>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 7 4 9 5
Top 2D : 07 14 29 35 47
Cadangan 2D : 57 64 79 85 97
TOP SHIO : Naga Babi Kerbau
COLOK BEBAS : 4 5 7
AS : 3 4 5
KOP : 7 8 9
KEPALA : Besar / Ganjil
EKOR : Besar / Ganjil
Namaku Lani, seorang ibu rumah
tangga, umurku 36 tahun. Suamiku namanya Prasojo, umur 44 tahun, seorang
pegawai di pemerintahan di Bantul. Aku bahagia dengan suami dan kedua anakku.
Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dia
seorang tentara. Penampilanku walaupun sudah terbilang berumur tapi sangat
terawat, karena aku rajin ke salon dan fitnes dan yoga. Kata orang, aku mirip
seperti Sandy Harun.
Tubuhku masih bisa dikatakan
langsing, walaupun payudaraku termasuk besar, karena sudah punya anak dua.
Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa.
Dia sudah mau lulus SMA, yang kedua Sangga,masih sekolah SMA kelas 1. Rika
walaupun tinggal serumah dengan kami juga lebih sering menghabiskan waktunya di
tempat kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, karena cowok remaja, lebih
sering berkumpul dengan teman-temannya ataupun sibuk berkegiatan di sekolahnya.
Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan seksku semakin tua
justru semakin menjadi-jadi. Apalagi suamiku selain bertubuh kekar, juga orang yang
sangat terbuka soal urusan seks. Akhir-akhir ini, setelah anak-anak besar, kami
berlangganan internet.
Aku dan suamiku sering browsing
masalah-masalah seks, baik video, cerita, ataupun foto-foto. Segala macam gaya
berhubungan badan kami lakukan. Kami bercinta sangat sering, minimal seminggu
tiga kali. Entah mengapa, semenjak kami sering berseluncur di internet, gairah
seksku semakin menggebu. Sebagai tentara, suami sering tidak ada di rumah, tapi
kalau pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe. Sudah lama kami
memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Tapi aku sangat takut untuk pasang
spiral. Dulu aku pernah mencoba suntik dan pil KB.
Tapi sekarang kami lebih sering
pakai kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku,
di payudara, atau bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati agar
Sangga tidak punya adik lagi. Dan tenang saja, suamiku sangat jago
mengendalikan muncratannya, jadi aku tidak khawatir muncrat di dalam rahimku.
Walaupun sudah dua kali melahirkan tubuhku termasuk sintal dan seksi.
Payudaraku masih cukup kencang karena terawat. Tapi yang jelas, bodiku masih
semlohai, karena aku masih punya pinggang. Aku sadar, kalau tubuhku masih tetap
membuat para pria menelan air liurnya. Apalagi aku termasuk ibu-ibu yang suka
pakai baju yang agak ketat. Sudah kebiasaan sih dari remaja.
Suamiku termasuk seorang pejabat
yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung dia termasuk aparat yang
disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga banyak bergaul dengan
anak-anak muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku sering mengajak anak-anak
muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah. Semenjak setahun yang
lalu, di halaman depan rumah kami di bangun semacam gazebo untuk nongkrong para
tetangga. Setelah membeli televisi baru, televisi lama kami, ditaruh di gazebo
itu, sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak
bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku kalau pas aku bersih-bersih
halaman atau ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, kalau istilah
kerennya, aku ini termasuk MILF, hehehe. Selain bapak-bapak, ada juga pemuda
dan remaja yang sering bermain di rumah. Salah satunya karena gazebo itu juga
dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga.
Salah satu anak kampung yang
paling sering main ke rumah adalah Indun, yang masih SMP kelas 2. Dia anak
tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan
tangan. Sama suamiku dia sangat akrab, bahkan sering membantu suamiku kalau
lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih
anak-anak, Indun dekat dengan anak-anak kami, mereka sering main karambol
bareng di gazebo kami. Bahkan kadang-kadang Indun menginap di situ, karena
kalau malam, gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, sehingga tidak terasa
dingin. Pada suatu malam, aku dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami.
Semenjak sering melihat adegan blow job di internet, aku jadi kecanduan
mengulum penis suamiku. Apalagi penis suamiku adalah penis yang paling gagah
sedunia bagiku. Tidak kalah dengan penis-penis yang biasa kulihat di BF.
Padahal dulu waktu masih
pengantin muda aku selalu menolak kalau diajak blowjob. Entah kenapa sekarang
di usia yang sudah pertengahan kepala tiga ini aku justru tergila-gila mengulum
batang suamiku. Bahkan aku bisa orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu.
Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku,
aku selalu membawa pisang kalau nonton film-film gituan. Biasalah, sambil
nonton, sambil makan pisang, hehehe. Malam itu pun aku dengan rakus menjilati
penis suamiku. Bagi mas Prasojo, mulutku adalah vagina keduanya. Dengan
berseloroh, dia pernah bilang kalau sebenarnya dia sama saja sudah poligami,
karena dia punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu
ada benarnya, karena mulutku sudah hampir menyerupai vagina, baik dalam
mengulum maupun dalam menyedot.
Karena kami menghindari
kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku. Malam
itu kami lupa kalau Indun tidur di gazebo kami. Seperti biasa, aku
teriak-teriak pada waktu penis suamiku mengaduk-aduk vaginaku. Suamiku sangat
kuat. Malam itu aku sudah berkali-kali orgasme, sementara suamiku masih segar
bugar dan menggenjotku terus menerus. Tiba-tiba kami tersentak, ketika kami
mendengar suara berisik di jendela. Segera suami mencabut batangnya dan membuka
jendela. Di luar nampak Indun dengan wajah kaget dan gemetaran ketahuan
mengintip kami. Suamiku nampak marah dan melongokkan badannya keluar jendela.
Indun yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya
terantuk selokan kecil di teras rumah. Indun terjerembab dan terjungkal ke
belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi dia kesal juga.
“Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?”
bentaknya.
Indun ketakutan setengah mati.
Dia sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi
memarahinya. Indun gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, sepertinya
pantatnya terantuk sesuatu di halaman. Aku tadinya juga sangat malu diintip
anak ingusan itu. Tapi aku juga menyayangi Indun, bahkan seperti anakku
sendiri. Aku juga sadar, sebenarnya kami yang salah karena bercinta dengan
suara segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Indun.
“Aduh, mas. Kasian dia, gak usah
dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Indun dan memegang tangannya.
Wajah Indun sangat memelas,
antara takut, sakit, dan malu.
“Sudah gak papa. Kamu sakit,
Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, bisa gak?”
Karena gemeteran, Indun gagal
mencoba berdiri, dia malah terjerembab lagi. Secara reflek, aku memegang
punggungnya, sehingga kami berdua menjadi berpelukan. Dadaku menyentuh
lengannya, tentu saja dia dapat merasakan lembutnya gundukan besar dadaku,
karena aku hanya memakai daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya aku
tidak memakai apa-apa.
“Aduh sorri, Ndun” pekikku.
Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak
kesal aku melirik suamiku, kenapa dia menertawai kami.
“Aduh Mas ini. Ada anak jatuh kok
malah ketawa”
“Hahaha.. lihat itu, Dik. Si
Indun ternyata udah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan
Indun. Weitss… ternyata mungkin tadi Indun mengintip kami sambil mengocok,
karena di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya mencuat ke atas.
Penis kecil itu terlihat sangat tegang dan berwarna kemerahan. Malu juga aku
melihat adegan itu, apalagi si Indun. Dia tambah gelagepan.
“Hussh Mas. Kasihan dia, udah
malu tuh”, kataku yang justru menambah malu si Indun.
“Kamu suka yang lihat barusan, Ndun?
Wah, hayooo… kamu nafsu ya lihat istriku?” goda suamiku.
Suamiku malah ketawa-ketawa
sambil berdiri di belakangku. Tentu saja wajah Indun tambah memerah, walaupun
tetap saja penis kecilnya tegak berdiri. Kesal juga aku sama suamiku. Udah gak
menolonng malah mentertawakan anak ingusan itu.
“Huh, Mas mbok jangan godain dia,
mbok tolongin nih, angkat dia”
“Lha dia khan sudah berdiri, ya
tho Ndun? Wakakak” kata suamiku.
Aku sungguh tidak tega lihat muka
anak itu. Merah padam karena malu. Aku lalu berdiri mengangkang di depan anak
itu, dan memegang dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat juga badannya.
Kutarik kuat-kuat, akhirnya dia terangkat. Tapi baru setengah jalan, mungkin
karena dia masih gemetar dan aku juga kurang kuat, tiba-tiba justru aku yang
jatuh menimpanya. Ohhh… aku berusaha untuk menahan badanku agar tidak menindih
anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Indun dan membuatnya jatuh
terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, aku ikut jatuh terduduk di
pangkuannya. Dan…. ohhhh. Sleppp…. terasa sesuatu menggesek bibir vaginaku.
“Waa…!” aku tersentak dan sesaat
bingung apa yang terjadi, begitu juga dengan Indun, wajahnya nampak sangat
ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa melihat kami
jatuh lagi. Tiba-tiba aku sadar benda apa yang bergesekan dengan vaginaku,
penis kecil si Indun! Penis itu menggesek wilayah sensitifku disamping karena
vaginaku masih basah oleh persetubuhanku dengan suamiku, juga karena aku tidak
mengenakan apa-apa di balik daster pendekku.
“Ohhhhh…. apa yang terjadi?”
Pikirku.
Mungkin juga karena penis Indun
yang masih imut dan lobang vaginaku yang biasa digagahi penis besar suami,
jadinya sangat mudah diselipin batang kecil itu.
“Ohhh.. Masss???” desisku pada
suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak kaget.
“Napa, say?” tanyanya heran.
Kami bertiga sama-sama kaget,
suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan
melihat bahwa kelamin kami saling bersentuhan. Beberapa saat kami bertiga
terdiam bingung dengan apa yang terjadi. Aku merasakan penis Indun
berdenyut-denyut. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung
setelah persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda. Aku mencoba bangkit, tapi
entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si
Indun. Tentu saja penisnya melesak ke lobangku. Ohhh… aku merasakan sensasi
yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh.
“Ohhh…” desisku. Indun terpekik
tertahan. Wajahnya memerah. Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan
merespon selangkanganku. Slepppp… kembali penis itu menusuk dalam lobangku.
Yang mengherankan suamiku diam
saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah
dan sedikit membuka mulutnya, mungkin bingung juga untuk bereaksi dengan
situasi aneh ini.
Aku diam saja menahan napas
sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan
dan kiri si Indun. Sementara Indun dengan wajah merah padam menatap mukaku
dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok
penisnya tetap tegang di dalam vaginaku. Dasar anak mesum, pikirku. Tapi aneh
juga, aku justru merasakan sensasi yang aneh dengan adanya penis anak yang
sudah kuanggap saudaraku sendiri itu dalam vaginaku. Agak kasihan juga lihat
mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dia
sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, karena
penisnya sudah terlanjur dalam vaginaku. Aku melirik suamiku sambil tetap duduk
di pangkuan si Indun. Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon
mas Prasojo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja
persetubuhanku dengan Indun, toh penisnya sudah menancap di vaginaku. Apalagi
kalau lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Indun kalau
tidak diteruskan. Dengan nekat aku kembali menekan pantatku ke depan. Vaginaku
meremas penis Indun di dalam. Merasakan remasan itu, Indun terpekik kaget.
Suamiku mendengus kaget juga.
“Dik, aaa…paaaa yang kaulakukan?”
kata suamiku gagap.
Aku diam saja, hanya saja aku
mulai menggoyang pantatku maju mundur.
Suamiku melongo sekarang.
Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Indun tidak berani lihat
suamiku. Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu.
“Mas… aku teruskan saja ya, kasihan
si Indun. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani ke
suamiku.
Aku tak bisa lagi menduga
perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar perkiraan kami semua. Tapi
suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa
yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Indun.
Si Indun mengerang-erang sambil terbaring di rerumputan halaman rumah kami.
Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas penis kecil itu di
dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan, karena aku rajin ikut
senam. Apalagi ini si Indun, anak ingusan yang tidak berpengalaman. Tiba-tiba,
karena sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang
aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan
suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam vaginaku
menguat, dan penis kecil si Indun dijepit dengan luar biasa.
Indun meringis dan mengerang.
Pantatnya melengkung naik, dann…. croottttttttt………..
Cairan panas itu membanjiri
rahimku. Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh
badai kenikmatan…
“Ohhhhhhhhhh…”
Aku lalu terkulai sambil menunduk
menahan tubuhku dengan kedua tanganku. Nafasku terengah-engah tidak karuan.
Sejenak aku diam tak tahu harus bagaimana. Aku dan suamiku saling berpandangan.
“Dik… Indun gak pakai kondom ..?”
suamiku terbata-bata.
Kami sama-sama kaget menyadari
bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima banyak
sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohhh… tiba-tiba aku sadar
akan resiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi
aku bakalan mengandung anak dari Indun, bocah SMP yang masih ingusan.
Pelan-pelan aku berdiri dan
mencabut penis Indun dari vaginaku. Penis itu masih setengah berdiri, dan
berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku mengehela nafas. Cepat
cepat aku memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Indun juga menaikkan celananya
dan duduk ketakutan di rerumputan.
“Maa.. ma’af, Bu..” akhirnya
keluar juga suaranya.
Aku menatap Indun dengan wajah
seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan.
“Sudahlah, Ndun. Sana kamu
pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.
“Iya, om. Ma.. maaf ya Om” kata
Indun sambil menunduk. Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.
“Masuk!” suamiku melihat ke
arahku dengan suara agak keras.
Gemetar juga aku mendengar
suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan
terjadi?bKami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan
apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran buruk menderaku, jangan-jangan suamiku tak
memaafkanku. Ohhh apa yang bisa kulakukan. Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku
tak berani menatap suamiku. Selama ini aku adalah istri yang setia dan bahagia
bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba aku merasa sangat kotor dan hina.
Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dia mengelus pundakku.
“Sudahlah bu, ini khan
kecelakaan.”
Hatiku sangat lega. Aku menatap
suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilangan
dia. Kami berpelukan lama sekali.
“Tapi mas… kalau aku…… hamil
gimana?” tanyaku memberanikan diri.
“Ah.. mana mungkin, dia khan
masih ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil khan gak papa, si Sangga juga sudah
siap kalau punya adik lagi”, sanggah suamiku.
Jawaban itu sedikit menenangkan
hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu
mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tak tahu, padahal dia barusan saja
melihat istrinya disetubuhi anak muda. Sampai-sampai aku kelelehan melayani
suamiku. Pada orgasme yang ketiga aku menyerah.
“Mas, keluarin di mulutku saja
ya… aku tak kuat lagi” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam posisi
doggystye.
Suamiku mengeluarkan penisnya dan
menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedot-nyedot penis besar
itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan
penuh kasih sayang, aku menelan semua cairan kental itu.
Hari-hari selanjutnya berlalu
dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami
seolah-olah melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Indun belum berani main
ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat
dengan rumah Indun, tapi aku juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu.
Hanya saja aku masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan
Indun. Katanya sih dia baik-baik saja hanya sekarang lagi sibuk persiapan mau
naik kelas 3 SMP. Seminggu sebelum bulan puasa, Indun datang ke rumah
mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu
aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah.
“Hai Ndun, kok kamu jarang main
ke rumah?” tanyaku.
“Eh, iya bu. Gak papa kok Bu”,
jawabnya sambil tersipu.
“Bilang ke mamamu, makasih ya”
“Iya bu”, jawab Indun dengan
canggung. Dia bahkan tak berani menatap wajahku. Entah kenapa aku merasa kangen
sekali sama anak itu. Padahal dia jelas masih anak ingusan, dan bukan type-type
anak SMP yang populer dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si
Indun tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya
memang tinggi.
“Ayo masuk dulu. Aku buatin minum
ya” ajakku.
Indun tampak masih agak malu dan
takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo.
Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar tentang
sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali aku merasa Indun melirik ke badanku.
Wah, gak tahu kenapa, aku merasa senang juga diperhatiin sama anak itu badanku.
Waktu itu aku mengenakan kaos agak ketat karena barusan ikut kelas yoga bersama
ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat sangat menonjol. Akhirnya tidak
begitu lama, Indun pamit pulang. Dia kelihatan lega sikapku padanya tidak
berubah setelah kejadian malam itu.
Hingga pada bulan selanjutnya aku
tiba-tiba gelisah. Sudah hampir lewat dua minggu aku belum datang bulan. Tentu
saja kejadian waktu itu membuatku bertambah panik. Gimana kalau benar-benar
jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasojo. Untuk melakukan test saja aku
sangat takut. Takutnya kalau positif.
Hingga pada suatu pagi aku
melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti mau copot.
Lembaran kecil itu menunjukkan kalau aku positif hamil!!! Oh Tuhan!
Aku benar-benar kaget dan tak
percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami selalu bercinta dengan aman. Dan
jelas sesuai dengan waktu kejadian, ini adalah anak Indun, si anak SMP yang
belum cukup umur. Aku benar-benar bingung. Seharian aku tidak dapat
berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja karena aku tidak
siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku, bahwa aku hamil
dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung.
Hari itu aku belum berani untuk
memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan
perbedaan sikapku.
“Dik Lani, ada apa? Kok
sepertinya kurang sehat?” tanyanya penuh perhatian.
Waktu itu kami sedang tidur
bedua. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk
suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku.
“Ada apa sayang?” tanyanya.
Badan kekarnya memelukku mesra.
Aku selalu merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu. Aku tidak berani
menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia
menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya, “benarkah?”
Aku mengangguk pelan sambil
menagis, “aku hamil, mas…”
Jelas suamiku juga kaget. Dia
diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dia menjawab singkat’
“besok kita ke dokter Merlin”.
Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan sampai pagi tiba.
Hari selanjut sore-sore kami
berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter cantik itu memberi
selamat pada kami berdua.
“Selamat, Pak dan Bu Prasojo.
Anda akan mendapatkan anak ketiga”, kata dokter itu riang.
Kami mengucapkan terimakasih atas
ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun. Setelah
itu, suamiku tidak menyinggung masalah itu, bahkan dia memberi tahu pada
anak-anak kalau mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga,
karena sudah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan
menyemarakkan rumah yang sekarang sudah tidak lagi ada suara anak kecilnya.
Malamnya, setelah tahu aku hamil,
suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dia ingin agar
anak itu gugur atau karena dia merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku
menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3
dini hari setelah sepanjang malam kami bergelut di kasur kami. Aku tidak tahu
lagi bagaimana wujud mukaku malam itu, karena sepanjang malam mulutku
disodok-sodok penis suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai
tiga kali membasahi muka dan mulutku. Aku hampir tidak bisa bangun pagi
harinya, karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok
harinya hari libur, jadi aku tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah
anak-anak.
Hari-hari selanjutnya berlalu
dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa
horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya penis suami seperti
kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku
sebelumnya, yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru aku
merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi. Setiap malam vaginaku terasa
senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada enak, aku tinggal naik dan
goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada aku yang sering kebingungan, dan
mencari-cari di internet film-film porno. Sudah itu pasti aku mainin pakai
pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe. Yang jadi masalah,
adalah perlukah aku memberi tahu si Indun bahwa aku hamil dari benihnya? Aku
tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat
membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku,
ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota baru keluarga kami.
Itulah hal yang sangat aku syukuri.
Pas bulan puasa, tiba-tiba
suamiku melakukan sesuatu yang mengherankanku. Dia mengajak Indun untuk
membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja aku senang, karena suamiku sudah
bisa menerima kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua
bergotong-royong membersihkan halaman dan rumah. Indun dan Mas Prasojo nampak
sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali
Indun kembali menginap di gazebo kami, karena kami merasa sepi juga tanpa
kehadiran anak-anak. Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara
si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah. Semenjak
itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala. Tetap saja gazebo
depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma sekarang Indun tidak pernah
lagi menginap di sana. Mungkin karena hampir ujian, jadi dia harus banyak
belajar di rumah. Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai
terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang kalau hamil, aku selalu
mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu
bernafsu. Mas Prasojo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu
seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah,
setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang
sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba sudah
tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di
toko. Kata yang jual, aku harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran
dadaku sekarang. Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali
kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku.
Aku menjadi seperti mesin seks.
Dadaku besar, dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta
setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar.
Indun akhirnya tahu juga kehamilanku. Dia sering curi-curi pandang melihat
perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia sadar, kalau anak
dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Indun menjadi
sangat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja.
Bahkan di malam hari pun dia masih di rumah sambil sekali-kali meneruskan
program mengaji anak-anakku.
Pada suatu malam, Mas Prasojo
harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Indun sampai malam di
rumah kami, sambil menjaga menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan
ibu-ibu kampung. Jam setengah 10 malam aku baru pulang. Sampai di rumah, aku
lihat Indun masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.
“Ndun, Sangga sudah pulang?”
tanyaku sambil menaruh payung, karena malam itu hujan cukup deras.
“Belum, Bu”
Aku lalu menelpon anak itu. Ternyata
dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga,
karena anak itu tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang
sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota
kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu.
Aku lalu berkata ke Indun, “Kamu
nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasojo gak
pulang malam ini”.
Memang aku selalu gak enak hati
kalau cuaca buruk tanpa mas Prasojo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu
mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi masalah dengan kejadian waktu itu.
“Iya bu, sekalian aku ngerjain
tugas di sini”, jawab Indun.
Aku melepas kerudungku dan duduk
di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada
si Indun, gak enak kalau dia nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap
pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Indun
masih sibuk mengerjakan kalukulus di ruang tamu. Bajuku baju panjang terusan.
Agak gerah juga karena baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas
bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku karena lembab yang
luar biasa di celah vaginaku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat aku malam
itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang,
tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan, karena pantat dan payudaraku
membesar. Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya aku ingat untuk membuatkan
Indun minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu.
“Wah, makasih , Bu. Kok
repot-repot” katanya sungkan.
“Gak papa, kok”
Aku duduk di depannya sambil tak
sengaja mengelus perutku.
Indun malu-malu melihat perutku.
“Bu, udah berapa bulan ya?”
tanyanya kemudian, sambil meletakkan penanya.
“Menurutmu berapa bulan? Masak
nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.
Tiba-tiba mukanya memerah. Indun
lalu menunduk malu.
“Ya nggak tahu bu… Kok saya bisa
tahu darimana?” jawabnya tersipu.
Tiba-tiba aku sangat ingin
memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak
kandung dari anak dalam kandunganku. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya
masak gak tahu umur anaknya?”
Indun kaget, gak menyangka aku
akan menjawab sejelas itu. Dia jelas gelagapan. Hehehe. Apa yang kau harap dari
seorang anak ingusan yang tiba-tiba akan menjadi bapak.
Wajahnya melongo melihatku
takut-takut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin
menggodanya.
“Kamu sih, bapak yang gak
bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak tahu lagi”, kataku sambil
melirik menggodanya.
Aku mengelus-elus perutku. Geli
juga lihat wajah Indun saat itu. Antara kaget dan bingung serta
perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya.
“Aku… eeeee… maaf Bu… aku tidak
tahu…” Indun menyeka keringat dingin di dahinya.
“Memangnya kamu tidak suka anak
dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.
“Eh… aku suka banget Bu.. Aku
seneng…” Indun benar-benar kalut.
“Ya udah, kalau benar-benar seneng,
sini kamu rasakan gerakannya” kataku manja sambil mengelus perutku.
“Boleh Bu? Aku pegang..?”
tanyanya kawatir.
“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar
kalian dekat” perutku terlihat sangat membuncit karena baju muslim yang kupakai
hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya. Indun bergeser dan duduk di
sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke
perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku.
Sebenarnya aku berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi
Indun mana tahu. Dengan hati-hati dia meletakkan telapaknya di perutku.
“Maaf ya bu”, ijinnya. Aku
membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba
mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali karena biar
bagaimanapun anak ingusan ini adalah bapak dari anak dalam kandunganku.
“Kamu suka punya anak?” tanyaku.
“Aku suka sekali, Bu, punya anak
dari Ibu. Ohh.. Bu. Maafkan saya ya Bu” jawab Indun hampir tak kedengaran.
Tangannya gemetar di atas perutku.
Indun terlihat sangat
kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan
campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas.
Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih
takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus
melakukan apa. Tangan Indun terdiam di atas perutku.
“Ndun, kamu gimana perasaanmu
lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian.
“Saya suka sekali sama Ibu……”
jawabnya.
“Kenapa?”
“Ibu cantik..” jawabnya dengan
muka memerah.
“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan
udah tua dan lagian sekarang badanku kayak gini..” jawabku.
Indun mengangkat wajahnya pelan
menatapku, malu-malu.
“Gak kok, Ibu tetep cantik
banget…” jawabnya pelan. Tangannya mulai mengelus-elus perutku. Aku merasa
geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasojo belum
sempat menyetubuhiku.
“Kok waktu itu kamu tegang
ngintip aku sama Mas Prasojo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benar-benar
bernafsu. Aneh juga, anak kecil ini pun sekarang membuatku pengen disetubuhi.
Apa yang salah dengan tubuhku?
“Aku nafsu lihat badan Ibu…” kali
ini Indun menatap wajahku.
Mukanya merah. Jelas dia
bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.
“Kalau sekarang? Masa masih nafsu
juga, aku khan sudah membukit kayak gini..”
Indun belingsatan.
“Sekarang iya..” jawabnya sambil
membetulkan celananya.
“Idiiih…. Mana coba lihat?”
godaku.
Indun makin berani. Tangannya
gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang penis
jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, penis itu sudah sangat tegang.
“Wah, kok sudah tegang banget.
Pengen nengok anakmu ya?” godaku.
Indun sudah menurunkan semua
celananya. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu
tegak menantang. Aku sudah sangat horny. Vaginaku sudah mulai basah. Tak tahu
kenapa bisa senafsu itu dekat dengan anak SMP ini. Dengan gemes, aku pegang
penis Indun.
“Mau dimasukin lagi?” tanyaku
gemetar.
“Iya bu.. Mau banget”
Tanpa menunggu lagi aku menaikkan
baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera vaginaku terpampang jelas di
depan Indun. Rambut hitam vaginaku serasa sangat kontras dengan kulit putihku.
Segera kubimbing penis anak itu
ke dalam lobang vaginaku. Indun mengerang pelan, matanya terbeliak melihat
penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku.
“Ohhhh…… Buuu…..” desisnya.
Bless, segera penis itu masuk
seluruhnya dalam lobang vaginaku. Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh.
Entah kenapa, aku sangat ingin mengisi lobangku dengan batang itu.
“Diemin dulu di dalam sebentar,
biar kamu gak cepat keluar”, perintahku.
“Iiiiiyaaa, Bu..” erangnya. Indun
mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja
pelan-pelan kuremas penis itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya.
“Ohhh…” Indun mengerang sambil
mendongak ke atas.
Kubiarkan dia merasakan sensasi
itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Indun menunduk menatap wajahku di
bawahnya. Pelan-pelan dia mulai bisa mengendalikan dirinya. Tampak nafasnya
mulai agak teratur. Kupegang leher anak itu, dan kuturunkan mukanya. Muka kami
semakin berdekatan. Bibirku lalu mencium bibirnya. Kamu berdua melenguh, lalu
saling mengulum dan bermain lidah. Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan
kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan
seluruh batang itu semakin ambles ke dalam vaginaku.
“Ndun, ayo gerakin maju mundur
pelan-pelan..” perintahku.
Indun mulai memaju mundurkan
pantatnya. Penisnya walaupun kecil, kalau sudah keras begitu nikmat sekali
dalam vaginaku. Aku mengerang-erang sekarang. Vaginaku sudah basah sekali.
Banjir mengalir sampai ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu.
Aku mengarahkan tangan Indun
untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dia berusaha tidak
mengenai perutku, karena takut kandunganku. Ohhh… aku sudah sangat nafsuu…
sekitar 15 menit Indun memaju mundurkan pantatnya. Tidak mengira dia sekarang
sekuat itu. Mungkin dulu dia panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan
orgasme yang luar biasa.
“Ohhhh…” teriakku. Tubuhku
melengkung ke atas. Indun terdiam dengan tetap menancapkan penisnya dalam
lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn……” aku terengah-engah.
Sambil tetap membiarkan penisnya
di dalam vaginaku, aku memeluk ABG itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam
selama berepa menit sambil berpelukan. Penis Indun masih keras dan tegang di
dalam vaginaku.
“Ndun, pindah kamar yuk”, ajakku.
Indun mengangguk. Dicabutnya
penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar karena dampak orgasme
yang mengebu barusan. Kemudian aku membimbing tangan anak itu membawanya ke
kamarku. Di kamar aku meminta dia melepaskan bajuku, karena agak repot melepas
baju ini. Di depan pemuda itu aku kini telanjang bulat. Indun juga melepas
bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat
penisnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasurku.
Lalu aku naik ke atas dan kembali memasukkan penisnya ke vaginaku. Kali ini aku
yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Indun meremas-remas susuku. Ohh, nikmat
sekali. Penis kecil itu benar-benar hebat. Dia berdiri tegak terus tanpa
mengendor seidkit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya penis itu
cepat muncrat. Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan
sampai dua kali lagi. Orgasme ketiga aku sudah kelelahan yang luar biasa. Aku peluk
pemuda itu dan kupegang penisnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di
tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku.
“Aduuuh, Ndun.. kamu kuat juga
ya. Kamu masih belum keluar ya?”
“Gak papa Bu…” jawabnya pelan.
Tiba-tiba aku punya ide untuk
membantu Indun. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam vaginaku.
Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian.
“Ndun, Ibu udah lelah banget.
Batangmu dibiarin aja ya di dalam, sampai kamu keluar…” bisikku.
Indun mengangguk. Kami kembali
berpelukan bagai sepasang kekasih. Vaginaku berkedut-kedut menerima batang itu.
Kubiarkan banjir mengalir membasahi vaginaku, Indun juga membiarkan penisnya
tersimpan rapi dalam vaginaku. Karena kelelahan aku tertidur dengan penis dalam
vaginaku. Gak tahu berapa jam aku tertidur dengan penis masih dalam vaginaku,
ketika jam 1 malam tiba hpku menerima sms. Aku terbangun dan melihat Indun
masih menatap wajahku sambil membiarkan penisnya diam dalam lobangku.
“Aduh, Ndun. Kamu belum bisa bobok?
Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas penisnya dengan vaginaku.
“Gak papa kok, Bu. Aku seneng
banget di dalam..” kata Indun.
Tanpa merubah posisi aku meraih
hpku di meja samping ranjang. Kubuka sms, ternyata dari Mas Prasojo: “Hai Say,
udah bobok? Kalau blum aku pengen telp”.
Aku segera balas: “Baru terbangn,
telp aja, kangen”
Segera setelah kubalas sms, Mas
Prasojo menelponku. Aku menerima telepon sambil berbaring dan membiarkan penis
Indun di dalam vaginaku.
“Hei… Sorii ganggu, udah bobok
apa?” tanyanya.
“Gak papa Mas, kangen. Kapan
jadinya balik?” tanyaku.
“Lusa, Dik, ini aku masih di
jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?”
“Hmmm…. “ aku agak menggeliat.
Indun memajukan pantatnya, takut lepas penisnya dari lobangku. Aku meletakkan
jariku di bibirnya, agar dia tak bersuara. Indun mengangguk sambil tersenyum.
“Baik, mereka oke-oke saja kok.
Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen mas…”
“Sama.. Pengen nih” kata suamiku.
“Sini, mau di mulut apa di
bawah?” tanyaku nakal.
“Mana aja deh”
“Nih, pakai mulutku aja, udah
lama gak dikasih. Udah gatel, hihih…” godaku.
“Aduuh Dik. Aku lagi di kampung
sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku.
Kami memang biasa saling terbuka
soal kebutuhan seks kami.
“Kocok aja Mas, aku juga mau”
kataku manja.
Kemudian aku menggeser Indun agar
menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, aku berbisik ke Indun,
“Sekarang kamu genjot aku sekencang-kencangnya sampai keluar, ya.
Sekuat-kuatnya”.
Indun mengangguk. Aku menjawab
telepon suamiku, “Ayo, mas, buka celananya..”
Aku mengambil cdku di sampingku,
lalu kujejalkan ke mulut Indun. Indun tahu maksudku agar dia tidak bersuara.
“Oke, Dik. Aku sudah menghunus
rudalku..”
Sambil menjawab mesra aku menekan
pantat Indun agar segera memaju mundurkan penisnya dalam vaginaku. Indun segera
membalasnya, dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya
ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya. Sementara aku
mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan
laki-laki abg itu. Ohhh, ya Tuhan. Bagai kesetanan, Indun menggenjotku seperti
yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku.
“Mas, aku masturbasi kesetanan ini…..
Pengen banget…. Kamu kocok kuat-kuat yaaa….. Ahhhhh”
“Iyyyyaaaa… Ooohhh, untung aku
bawa cdmu, buat ngocok nihh…. Ohhhhh” erang suamiku.
Tak kalah hebatnya, Indun
menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat
bor listrik. Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit
karena banjir dan gesekan dengan penis Indun. Benar-benar gila malam ini. Aku
sudah tidak ingat lagi berapa lama aku digenjot Indun. Suaraku penuh nafsu
bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Indun seolah-olah tak pernah lelah.
Tubuhnya sudah banjir keringat. Stamina mudanya benar-benar membanggakan.
Keringat juga membanjiri tubuhku. Sementara suara suamiku juga meraung-raung
kenikmatan, semoga kamar dia di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara.
Beberapa saat kemudian aku kehabisan tenaga. Kuminta Indun untuk berhenti
sejenak. Pemuda itu nampak terengah-engah sehabis menggenjotku habis-habisan.
Setelah itu kami melanjutkan permainan kami. Indun dengan kuatnya menggenjotku
habis-habisan. Aku tak tahu lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi
nampaknya suamiku juga sama saja. Beberapa saat kemudian aku dan suamiku
sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar. Aku terengah-engah mengatur
nafasku. Lalu suamiku memberi salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami
betul-betul terpuaskan malam ini. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, suamiku
menutup teleponnya. Di kamarku, Indun masih menggenjotku pelan-pelan. Dia belum
keluar rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku mungkin sudah tidak mempan
buat penisnya yang masih tumbuh. Kubiarkan penis pemuda itu mengobok-obok
vaginaku. Tiba-tiba kudorong Indun, sehingga lepas penis dari lobangku.
“Ohhh”, lenguhnya kecewa.
Lalu aku tarik dia naik ke tempat
tidur, dan aku segera menungging di depannya. Indun tahu maksudku. Dia segera
mengarahkan penisnya ke vaginaku. Tapi segera kupegang penis itu dan kuarahkan
ke lobang yang lain. Pantatku! Mungkin di sanalah penis Indun akan dijepit
dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan. Indun sadar apa yang kulakukan. Disodokkannya
penisnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu ternyata masih terlalu kecil
bahkan buat penis Indun. Aku berdiri dan menyuruhnya menunggu. Lalu aku turun
dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia
Indun menunggu dengan penis yang juga setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke
seluruh batang Indun, dan sebagian kuusap-usapkan ke sekitar lobang pantatku.
Kembali aku menunggingkan pantatku. Indun mengarahkan kotolnya kembali dan
pelan-pelan lobang itu berhasil di terobosnya.
“Ohhhhh…..” desisku. Sensasinya
sangat luar biasa. Pelan-pelan batang penis itu menyusup di lobang yang sempit
itu.
Indun mengerang keras. Setengah
perjalanan, penis itu berhenti. Baru separo yang masuk. Indun terengah-engah,
begitu juga aku.
“Pelan-pelan, Ndun…” bisikku.
Indun memegang bongkahan
pantatku, dan kembali menyodokkan penisnya ke lobangku. Dan akhirnya seluruh
batang itu masuk manis dalam lobang pantatku.
“Ohhh, Tuhan…” rasanya sangat
luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tak terceritakan. Aku mengerang. Kami
berdiam beberapa menit, membiarkan lobangku terbiasa dengan batang penis itu.
Setelah itu Indun mulai memaju mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa.
Pengalaman baru yang membuatku ketagihan. Beberapa saat kemudian, Indun mengerang-erang
keras. Dia memaksakan menggejot pantatku dengan cepat, tapi karena sangat
sempit,
genjotannya tidak bisa lancar.
Kemudian,
“ohhhhh…”
Indun memuncratkan spermanya
dalam pantatku. Crot…Aku tersungkur dan Indun terlentang ke belakang.
Muncratannya sebagian mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan
kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Indun yang
terkapar tanpa daya. Kami berpelukan dengan telanjang bulat sepanjang malam.
Paginya, aku bangun jam 6 pagi.
ABG itu masih ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung aku mengunci kamarku. Mbok
Imah tetangga yang biasa bantuin ngurusin anak-anak sudah terdengar suaranya di
belakang. Oh.. Apa yang sudah kulakukan tadi malam, aku benar-benar tidak habis
pikir. Kalau malam waktu itu benar-benar hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam
ini, aku dan Indun benar-benar melakukannya dengan penuh kesadaran. Apa yang
kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, aku takut membuat
anak ini menjadi anak yang salah jalan. Rasa bersalah itu membuatku merasa
bertambah sayang pada anak kecil itu. Kurangkul kembali tubuh kecil itu dan
kuciumin pipinya. Tubuh kami masih sama-sama telanjang. Aku lihat si Indun
masih nyenyak tidur. Mukanya nampak manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak
itu dan membangunkannya.
“Ndun… Bangun. Kamu sekolah
khan?” bisikku.
Indun nampak kaget dan segera
duduk.
“Oh, Bu.. Maaf aku kesiangan…”
katanya gugup.
“Gak papa Ndun, aku yang salah
mengajakmu tadi malam”
Kami berpandangan.
“Maaf Bu. Aku benar-benar tidak
sopan”
“Lho, khan bukan kamu yang
mengajak kita tidur bersama. Aku yang salah Ndun” bisikku pelan.
Indun menatapku, “Aku sayang sama
Ibu…” katanya pelan.
“Ndun, kamu punya pacar?”
“Belum, bu”
“Kamu janji ya jangan cerita-cerita
ke siapa-siapa ya soal kita”
“Iya bu, gak mungkinlah”
“Aku takut kamu rusak karena aku”
“Gak kok Bu, aku sayang sama Ibu”
“Kamu jangan melakukan ini ke
sembarang orang ya” kataku kawatir.
“Tidak Bu, aku bukan cowok
seperti itu. Tapi kalau sama Ibu, masih boleh ya…” katanya pelan.
Tiba-tiba aku sangat ingin
memeluk anak itu.
“Aku juga sayang kamu Ndun. Sini
Ibu peluk” Indun mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri. Tangannya
merangkul pinggangku, dan aku memegang pantatnya. Kami berpelukan lama dan saling
berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, aku benar-benar serasa
berpacaran dengan anak kecil itu. Mulut kami saling bergumul dengan panasnya.
Aku lihat penis anak itu masih
tegak berdiri, mungkin karena efek pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan
mengocoknya pelan-pelan.
Aku berpikir cepat, karena pagi
ini Indun harus sekolah, aku harus segera menuntaskan ketegangan penis itu. Aku
segera membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias. Sambil melihat Indun
lewat cermin aku menyuruhnya.
“Ndun, kamu pakai jeli itu lagi.
Cepat masukin lagi penismu ke pantat Ibu”
Indun buru-buru melumas
batangnya. Aku menyorongkan bungkahan pantatku. Dari cermin aku dapat melihat
muku dan badanku sendiri. Ohh… agak malu juga aku melihat tubuhku yang mulai
membengkak di sana-sini, tapi masih penuh dengan nafsu birahi.
“Cepat Ndun, nanti kamu terlambat
sekolah”, perintahku.
Sambil memeluk perutku, Indun
mendorong penisnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam sudah
disodok-sodok itu segera menerima batang yang mengeras itu. Segera kami sudah
melakukan persetubuhan lagi. Aku dapat melihat adegan seksi itu lewat cermin,
di mana mukaku terlihat sangat nafsu dan juga muka Indun yang mengerang-erang
di belakangku.
“Ayo, Ndun, sodok yang kuat”
“Iyyyaaa.. Bu”
“Terusss… Cepat”
Sodokan-sodokan Indun semakin
cepat. Lobang pantatku semakin elastis menerima batang imut itu. Sungguh
kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sama-sama
mencapai puncak kenikmatan. Indun membiarkan cairan spermanya meluncur deras
dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan
kami daki.
“Ohhh…”
Sejenak kemudian aku lepaskan
pantatku dari penisnya.
“Udah Ndun. Sana kamu mandi,
pulang. Nanti kamu terlambat lho sekolahnya” kataku sambil tersenyum.
Indun mencari-cari pakaiannya.
Tiba-tiba kami sadar kalau celana Indun ada di ruang tamu. Aku suruh si Indun
nunggu di kamar, dan aku segera berpakaian dan keluar ke ruang tamu. Moga-moga
belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah
sofa dan terselip, sehingga Mbok Imah yang biasanya sibuk dulu menyiapkan
sarapan belum sempat membereskan ruang tamu. Celana itu segera kuambil dan
kubawa ke kamar. Si Indun yang tadinya nampak panik berubah tenang. Setelah
memakai celananya, Indun kusuruh cepat-cepat keluar ke ruang tamu dan mengambil
tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja tamu. Setelah itu dia pamit
pulang. Aku segera mandi. Di kamar mandi aku merasakan sedikit perih di bagian
lobang pantatku. Baru kali ini lobang itu menjadi alat seks, itu pun justru
dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi segera
kuguyur kepalaku untuk menghilangkan rasa gundah di dadaku.
Sorenya Indun kembali main ke
rumah. Dia sudah sibuk membereskan buku-buku di gazebo kami. Malam itu Indun
tidur lagi di kamarku. Mas Prasojo baru pulang besok harinya. Selama berjam-jam
kami kembali bercinta. Kami saling berpelukan dan berbagi kasih selayaknya
sepasang kekasih. Tapi sebelum jam 1 aku suruh Indun untuk segera tidur, aku
kawatir sekolahnya akan terganggu karena aktivitasku.
“Ndun, tadi kamu di sekolah
gimana?” bisikku setelah kami selesai ronde ke tiga. Kami berpelukan dengan
mesra di tengah ranjang.
“Biasa aja Bu”
“Kamu gak kelelahan atau ngantuk
di sekolah?”
“Iya Bu, sedikit. Tapi gak papa,
aku tadi sempat tidur siang”
“Aku takut menganggu sekolahmu”
“Gak kok Bu. Tadi aku bisa
ngikutin pelajaran”
“Okelah kalau gitu. Tapi setelah
ini kamu tidur ya, gak usah diterusin dulu”
“Iya Bu”
“Besok Mas Prasojo pulang, kamu
gak bisa nginap disini”
“Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya
siap menemani Ibu di sini”
“Yee…. maunya. Ya gak papa”,
kataku sambil mencubit pinggangnya.
“Aku mau jadi pacar Ibu”
“Lho aku khan sudah bersuami?”
“Ya gak papa, jadi apa saja deh”
“Aku justru kasihan sama kamu.
Besok-besok kalau kamu udah siap, kamu cari pacar yang bener ya?”
“Iya Bu. Aku tetap sayang sama
Ibu. Mau dijadiin apa saja juga mau”
“Idihh.. ya udah. Bobok yuk”
kataku kelelahan.
Kami tidur berpelukan sampai
pagi.
Setelah malam itu, aku semakin
sering bercinta dengan Indun. Kapan pun ada kesempatan, kami berdua akan
melakukannya. Indun sangat memperhatikan bayi dalam kandunganku. Setiap ada
kesempatan, dia menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan juga aku lihat
anak kecil itu sudah merasa harus jadi bapak. Herannya, aku juga kecanduan
dengan penis kecil anak itu. Padahal aku sudah punya penis yang jauh lebih
besar dan tersedia untukku. Bayangkan, beda usiaku dengan Indun mungkin sekitar
27 tahun. Bahkan anak itu lebih cocok menjadi adik anak-anakku. Tapi hubungan
kami bertambah mesra seiring usia kehamilanku yang semakin membesar. Indun
bahkan sering ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku sedang dinas keluar.
Indun semakin perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami sangat bahagia
karena bayi dalam kandunganku berada dalam kondisi sehat. Aku selalu
mengingatkan Indun untuk tetap fokus pada sekolahnya, dan jangan terlalu
memikirkan anaknya. Yang paling tidak bisa dicegah adalah, Indun semakin lama
semakin kecanduan lobang pantatku. Lama-lama aku juga merasakan hal yang sama.
Seolah-olah lobang pantatku menjadi milik eksklusif Indun, sementara
lobang-lobangku yang lain dibagi antara Indun dan suamiku. Sampai sekarang,
suamiku tidak pernah tahu kalau pantatku sudah dijebol oleh Indun. Lama-lama
aku kawatir juga dengan cerita tentang hubungan kelamin lewat pantat dapat
menimbulkan berbagai penyakit, termasuk AIDS. Aku akhirnya menyediakan kondom
untuk Indun kalau dia minta lobang pantatku. Indun sih oke-oke saja. Dia juga
kawatir, walaupun dia sangat senang ketika masuk ke lubang pantatku.
Untung aku dan suamiku juga
kadang-kadang memakai kondom, sehingga aku tidak canggung lagi membeli kondom
di apotik. Bahkan aku sering mendapat kondom gratis dari kelurahan. Mungkin
karena masih masa pertumbuhan, dan sering kupakai, aku melihat lama kelamaan
penis Indun juga mengalami pembesaran. Penis yang semakin berpengalaman itu
tidak lagi seperti penis imut pada waktu pertama kali masuk ke vaginaku, tapi
sudah menjelma menjadi penis dewasa dan berurat ketika tegang. Aku sadar, kalau
aku adalah salah satu sebab dari pertumbuhan instant dari penis Indun. Kekuatan
penis Indun juga semakin luar biasa. Dia tidak lagi gampang keluar, bahkan
kalau dipikir-pikir, dia mungkin lebih kuat dari suamiku. Karena perutku
semakin membesar aku jadi sering pakai celana legging yang lentur dan baju kaos
ketat yang berbahan sangat lentur. Kalau di rumah aku bahkan hanya pakai kaos
panjang tanpa bawahan. Orang pasti mengira aku selalu pakai cd, padahal sering
aku malas memakainya. Entah karena gawan ibu hamil atau karena nafsu birahiku
yang semakin gila.
Waktu ibu Indun mau naik haji,
aku ikut sibuk dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji.
Biasalah, kalau mau naik haji pasti hebohnya minta ampun. Aku termasuk dekat
dengan ibu Indun. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Karena
keluarga Indun termasuk keluarga yang terpandang di desa kami, maka acara
pengajian itu menjadi acara yang besar-besaran. Banyak ibu-ibu yang ikut sibuk
di rumah Bu Ro. Kalau aku ke sana aku lebih sering karena ingin ketemu Indun.
Acara pengajian dan keberadaan Mas Prasojo di rumah membuat kesempatanku
bertemu dengan Indun menjadi sangat terbatas. Sudah lama Indun tidak merasakan
lobang pantatku. Aku sendiri bingung bagaimana mencari kesempatan untuk ketemu
Indun. Walaupun aku sering pergi ke rumahnya dan kadang-kadang juga diantar
Indun untuk berbelanja sesuatu untuk keperluan pengajian, tapi tetap saja kami
tidak punya kesempatan untuk bercinta. Akhirnya pada saat pengajian besar itu
aku mendapatkan ide. Sorenya, segera kutelepon Indun menggunakan telepon rumah,
karena aku sangat hati-hati memakai hp, apalagi untuk urusan Indun.
“Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu
Lani. Gimana Bu persiapan nanti malam, sudah beres semua?”
“Oh, Bu Lani. Sudah Bu. Nanti
datangnya agak sorean ya bu. Kalau gak ada Ibu, kita bingung nih” jawab Bu Ro.
“Iya, beres Bu. Saya sama Bu
Anjar sudah kangenan setelah magrib langsung kesitu, kok Bu. Indun ada Bu Ro?”
“Ada Bu, sebentar ya Bu”
Setelah Indun yang memegang
telepon, aku segera bilang:
“Ndun nanti malam kamu pake
celana yang bisa dibuka depannya ya” kataku pelan
“Iya Bu” jawab Indun agak
bingung.
“Terus kamu pakai kondom kamu…”
Malam itu pengajian dilangsungkan
dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas hampir tidak bisa menampung
jama’ah yang datang dari seluruh penjuru kota. Bu Ro memang tokoh yang disegani
masyarakat. Aku datang bersama ibu-ibu RT dengan memakai baju atasan longgar
yang menutup sampai bawah pinggang. Bawahannya aku memakai legging ketat,
karena memang lagi biasa dipakai ibu-ibu pada saat ini. Apalagi aku lagi hamil,
pasti orang-orang pada maklum akan kondisiku. Yang tidak biasa adalah bahwa aku
tidak memakai apapun di balik celana leggingku. Sengaja aku tinggalkan cdku di
rumah, karena aku punya sebuah ide untuk Indun. Setelah semua urusan
kepanitiaan beres, aku segera bergabung dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi
kemudian aku dan beberapa ibu yang lain pindah ke halaman, karena lebih bebas
dan bisa berdiri. Hanya saja halaman itu sudah sangat penuh dan
berdesak-desakan. Justru aku memilih tempat yang paling ramai oleh pengunjung.
Di kejauhan aku melihat Indun dan memberinya kode untuk mengikutiku. Indun
beranjak menuju ke arahku, sementara aku mengajak Bu Anjar untuk ke sebuah
lokasi di bawah pohon di lapangan RW. Lokasi itu agak gelap karena bayangan
lampu tertutup rindangnya pohon. Walaupun demikian, banyak anggota jama’ah di
situ yang berdiri berdesak-desakan.
“Kita sini aja Bu, kalau Ibu mau.
Tapi kalau ibu keberatan, silakan Ibu pindah ke sana” kataku pada Bu Anjar.
“Gak papa Bu, di sini lebih
bebas. Bisa bolos kalau udah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar.
“Iya , ya. Biasanya pengajian
ginian bisa sampai jam 12 lho”
Kami lalu bercakap-cakap dengan
seru sambil mendengarkan pengajian. Ternyata di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti
yang juara negrumpi. Kami segera terlibat pembicaraan serius sambil sekali-kali
mendengarkan ceramah kalau pas ada cerita-cerita lucu. Kami berdiri agak di
barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti mendapat tempat duduk di sebelahku.
“Bu, monggo kalau mau duduk”
tawarnya padaku.
“Wah gak usah Bu. Saya lebih suka
berdiri gini aja” jawabku. Padahal aku sedang menunggu Indun yang sedang
berusaha menyibak kerumunan menuju ke arah kami.
Akhirnya Indun tiba di
belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak memperhatikan kehadiran Indun, tapi aku
melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri tepat di belakangku. Aku bergeser
berdiri sedikit di belakang bangku Bu Anjar dan Bu Kesti. Sementara Indun
dengan segera berdiri tepat di belakangku. Dengan diam-diam aku menempelkan
pantatku ke badan Indun. Indun tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang
semlohai segera menempel pada penis Indun yang sudah tegang di balik celananya.
Aku berbisik pada Indun, “buka,
Ndun. Udah pakai kondom?”
Indun mengangguk dan membuka
risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang sudah mengeras. Segera
kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku sudah kuberi lobang
di bagian belahan pantatku. Indun nampak terkejut, dan sekaligus mengerti
maksudku. Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku.
Dan, slepppp. Masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Indun masuk ke
dalam bajuku sambil mengelus-elus perutku. Batangnya berada di dalam lobangku
sambil sesekali dimaju mundurin. Kami bercinta di tengah keramaian dengan tanpa
ada yang menyadarinya. Walaupun begitu aku tetap bercakap-cakap dengan dua
ibu-ibu tetanggaku itu. Sementara di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan
ceramah dengan berdesak-desakan.
Sekitar satu jam Indun memelukku
dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba vaginaku berkedut-kedut, pengen ikut
disodok. Kalau dari belakang berarti aku harus lebih nunduk lagi. Pelan-pelan
kutarik keluar penis Indun dan kulepas kondomnya. Aku kembali mengarahkannya,
kali ini ke lubang vaginaku. Indun mengerti. Lalu, bless.. dengan lancarnya
penis itu masuk ke vaginaku dari belakang. Ohh, enak sekali. Aku mulai tidak
konsentrasi terhadap ceramah maupun obrolan dua ibu-ibu itu. Karena hanya
sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berlangsung cukup lama.
Kepalaku sudah mulai berkunang-kunang kenikmatan.
Di tengkukku aku merasakan nafas
Indun semakin ngos-ngosan. Beberapa saat kemudian, aku mengalami orgasme hebat,
tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran bangku di depanku. Indun juga
kemudian memuncratkan maninya dalam vaginaku. Kami berdua hampir bersamaan
mengalami orgasme itu. Setelah agak reda, aku mendorong Indun dan mengeluarkan
penisnya. Cepat-cepat Indun memasukkan dalam celananya, dan kuturunkan baju
bagian belakangku. Aku dan ibu-ibu itu memutuskan untuk pulang sebelum acara
selesai. Untung saja aku dan Indun sudah selesai. Dengan mengedipkan mata, aku
menyuruh Indun untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan juga hasrat kami
setelah hari-hari yang sibuk yang memisahkan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar