dari payudara yang satu, ke yang
lain. Secara adil gua kulum dan remas payudaranya. Teh Lilis menggoyangkan
badannya saat gua sedang melahap salah satu payudaranya.
Sambil menjilati putingnya, gua
kembali meremas bokongnya.
Teh Lilis makin menikmati
kebejatannya. Dia membuka celananya pake satu tangan dengan gerakan yang
dinamis, tanpa mengganggu gua yang sedang melahap payudaranya. “Ssssttt..
Aahh..” Desahnya.
Gua lalu membalikkan badan. Teh
Lilis telentang sambil bergeliat saat gua melepas celana. “Dasternya, buka
Teh..” Kata gua saat hendak menjilati vaginanya yang masih tertutup. Teh Lilis
membuka dasternya dan tapi kemudian menarik wajah gua dan memberikan ciuman
dahsyat. Dia mencium sambil menyedot.
Gua memasukkan tangan ke dalam
kancutnya dan menyentuh vaginanya. Teh Lilis makin melumat bibir gua. Lalu gua
memaikan jari dimulut vaginanya. Basah!
Vagina Teh Lilis sudah basah saat
gua melepaskan kancutnya, dan saat hendak menjilati, lagi-lagi dia menarik
kepala gua. Gua pun akhirnya hanya mengocok vaginanya dengan jari sambil
menjilati payudaranya. “Aaaahhhh.. Sssttt.. Aaaauuggghh..” Desahnya.
Kemudian gua memasukkan satu lagi
jari ke dalam vaginanya. Teh Lilis mengerang sambil mencengkaram leher gua. Gua
melepaskan cengkramannya sambil mempercepat gerakan jari mengocok vaginanya.
Untuk mendapatkan hasil maksimal,
gua menegakkan dudukan badan. Yang tadinya sedikit membungkuk mengulum
payudara, menjadi duduk tegap disamping badan Teh Lilis yang bergeliat
keenakan.
Pemandangan dari sini adalah yang
terbaik saat sesi porplei, bro.. Haha. You, know lha.
Teh Lilis tak dapat
menyembunyikan raut wajah malu bercampur nafsu saat gua sengaja mengocok vagina
sambil memperhatikannya. “Enak, Teh..” Kata gua.
Entah pertanyaan bodoh macam apa
itu. Sialnya, itu pertanyaan yang sering diajukan lelaki saat sedang memberikan
nikmat ke wanita yang sesang dieksekusi.
Teh Lilis menutupi wajahnya
dengan bantal saat tak kuasa mendesah. Dia mendesah dibalik bantal. Gua
langsung menyingkirkan bantal. Wajah Teh Lilis tampak sudah tak perduli. Dia
benar-benar menikmati gerakan jari-jari gua.
“Aaahhh, aaakkhhh, hhhaaaahhh..”
Desahnya sambil meremas salah satu payudaranya. Payudara yang lain, gua bantu
meremas.
Sesaat gua bertanya-tanya. “Ini
orang udah punya anak kok pentilnya masih bagus?” Sambil memilin dan meremas
buah dadanya.
Sesekali gua kembali melumat
pentil dan payudaranya. “Aaaakkkhhh…” Desahnya, panjang. Kemudian gua makin
cepat mengocok vaginanya. Teh Lilis coba merangkul leher gua, tapi tak bisa
karena gua menghindar. Ia lalu mencengkram sprei kasur dengan kedua tangan yang
berada diatas kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, gua makin semangat
mengocok.
Akhirnya Teh Lilis memuncratkan
cairan dari vaginanya. Badannya bergeliat tak karuan. Ia menahan gerakannya
sambil mengatur nafas.
Teh Lilis terkujur lemas dengan
badan sedikit miring. Kedua kakinya menutup vaginanya.
Gua lalu mengeluarkan Ariel dan
mendekatkan ke wajahnya. Gua ‘memukul-mukul’ wajah Teh Lilis dengan pentungan
hansip itu. Lalu mulai menggerayangi mulutnya. Teh Lilis urung membuka mulut,
dia tampak sedang masih mengumpulkan tenaga.
Gua terus berusaha sambil kembali
meremas payudaranya. Lalu membuka kakinya yang menutupi vagina. Teh Lilis
kembali terlentang dengan posisi sedikit mengangkang. Gua memberikan
sentuhan-sentuhan ringan ke sekujur badannya.
Kemudian setelah menjilati
payudaranya, gua menciumi bagian pahanya. Posisi gua masih dengan Ariel yang
berada di wajah Teh Lilis. Gua lalu merebahkan badan disamping dengan posisi
terbalik. 69!
Dengan posisi menyamping, gua
mulai melumat vagina Teh Lilis. Dia langsung meremas Ariel. Lalu gua mengangkat
badannya menindih badan gua dalam posisi sempurna 69.
Gua menjilati vagina Teh Lilis
yang terasa asin. Teh Lilis urung melahap Ariel sampai gua memasukkan satu jari
kedalam vaginanya. “Oouugghh..” Desahnya, lalu melahap Ariel.
Ariel terasa hangat dan basah.
Bokong Teh Lilis bergerak-gerak
diatas wajah gua. Vaginanya tepat berada dimulut gua. Sementara Ariel keluar
masuk mulutnya.
Teh Lilis makin menikmati
tugasnya. Sesekali dia menyedot Ariel dalam-dalam, lalu menjilati dan mengulum
bola dragonbol. “Ahhh, enak teh..” Kata gua. Kali ini bukan pertanyaan, ini
pernyataan.
Teh Lilis tiba-tiba menegakkan
badannya.
Sambil mengocok Ariel, dia
merangkak naik dan mengurung Ariel kedalam vaginanya. Jleb!
“Aahh, Fak!” Respon gua, tak
menyangka dia langsung ke topik utama.
Teh Lilis membelakangi gua dengan
kedua tangan memegang sandaran punggung kasur. Ariel terlihat timbul tenggelam
dari bokong Teh Lilis yang gua liat dari belakang.
Gua memegang bokong Teh Lilis,
membantunya bergerak naik-turun, maju-mundur. “Sssssstttt, mmaaasss… Aaahhhh”
Desah desis Teh Lilis yang makin cepat menggenjot.
Lalu gua bangun dari tidur dan
memeluk Teh Lilis dari belakang. Sambil meremas payudaranya, gua menciumi
punggungnya.
Teh Lilis makin beringas, dia
merangkul gua dengan posisi membelakangi. Nikmat sekali. Lalu Teh Lilis meminta
berciuman, dengan senang hati gua melayaninya. Kedua tangan Teh Lilis yang
setengah merangkul leher gua, membuat ketiaknya tampak menggairahkan. Sesekali
gua memberikan kecupan ke ketiaknya.
Meski tidak harum, tapi juga
tidak bau. Yang penting, tidak ada bulunya!
Badan Teh Lilis yang bahenol tak
dapat gua tahan lebih lama berada diatas paha gua.
Gua lalu* memintanya berdiri, dan
mengambil posisi doggy tanpa melepas Ariel yang betah didalam vagina Teh Lilis.
Teh Lilis berdiri dengan
lututnya, masih dengan posisi membelakangi gua.
Gua sedikit membungkukkan
punggungnya, sambil meremas payudara. Teh Lilis bergeliat saat lehernya gua
kecup-kecup.
“Keluarin didalem, Teh?” Tanya
gua saat bergerak lambat menikmati ciuman.
“Jangan dikeluarin dulu..”
Bisiknya, manja.
Gua kemudian menghadapkan
wajahnya kearah jam dinding sambil melumat bibirnya.
Dia yang paham maksud gua lalu
mendorong bokong gua agar masuk lebih dalam. Gua lalu berakselerasi tingkat
tinggi.
“Plak! Plak! Plak!” Suara yang
keluar, diikuti desahan Teh Lilis, “Aaakkhhh, aaaaakkhh, Maasss.. Sssttt..”
Tak butuh lama dari serangan
terakhir, Ariel memuntahkan ludah naga didalam vagina Teh Lilis.
“Oouugghhh…” Desah gua, panjang.
Teh Lilis langsung membenamkan
wajahnya dikasur dengan posisi nungguing. Tampak sperma gua secara perlahan
keluar dari dalam vagina Teh Lilis. “Sssstttt.. Hhhaaaahhh..” Desisnya.
Setelah sepertinya sperma sudah
banyak yang keluar, Teh Lilis merobohkan badannya, tidur tungkerep.
Lalu bersuara pelan, “Ria udah
aku titipin sama temen. Nanti langsung aku jemput dirumahnya..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar