>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 6 7 9 0
Top 2D : 06 17 29 30 46
Cadangan 2D : 56 67 79 80 96
TOP SHIO : Naga Monyet Kerbau
COLOK BEBAS : 0 6 7
AS : 3 4 5
KOP : 7 8 9
KEPALA : Besar / Ganjil
EKOR : Kecil / Ganjil
Bu Lia adalah atasanku yang masih
baru menjabat sebagai accounting manager selama beberapa minggu di perusahaan
tempatku bekerja. Aku sering dipanggil ke ruangannya untuk menjelaskan budget
yang dikeluarkan bulan kemarin. Umurnya kutaksir sekitar 26 tahunan. Sebagai
seorang bawahan, aku tetap memanggilnya dengan sebutan “Bu” meskipun usiaku
lebih tua.
Tapi baru kemarin ia memintaku
untuk memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, agar suasana tidak terlalu formal
katanya. Jika sedang tidak ada rekan kerja yang lain, ia pun dengan santai
memanggil namaku tanpa embel-embel “Pak”.
Tanpa kusadari, lama-lama aku
merasa senang memandang wajahnya yang cantik dan lembut menawan. Wajahnya
memang menawan, dengan sepasang bola matanya yang terkadang terlihat
berbinar-binar, atau menatap tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka
mendikte.
Mungkin karena terbiasa menduduki
jabatan yang tinggi di usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup
tinggi untuk meminta seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya. Bu Lia
selalu berpakaian formal. Blouse serta rok hitam yang agak menggantung sedikit
di atas lutut merupakan pakaian favoritnya.
Jika sedang berada di ruang
kerjanya, diam-diam aku sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit
mengambil file dari rak folder yang terletak di belakangnya. Walau bagian bawah
roknya lebar, tetapi aku bisa melihat pinggul yg samar-samar tercetak dari
baliknya. Sangat menarik, tak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, membuat
mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.
Di dalam ruang kerjanya yang
luas, tersedia seperangkat sofa yang sering digunakan olehnya saat menerima
tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada
pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya
daripada di ruang rapat.
Aku merasa beruntung jika
dipanggil Bu Lia untuk membahas cash flow keuangan di sofa itu. Posisi dudukku
selalu persis di depannya. Setiap kali kami berada dalam perbincangan yang
serius, Bu Lia sering kali tidak menyadari roknya agak tersingkap. Di situlah
keberuntunganku. Aku bisa melirik sebagian kulit pahanya yang mulu.
Kasertag-kasertag lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha untuk
mengintip ujung pahanya.
Tapi mataku selalu terbentur
dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi serta kedua lututnya
lebih terbuka, tentu pemandangan yang ada akan lebih jelas lagi. Jika kedua
lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis juga tak kalah
menarik karena terlihat putih dan terawat.
Saat sedang asyik menatap
kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Bu Lia..
“Bayu, aku merasa bahwa kamu
sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku benar?”
Aku terdiam sejenak sambil
tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang berdebar-debar.
“Bayu, apakah dugaanku benar?”
“Iya, Mbak. Benar.”
Bu Lia tersenyum sambil menatap
mataku.
“Kenapa?”
Aku hanya diam membisu. Terasa
sangat sulit menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap
wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku, akhirnya
kuberanikan diri untuk menjawab.
“Aku suka kaki Mbak. Suka betis
Mbak. Indah. Serta….” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan
sebenarnya.
“Aku juga sering menduga-duga,
apakah kaki Mbak juga ditumbuhi rambut-rambut..”
“Sudah kuduga, kamu pasti berkata
jujur, apa adanya,” kata Bu Lia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kamu tak penasaran
menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar
untukku,” jawabku sambil menundukkan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk
mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat serta tanda
terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yg
akan kamu cium?”
“Betis yg indah itu. Mbak..”
“Hanya sekali cium saja?”
“Seribu kali pun aku bersedia.”
Bu Lia tersenyum manis ditahan. Ia
berusaha manahan tawanya.
“Tapi aku yang menentukan di
bagian mana saja yang harus kamu cium, OK?”
“Deal, my lady..”
“I like it..” kata Bu Lia sambil
bangkit dari sofa.
Ia melangkah ke meja kerja lalu
menarik kursinya hingga keluar dari kolong mejanya yang besar. Setelah
menghempaskan pinggulnya di atas kursi kerjanya yang besar dan empuk itu, Bu
Lia tersenyum nakal dan membuat Cerita Dewasa Dominasi Seks Atasanku ini
semakin menyenangkan.
Matanya berbinar-binar seolah
menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan serta
pujaan.
“Periksalah, Bayu. Berlutut di
depanku..”
Aku membisu, kaget juga mendengar
perintahnya.
“Kamu tidak mau memeriksanya,
Bay?” tanya Bu Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
Meski ada perasaan senang, namun
aku tetap berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah
seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Bu
Lia masih tetap tersenyum dan terus merenggangkan kedua lututnya.
“Bayu, kamu tahu warna apa yang
tersembunyi di pangkal pahaku?”
Aku menggeleng lemah, seolah ada
kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku. Tatapanku
terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Bu Lia yang mulai renggang
itu. Akhirnya aku menghampirinya, dan berlutut di depannya sambil menengadahkan
wajahku. Mbak Lia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa
kali, lalu berpindah ke rambutku, serta sedikit menekan kepalaku agar menunduk
ke arah kakinya.
“Ingin tahu warnanya?”
Aku mengangguk tak berdaya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya
sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dengan patuh aku melaksanakan
perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya. Bu Lia menopangkan kaki
kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada
waktu itulah aku menbisa kesempatan melihat ke pangkal pahanya.
Kali ini tatapanku mengarah pada
secarik kain tipis berwarna merah muda. Pasti ia memakai G-String, tebakku
dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya,
aku masih sempat melihat rambut-rambut ikal yang menyembul dari sisi-sisi
celana dalamnya. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu
terlalu kecil untuk menyembunyikan semua rambut yg mengitari pangkal pahanya.
Bahkan sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.
“Suka?”
Aku mengangguk sambil mengangkat
kaki kiri Bu Lia ke atas lututku. Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk.
Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu
itu. Bu Lia diam saja, tak ada komentar apa pun. Aku menunduk kembali sambil
mengelus-elus pergelangan kakinya.
Kakinya mulus tak bercacat.
Ternyata betisnya yang berwarna putih itu mulus tanpa rambut halus. Tapi di
bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi rambut-rambut halus yang agak
kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya.
Aku terpana. Mungkinkah mulai
dari atas lutut hingga.. hingga.. Aah,. Aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku
mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku
ternyata membuat rambut-rambut itu meremang.
“Indah sekali,” kataku sambil
mengelus-elus betisnya. Halus..
“Baym kamu suka?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kamu suka.
Tunjukkan bahwa betisku indah..”
Aku mengangkat kaki Bu Lia dari
lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yg menekuk itu. Aku
sedikit membungkuk agar bisa mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang
kedua, aku menjulurkan lidah agar bisa mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki
indah itu. Akibat kecupanku, Bu Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya.
Serta tak sengaja, kembali mataku
terpesona melihat bagian dalamnya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit
bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan
gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Bu Lia
mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Kurang jelas, Bay?”
Aku mengangguk.
Bu Lia tersenyum sambil
mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku
sehingga aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan
pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi
rambut-rambut halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tak
selebat bagian atasnya, serta warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras
dengan pahanya yang putih.
Aku merinding. Sebab ingin
melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil
mengecup bagian dalam lututnya. Paha itu pun nampak semakin jelas. Menawan. Di
paha bagian belakang mulus tanpa rambut. Karena gemas, kukecup berulang kali.
Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Ketika hanya berjarak kira-kira
selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi
ciuman yang mesra dan basah.
Sekarang hidungku sangat dekat
dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Walau tersembunyi, jelas bisa
dapat kulihat ceplakan bibir vaginanya. Ada segaris kebasahan terselip di
bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang
menyelip keluar dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan
mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku
menjadi semakin terangsang.
Aroma yg memaksaku terperangkap
di antara kedua belah paha Bu Lia. Ingin kusergap aroma itu serta menjilat
kemaluannya. Bu Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas
berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, kaki kanannya diangkat membuat
roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
“Suka, Bay?”
“Hmm.. Hmm..” gumamku sambil
memindahkan ciuman ke betis serta lutut kirinya. Lalu kuraih pergelangan kaki
kanannya, serta meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang
lututnya.
Bu Lia menggelinjang sambil
menarik rambutku dengan manja. Ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian
dalam dan semakin lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di
rambutku semakin keras. Serta ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal
yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Bu Lia mendorong kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami
saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Bu Lia menarik
telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk serta meletakkan telapak kaki
kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk
serta terbuka lebar di atas kursi, serta yan sebelah lagi menjuntai di karpet.
Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Lia merapatkan kedua pahanya
sambil menarik rambutku.
“Nanti ada yang melihat bayangan
kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Bay,” katanya sambil menunjuk kolong
mejanya.
Aku terkesima. Mbak Lia merenggut
bagian belakang kepalaku, serta menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan
perlahan itu tak mampu kutolak. Lalu Bu Lia tiba-tiba membuka ke dua pahanya
serta mendaratkan mulut serta hidungku di pangkal paha itu.
Kebasahan yang terselip di antara
kedua bibir vaginanya terlihat semakin jelas. Semakin basah. Serta di situlah
hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat
menyegarkan. Aroma yang tercium seperti daun pandan tetapi mampu membius
saraf-saraf di rongga kepala.
“Bagaimana, Bay..?”
“Hmm.. Hmm..”
“Sekarang masuk ke dalam..”
ulangnya sambil menunjuk kolong meja.
Aku merangkak ke kolong mejanya.
Aku sudah tak mampu berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang
sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, norma-norma bercinta yang sakral dalam
percintaan.
Aku hanya peduli dengan kedua
paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan
menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bagian belakang kepalaku,
aroma semerbak yang akan menerobos hidung serta memenuhi rongga dadaku,
kelembutan serta kehangatan dua buah bibir kewanitaan yg menjepit lidahku,
serta tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang pasti kujilat berulang kali
agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin
kucucipi.
Di kolong meja, Bu Lia membuka
kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah
basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.
“Hanya lidah, Bay..Ok?” Aku
mengangguk. Dengan cepat kubenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal
pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam
mungkin. Bu Lia terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap
rambutku. .
“Rupanya kamu sudah tak sabar ya,
Bay?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.
“Hmmm…”
“Haus?”
“Hmmm..”
“Jawab, Bay” katanya sambil
menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus..” jawabku singkat.
Tangan Bu Lia bergerak melepaskan
tali G-string yang terikat di kiri serta kanan pinggulnya. Aku terpana menatap
keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang bibir
yang di bagian atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus klitoris yang
berwarna pink. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan
mataku.
“Jangan diam saja. Bay.” kata Bu
Lia sambil menekan bagian belakang kepalaku.
“Hirup aromanya….” sambungnya
sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir
kewanitaannya. Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak bisa bergerak. Bibirku
terjepit serta tertekan di antara dubur serta bagian bawah kemaluannya.
Karena harus bernafas, aku tak
mempunyai pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya
sedikit udara yang bisa kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan
hidungku lebih dalem lagi. Bu Lia terpekik. Pinggulnya diangkat serta
digosok-gosokkannya hingga hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yang
mulai mengalir dari vaginanya.
Aku mendengus. Bu Lia
menggelinjang serta kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya
dalam-dalam, seolah kemaluannya adalah nafas kehidupannku.
“Luar Biasa…” kata Bu Lia sambil
mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku
yang telah licin dan basah.
“Enak, kan?” sambungnya sambil
membelai ujung hidungku.
“Segar..”
Bu Lia tertawa kecil.
“Kamu pandai memanjakanku, Bay.
Sekarang kecup, jilat, serta hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kamu memuja
ini.”
Katanya sambil menyibakkan
rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“Jilat serta hisap dengan rakus.
Tunjukkan bahwa kamu memujanya. Tunjukkan rasa hausmu.. Jangan ada setetes pun
yang tersisa.. Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama
serta ygan terakhir bagimu..”
Aku terpengaruh dengan
kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang
diucapkannya. Aku memang merasa sangat lapar serta haus untuk mereguk
kelembutan serta kehangatan kemaluannya. Kerongkonganku terasa panas serta
kering. Aku merasa benar-benar haus serta ingin segera menbisakan segumpal
lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku.
Lalu bibir kewanitaannya kukulum
serta kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke
kerongkonganku. Kedua bibir vaginanya kuhisap-hisap bergantian, Kepala Bu Lia
terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku.
Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.
Pinggulnya terangkat serta
terhempas di kursi berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar mengejar
lidahku yg bergerak amelr di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali
lidahku menjilat klitorisnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil
menjambak rambutku.
“Ooh, ooh, Bayu.. Bayu.”
Klitorisnya kujepit di antara
bibirku, lalu kuhisap serta permainkan dengan ujung lidahku, Bu Lia merintih
menyebut-nyebut namaku..
“Bayu… nikmat sekali sayang..
Bayu.. Ooh.. Bayu.. Aaaaahh..”
Telapak kakinya menghentak-hentak
di bahu serta kepalaku. Paha kanannya sudah tak melilit leherku. Kaki itu
sekarang diangkat serta tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak
kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Bu Lia menjambak rambutku. Menekan serta
menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.
“Bayu, julurkan lidahmuu.. Hisap…
Hisaap…”
Aku menjulurkan lidah sedalam
mungkin, membenamkan wajahku di kemaluannya. Serta mulai kurasakan
kedutan-kedutan di bibir kemaluannya, kedutan yang menghisap lidahku,
mengundang masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di
ujung lidahku. Kuhisap seluruh kemaluannya. Aku tak ingin ada setetes pun
terbuang.
Inilah hadiah yang
kutunggu-tunggu. Hadiah yang bisa menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua
bibirku kubenamkan sedalam mungkin agar bisa langsung menghisap dari bibir
kemaluannya yang mungil.
“Bayu… Hisap Bayu…..”
Aku tak tahu apakah desahan Bu
Lia bisa terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar
pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang bisa kuhisap dan
kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, mengalir membasahi
kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari kemaluan Bu Lia, dari
pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalem.
“Oh.. luar biasaaaa, Bay…” gumam
Bu Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursi.
Ia menunduk serta mengusap
pipiku. Tak lama kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak aku
berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
“Aku puas sekali, Bay,” katanya.
Kami saling menatap. Matanya
berbinar-binar sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang
menatap sendu.
“Bayu.”
“Hmmm….?…”
“Tatap mataku,, Bay..”Aku menatap
bola matanya.
“Jilat cairan yg tersisa sampai
bersih..”
“Hmmm..” jawabku sambil mulai
menjilati kemaluannya.
“Jangan menunduk, Bay. Jilat
sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika
menjilat-jilat kemaluanku.”
Aku menengadah untuk menatap
matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat
serta menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir
kewanitaannya.
“Kamu memujaku, Bay?”
“Ya, aku memuja betismu, pahamu,
serta di atas segalanya, yang ini..Mmuacch..” jawabku sambil mencium
kewanitaannya dengan mesra. Bu Lia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
Tapi baru kemarin ia memintaku
untuk memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, agar suasana tidak terlalu formal
katanya. Jika sedang tidak ada rekan kerja yang lain, ia pun dengan santai
memanggil namaku tanpa embel-embel “Pak”.
Tanpa kusadari, lama-lama aku
merasa senang memandang wajahnya yang cantik dan lembut menawan. Wajahnya
memang menawan, dengan sepasang bola matanya yang terkadang terlihat
berbinar-binar, atau menatap tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka
mendikte.
Mungkin karena terbiasa menduduki
jabatan yang tinggi di usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup
tinggi untuk meminta seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya. Bu Lia
selalu berpakaian formal. Blouse serta rok hitam yang agak menggantung sedikit
di atas lutut merupakan pakaian favoritnya.
Jika sedang berada di ruang
kerjanya, diam-diam aku sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit
mengambil file dari rak folder yang terletak di belakangnya. Walau bagian bawah
roknya lebar, tetapi aku bisa melihat pinggul yg samar-samar tercetak dari
baliknya. Sangat menarik, tak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, membuat
mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.
Di dalam ruang kerjanya yang
luas, tersedia seperangkat sofa yang sering digunakan olehnya saat menerima
tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada
pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya
daripada di ruang rapat.
Aku merasa beruntung jika
dipanggil Bu Lia untuk membahas cash flow keuangan di sofa itu. Posisi dudukku
selalu persis di depannya. Setiap kali kami berada dalam perbincangan yang
serius, Bu Lia sering kali tidak menyadari roknya agak tersingkap. Di situlah
keberuntunganku. Aku bisa melirik sebagian kulit pahanya yang mulu.
Kasertag-kasertag lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha untuk
mengintip ujung pahanya.
Tapi mataku selalu terbentur
dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi serta kedua lututnya
lebih terbuka, tentu pemandangan yang ada akan lebih jelas lagi. Jika kedua
lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis juga tak kalah
menarik karena terlihat putih dan terawat.
Saat sedang asyik menatap
kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Bu Lia..
“Bayu, aku merasa bahwa kamu
sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku benar?”
Aku terdiam sejenak sambil
tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang berdebar-debar.
“Bayu, apakah dugaanku benar?”
“Iya, Mbak. Benar.”
Bu Lia tersenyum sambil menatap
mataku.
“Kenapa?”
Aku hanya diam membisu. Terasa
sangat sulit menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap
wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku, akhirnya
kuberanikan diri untuk menjawab.
“Aku suka kaki Mbak. Suka betis
Mbak. Indah. Serta….” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan
sebenarnya.
“Aku juga sering menduga-duga,
apakah kaki Mbak juga ditumbuhi rambut-rambut..”
“Sudah kuduga, kamu pasti berkata
jujur, apa adanya,” kata Bu Lia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kamu tak penasaran
menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar
untukku,” jawabku sambil menundukkan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk
mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat serta tanda
terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yg
akan kamu cium?”
“Betis yg indah itu. Mbak..”
“Hanya sekali cium saja?”
“Seribu kali pun aku bersedia.”
Bu Lia tersenyum manis ditahan.
Ia berusaha manahan tawanya.
“Tapi aku yang menentukan di
bagian mana saja yang harus kamu cium, OK?”
“Deal, my lady..”
“I like it..” kata Bu Lia sambil
bangkit dari sofa.
Ia melangkah ke meja kerja lalu
menarik kursinya hingga keluar dari kolong mejanya yang besar. Setelah
menghempaskan pinggulnya di atas kursi kerjanya yang besar dan empuk itu, Bu
Lia tersenyum nakal dan membuat Cerita Dewasa Dominasi Seks Atasanku ini semakin
menyenangkan.
Matanya berbinar-binar seolah
menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan serta
pujaan.
“Periksalah, Bayu. Berlutut di
depanku..”
Aku membisu, kaget juga mendengar
perintahnya.
“Kamu tidak mau memeriksanya, Bay?”
tanya Bu Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
Meski ada perasaan senang, namun
aku tetap berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah
seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Bu
Lia masih tetap tersenyum dan terus merenggangkan kedua lututnya.
“Bayu, kamu tahu warna apa yang
tersembunyi di pangkal pahaku?”
Aku menggeleng lemah, seolah ada
kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku. Tatapanku
terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Bu Lia yang mulai renggang
itu. Akhirnya aku menghampirinya, dan berlutut di depannya sambil menengadahkan
wajahku. Mbak Lia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa
kali, lalu berpindah ke rambutku, serta sedikit menekan kepalaku agar menunduk
ke arah kakinya.
“Ingin tahu warnanya?”
Aku mengangguk tak berdaya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya
sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dengan patuh aku melaksanakan
perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya. Bu Lia menopangkan kaki
kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada
waktu itulah aku menbisa kesempatan melihat ke pangkal pahanya.
Kali ini tatapanku mengarah pada
secarik kain tipis berwarna merah muda. Pasti ia memakai G-String, tebakku
dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya,
aku masih sempat melihat rambut-rambut ikal yang menyembul dari sisi-sisi
celana dalamnya. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu
kecil untuk menyembunyikan semua rambut yg mengitari pangkal pahanya. Bahkan
sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.
“Suka?”
Aku mengangguk sambil mengangkat
kaki kiri Bu Lia ke atas lututku. Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk.
Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu
itu. Bu Lia diam saja, tak ada komentar apa pun. Aku menunduk kembali sambil
mengelus-elus pergelangan kakinya.
Kakinya mulus tak bercacat.
Ternyata betisnya yang berwarna putih itu mulus tanpa rambut halus. Tapi di
bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi rambut-rambut halus yang agak
kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya.
Aku terpana. Mungkinkah mulai
dari atas lutut hingga.. hingga.. Aah,. Aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku
mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku
ternyata membuat rambut-rambut itu meremang.
“Indah sekali,” kataku sambil
mengelus-elus betisnya. Halus..
“Baym kamu suka?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kamu suka.
Tunjukkan bahwa betisku indah..”
Aku mengangkat kaki Bu Lia dari
lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yg menekuk itu. Aku
sedikit membungkuk agar bisa mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang
kedua, aku menjulurkan lidah agar bisa mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki
indah itu. Akibat kecupanku, Bu Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya.
Serta tak sengaja, kembali mataku
terpesona melihat bagian dalamnya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit
bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika
melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Bu
Lia mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Kurang jelas, Bay?”
Aku mengangguk.
Bu Lia tersenyum sambil
mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku
sehingga aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan
pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi
rambut-rambut halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tak
selebat bagian atasnya, serta warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras
dengan pahanya yang putih.
Aku merinding. Sebab ingin
melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil
mengecup bagian dalam lututnya. Paha itu pun nampak semakin jelas. Menawan. Di
paha bagian belakang mulus tanpa rambut. Karena gemas, kukecup berulang kali.
Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Ketika hanya berjarak kira-kira
selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi
ciuman yang mesra dan basah.
Sekarang hidungku sangat dekat
dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Walau tersembunyi, jelas bisa
dapat kulihat ceplakan bibir vaginanya. Ada segaris kebasahan terselip di
bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang
menyelip keluar dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan
mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku
menjadi semakin terangsang.
Aroma yg memaksaku terperangkap
di antara kedua belah paha Bu Lia. Ingin kusergap aroma itu serta menjilat
kemaluannya. Bu Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas
berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, kaki kanannya diangkat membuat
roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
“Suka, Bay?”
“Hmm.. Hmm..” gumamku sambil
memindahkan ciuman ke betis serta lutut kirinya. Lalu kuraih pergelangan kaki
kanannya, serta meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang
lututnya.
Bu Lia menggelinjang sambil
menarik rambutku dengan manja. Ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian
dalam dan semakin lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di
rambutku semakin keras. Serta ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal
yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Bu Lia mendorong kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami
saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Bu Lia menarik
telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk serta meletakkan telapak kaki
kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk
serta terbuka lebar di atas kursi, serta yan sebelah lagi menjuntai di karpet. Pemandangan
itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Lia merapatkan kedua pahanya sambil menarik
rambutku.
“Nanti ada yang melihat bayangan
kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Bay,” katanya sambil menunjuk kolong
mejanya.
Aku terkesima. Mbak Lia merenggut
bagian belakang kepalaku, serta menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan
perlahan itu tak mampu kutolak. Lalu Bu Lia tiba-tiba membuka ke dua pahanya
serta mendaratkan mulut serta hidungku di pangkal paha itu.
Kebasahan yang terselip di antara
kedua bibir vaginanya terlihat semakin jelas. Semakin basah. Serta di situlah
hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat
menyegarkan. Aroma yang tercium seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf
di rongga kepala.
“Bagaimana, Bay..?”
“Hmm.. Hmm..”
“Sekarang masuk ke dalam..”
ulangnya sambil menunjuk kolong meja.
Aku merangkak ke kolong mejanya.
Aku sudah tak mampu berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang
sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, norma-norma bercinta yang sakral dalam
percintaan.
Aku hanya peduli dengan kedua
paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan
menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bagian belakang kepalaku,
aroma semerbak yang akan menerobos hidung serta memenuhi rongga dadaku,
kelembutan serta kehangatan dua buah bibir kewanitaan yg menjepit lidahku,
serta tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang pasti kujilat berulang kali
agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin
kucucipi.
Di kolong meja, Bu Lia membuka
kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah
basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.
“Hanya lidah, Bay..Ok?” Aku
mengangguk. Dengan cepat kubenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal
pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam
mungkin. Bu Lia terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap
rambutku. .
“Rupanya kamu sudah tak sabar ya,
Bay?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.
“Hmmm…”
“Haus?”
“Hmmm..”
“Jawab, Bay” katanya sambil
menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus..” jawabku singkat.
Tangan Bu Lia bergerak melepaskan
tali G-string yang terikat di kiri serta kanan pinggulnya. Aku terpana menatap
keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang bibir
yang di bagian atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus klitoris yang
berwarna pink. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan
mataku.
“Jangan diam saja. Bay.” kata Bu
Lia sambil menekan bagian belakang kepalaku.
“Hirup aromanya….” sambungnya
sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir
kewanitaannya. Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak bisa bergerak. Bibirku
terjepit serta tertekan di antara dubur serta bagian bawah kemaluannya.
Karena harus bernafas, aku tak
mempunyai pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya
sedikit udara yang bisa kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan
hidungku lebih dalem lagi. Bu Lia terpekik. Pinggulnya diangkat serta
digosok-gosokkannya hingga hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yang
mulai mengalir dari vaginanya.
Aku mendengus. Bu Lia
menggelinjang serta kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya
dalam-dalam, seolah kemaluannya adalah nafas kehidupannku.
“Luar Biasa…” kata Bu Lia sambil
mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku
yang telah licin dan basah.
“Enak, kan?” sambungnya sambil
membelai ujung hidungku.
“Segar..”
Bu Lia tertawa kecil.
“Kamu pandai memanjakanku, Bay.
Sekarang kecup, jilat, serta hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kamu memuja
ini.”
Katanya sambil menyibakkan
rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“Jilat serta hisap dengan rakus.
Tunjukkan bahwa kamu memujanya. Tunjukkan rasa hausmu.. Jangan ada setetes pun
yang tersisa.. Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama
serta ygan terakhir bagimu..”
Aku terpengaruh dengan
kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang
diucapkannya. Aku memang merasa sangat lapar serta haus untuk mereguk
kelembutan serta kehangatan kemaluannya. Kerongkonganku terasa panas serta
kering. Aku merasa benar-benar haus serta ingin segera menbisakan segumpal
lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku.
Lalu bibir kewanitaannya kukulum
serta kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke
kerongkonganku. Kedua bibir vaginanya kuhisap-hisap bergantian, Kepala Bu Lia
terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku.
Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.
Pinggulnya terangkat serta
terhempas di kursi berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar mengejar
lidahku yg bergerak amelr di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali
lidahku menjilat klitorisnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil
menjambak rambutku.
“Ooh, ooh, Bayu.. Bayu.”
Klitorisnya kujepit di antara
bibirku, lalu kuhisap serta permainkan dengan ujung lidahku, Bu Lia merintih
menyebut-nyebut namaku..
“Bayu… nikmat sekali sayang..
Bayu.. Ooh.. Bayu.. Aaaaahh..”
Telapak kakinya menghentak-hentak
di bahu serta kepalaku. Paha kanannya sudah tak melilit leherku. Kaki itu
sekarang diangkat serta tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak
kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Bu Lia menjambak rambutku. Menekan serta
menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya. Cerita Dewasa
“Bayu, julurkan lidahmuu.. Hisap…
Hisaap…”
Aku menjulurkan lidah sedalam
mungkin, membenamkan wajahku di kemaluannya. Serta mulai kurasakan
kedutan-kedutan di bibir kemaluannya, kedutan yang menghisap lidahku,
mengundang masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di
ujung lidahku. Kuhisap seluruh kemaluannya. Aku tak ingin ada setetes pun
terbuang.
Inilah hadiah yang
kutunggu-tunggu. Hadiah yang bisa menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua
bibirku kubenamkan sedalam mungkin agar bisa langsung menghisap dari bibir
kemaluannya yang mungil.
“Bayu… Hisap Bayu…..”
Aku tak tahu apakah desahan Bu
Lia bisa terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar
pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang bisa kuhisap dan
kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, mengalir membasahi
kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari kemaluan Bu Lia, dari
pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalem.
“Oh.. luar biasaaaa, Bay…” gumam
Bu Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursi.
Ia menunduk serta mengusap
pipiku. Tak lama kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak aku
berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
“Aku puas sekali, Bay,” katanya.
Kami saling menatap. Matanya berbinar-binar
sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang menatap sendu.
“Bayu.”
“Hmmm….?…”
“Tatap mataku,, Bay..”Aku menatap
bola matanya.
“Jilat cairan yg tersisa sampai
bersih..”
“Hmmm..” jawabku sambil mulai
menjilati kemaluannya.
“Jangan menunduk, Bay. Jilat
sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika
menjilat-jilat kemaluanku.”
Aku menengadah untuk menatap
matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat
serta menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir
kewanitaannya.
“Kamu memujaku, Bay?”
“Ya, aku memuja betismu, pahamu,
serta di atas segalanya, yang ini..Mmuacch..” jawabku sambil mencium
kewanitaannya dengan mesra. Bu Lia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar