>>> SINGAPOREPOOLS <<<
ANGKA MAIN : 5 2 9 6
Top 2D : 05 12 29 36 45
Cadangan 2D : 52 69 76 85 96
TOP SHIO : Tikus Kuda Monyet
COLOK BEBAS : 5 6 9
AS : 0 1 3
KOP : 4 7 8
KEPALA : Besar / Ganjil
EKOR : Besar / Genap
Aku adalah mahasiswa arsitektur tingkat akhir di sebuah
universitas swasta di kota Bandung, dan sudah saatnya melaksanakan tugas akhir
sebagai prasyarat kelulusan. Beruntung, aku kebagian seorang dosen tang santai
dan kebetulan adalah seorang ibu. Asna namanya, usianya 30 thn cerdas dan
cantik
Cukup sulit utk menggambarkan kejelitaan sang ibu. Bersuami
seorang dosen pula yg kebetulan adalah favorit anak-anak karena moderat dan
sangat akomodatif. Singkat kata banyak teman-temanku yg sedikit iri mengetahui
aku kebagian pembimbing Ibu Asna.
“Dasar lu… enak amat kebagian ibu yg cantik jelita…” Kalau
sudah begitu aku hanya tersenyum kecil, toh bisa apa sih pikirku.
Proses asistensi dengan Ibu Asna sangat mengasyikan, sebab
selain beliau berwawasan luas, aku jg disuguhkan kemolekan tubuh dan wajah
beliau yg diam-diam kukagumi. Makanya dibanding teman-temanku termasuk rajin
berasistensi dan progres gambarku lumayan pesat. Setiap asistensi membawa kami
berdua semakin akrab satu sama lain. Bahkan suatu saat, aku membawakan beberapa
kuntum bunga aster yg kutahu sangat disukainya. Sambil tersenyum dia berucap,
“Kamu mencoba merayu Ibu, Ben?”
Aku ingat wajahku waktu itu langsung bersemu merah dan utk
menghilangkan grogiku, aku langsung menggelar gambar dan bertanya sana-sini. Tp
tak urung kuperhatikan ada binar bahagia di mata beliau. Setelah kejadian itu
setiap kali asitensi aku sering mendapati beliau sedang menatapku dengan
pandangan yg entah apa artinya, beliau makin sering curhat tentang berbagai
hal. Asistensi jadi ngelantur ke bermacam subyek, dari masalah di kantor dosen
hingga anak tunggalnya yg baru saja mengeluarkan kata pertamanya. Sesungguhnya
aku menyukai perkembangan ini namun tak ada satu pun pikiran aneh di benakku
karena hormat kepada beliau.
Hingga… pada saat kejadian. Suatu malam aku asistensi sedikit
larut malam dan beliau memang masih ada di kantor pukul 8 malam itu. Yg pertama
terlihat adalah mata beliau yg indah itu sedikit merah dan sembab. “Wah, saat
yg buruk nih”, pikirku. Tp dia menunjuk ke kursi dan sedikit tersenyum jadi
kupikir tak apa-apa bila kulanjutkan. Setelah segala proses asistensi berakhir
aku membeAsnakan diri bertanya, “Ada apa Bu? Kok kelihatan agak sedih?”
Kelam menyelimuti lagi wajahnya meski berusaha
disembunyikannya dengan senyum manisnya.
“Ah biasalah Ben, masalah.”
Ya sudah kalau begitu aku segera beranjak dan membereskan
segala kertasku. Dia terdiam lama dan saat aku telah mencapai pintu, barulah…
“Kaum Pria memang selalu egois ya Beni?”
Aku berbalik dan setelah berpikir cepat kututup kembali pintu
dan kembali duduk dan bertanya hati-hati.
“Kalau boleh saya tahu, kenapa Ibu berkata begitu? Sebab
setahu saya perempuan memang selalu berkata begitu, tp saya tdk sependapat
karena certain individual punya ego-nya sendiri-sendiri, dan tdk bisa
digolongkan dalam suatu stereotype tertentu.”
Matanya mulai hidup dan kami beradu argumen panjang tentang
subyek tersebut dan ujung-ujungnya terbukalah rahasia perkawinannya yg selama
ini mereka sembunyikan. Iya, bahwa pasangan tersebut kelihatan harmonis oleh
kami mahasiswa, mereka kaya raya, keduanya berparas good looking, dan berbagai
hal lain yg bisa membuat pasangan lain iri melihat keserasian mereka. Namun
semua itu menutupi sebuah masalah mendasar bahwa tdk ada cinta diantara mereka.
Mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka yg konservatif dan selama ini
keduanya hidup dalam kepalsuan. Hal ini diperburuk oleh kasarnya perlakuan Pak
Indra (suami beliau) di rumah terhadap Bu Asna (fakta yg sedikit membuatku
terhenyak, ugh betapa palsunya manusia sebab selama ini di depan kami beliau
terlihat sebagai sosok yg care dan gentle).
Singkat kata beliau sambil terisak menumpahkan isi hatinya
malam itu dan itu semua membuat dia sedikit lega, serta membawa perasaan aneh
bagiku, membuat aku merasa penting dan dekat dengan beliau. Kami memutuskan utk
jalan malam itu, ke Lembang dan beliau memberi kehormatan bagiku dengan ikut ke
sedan milikku. Sedikit gugup kubukakan pintu untuknya dan tergesa masuk lalu
mengendarai mobil dengan ekstra hati-hati. Dalam perjalanan kami lebih banyak
diam sambil menikmati gubahan karya Chopin yg mengalun lembut lewat stereo.
Kucoba sedikit bercanda dan menghangatkan suasana dan
nampaknya lumayan berhasil karena beliau bahkan sudah bisa tertawa
terbahak-bahak sekarang.
“Kamu pasti sudah punya pacar ya Beni?”
“Eh eh eh”, aku gelagapan.
Iya sih emang, bahkan ada beberapa, namun tentu saja aku tak
akan mengakui hal tersebut di depannya.
“Nggak kok Bu… belum ada… mana laku aku, Bu…” balasku sambil
tersenyum lebar.
“Huuu, bohong!” teriaknya sambil dicubitnya lengan kiriku.
“Cowok kayak kamu pasti playboy deh… ngaku aja!”
Aku tdk bisa menjawab, kepalaku masih dipenuhi fakta bahwa
beliau baru saja mencubit lenganku. Ugh, alangkah berdebar dadaku dibuatnya.
Beda bila teman wanitaku yg lain yg mencubit.
Larut malam telah tiba dan sudah waktunya beliau kuantar
pulang setelah menikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Daerah
Dago Pakar tujuannya dan saat itu sudah jam satu malam ketika kami berdua
mencapai gerbang rumah beliau yg eksotik.
“Mau nggak kamu mampir ke rumahku dulu, Ben?” ajaknya.
“Loh apa kata Bapak entar Bu?” tanyaku.
“Ah Bapak lagi ke Kupang kok, penelitian.”
Hm… benakku ragu namun senyum manis yg menghiasi bibir beliau
membuat bibirku berucap mengiyakan. Aku mendapati diriku ditarik-tarik manja
oleh beliau ke arah ruang tamu di rumah tersebut akan tetapi benakku tak habis
berpikir,
“Duh ada apa ini?”
Sesampainya di dalam,
“Sst… pelan-pelan ya… Detty pasti lagi lelap.” Kami beringsut
masuk ke dalam kamar anaknya dan aku hanya melihat ketika beliau mengecup
kening putrinya yg manis itu pelan.
Kami berdua bergandengan memasuki ruang keluarga dan duduk
bersantai lalu mengobrol lama di sana. Beliau menawarkan segelas orange juice.
“Aduh, apa yg harus aku lakukan”, pikirku.
Entah setan mana yg merasuk diriku ketika beliau hendak duduk
kembali di karpet yg tebal itu, aku merengkuh tubuhnya dalam sekali gerakan dan
merangkulnya dalam pangkuanku. Beliau hanya terdiam sejenak dan berucap,
“Kita berdua telah sama-sama dewasa dan tahu kemana ini
menuju bukan?” Aku tak menjawab hanya mulai membetulkan uraian rambut beliau yg
jatuh tergerai dan membawa tubuh moleknya semakin erat ke dalam pelukanku, dan
kubisikkan di telinganya, “Beni sangat sayang dan hormat pada Ibu, oleh
karenanya Beni tak akan berbuat macam-macam.” Ironisnya saat itu sesuatu
mendesakku utk mengecup lembut cuping telinga dan mengendus leher hingga ke
belakang kupingnya.
Kulihat sepintas beliau menutup kelopak matanya dan mendesah
lembut.
“Kau tahu aku telah lama tdk merasa seperti ini Ben…”
Kebandelanku meruyak dan aku mulai menelusuri wajah beliau dengan bibir dan
lidahku dengan sangat lembut dan perlahan.
Setiap sentuhannya membuat sang ibu merintih makin dalam dan
beliau merangkul punggungku semakin erat. Kedua tanganku mulai nakal merambah
ke berbagai tempat di tubuh beliau yg mulus wangi dan terawat.
Aku bukanlah pecinta ulung, infact saat itu aku masih perjaka
namun cakupan wawasanku tentang seks sangat luas.
“Tunggu ya Ben… ibu akan bebersih dulu.” Ugh apa yg terjadi,
aku tersadar dan saat beliau masuk ke dalam, tanpa pikir panjang aku beranjak
keluar dan segara berlari ke mobil dan memacunya menjauh dari rumah Ibu Ir.
Asna dosenku, sebelum segalanya telanjur terjadi. Aku terlalu menghormatinya
dan… ah pokoknya berat bagiku utk mengkhianati kepercayaan yg telah beliau
berikan jg suaminya. Sekilas kulihat wajah ayu beliau mengintip lewat tirai
jendela namun kutegaskan hatiku utk memacu mobil dan melesat ke rumah Vani.
Sepanjang perjalanan hasrat yg telah terbangun dalam diriku
memperlihatkan pengaruhnya. Aku tak bisa konsentrasi, segala rambu kuterjang
dan hanya dewi fortuna yg bisa menyebabkan aku sampai dengan selamat ke
pavilyun Vani. Vani adalah seorang gadis yg aduhai seksi dan menggairahkan,
pacar temanku. Namun sejak dulu dia telah mengakui kalau Vani menyukaiku.
Bahkan dia telah beberapa kali berhasil memaksa utk bercumbu denganku. Hal yg
kupikir tak ada salahnya sebagai suatu pelatihan buatku. Aku mengetuk pintu
kamar paviliunnya tanpa jawaban, kubuka segera dan Vani sedang berjalan ke
arahku,
“Sendirian?” tanyaku. Vani hanya mengangguk dan tanpa banyak
ba bi bu, aku merangsek ke depan dan kupagut bibirnya yg merah menggemaskan.
Kami berciuman dalam dan bernafsu. “Kenapa Ben?” di sela-sela
ciuman kami, Vani bertanya, aku tak menjawab dan kuciumi dengan buas leher
Vani, hingga dia gelagapan dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu
sementara tangan kiriku dengan cekatan mendekap Vani makin erat dalam
pelukanku. “Brak!” kurengkuh Vani, kuangkat dan kugendong ke arah kasur.
“Ugh buas sekali kamu Ben…” Sebuah senyum aneh menghiasi
wajah Vani yg jelita.
Kurebahkan Vani dan kembali kami berpagutan dalam adegan
erotis yg liar dan mendebarkan. Aku bergeser ke bawah dan kutelusuri kaki Vani
yg jenjang dengan bibirku dan kufokuskan pada bagian paha dalamnya. Kukecup
mesra betis kanannya. Vani hanya mengerang keenakan sambil cekikikan lirih
karena geli. Kugigit-gigit kecil paha yg putih dan mulus memikat itu sambil
tanganku tak henti membelai dan merangsang Vani dengan gerakan-gerakan tangan
dan jari yg memutar-mutar pada payudaranya yg seksi dan ranum. Dengan sekali
tarik, piyama yg dikenakannya terlepas dan kulemparkan ke lantai, sementara aku
bergerak menindih Vani.
Kami saling melucuti hingga tak ada sehelai benang pun yg
menjadi pembatas tarian kami yg makin lama makin liar. “Beni ahhh… Beni… Beni…”
Vani terus berbisik lirih ketika kukuakkan kedua kakinya dan aku menuju
kewanitaannya yg membukit menantang. Kusibakkan rambut pubic-nya yg lebat namun
rapih dan serta merta aromanya yg khas menyeruak ke hidungku. Bentuknya begitu
menantang sehingga entah kenapa aku langsung menyukainya. Kuhirup kewanitaan Vani
dengan keras dan lidahku mulai menelusuri pinggiran labia minora-nya yg telah
basah oleh cairan putih bening dengan wangi pheromone menggairahkan. Kubuka
kedua labia-nya dengan jemariku dan kususupkan lidahku pelan diantaranya
menyentuh klitorisnya yg telah membesar dan kemerahan.
“Aaagh…” Vani menjerit tertahan, sensasi yg dirasakannya
begitu menggelora dan semakin membangkitkan semangatku.
Detik itu jg aku memutuskan utk melepas status keperjakaanku
yg entah apalah artinya. Sejenak pikiranku melambung pada Ibu Asna, ah apa yg
terjadi besok? Kubuang jauh-jauh perasaan itu dan kupusatkan perhatianku pada
gadis cantik molek yg terbaring pasrah dan menantang di hadapanku ini. Vani pun
okelah. Malam ini aku akan bercinta dengannya. Dengan ujungnya yg kuruncingkan
aku menotol-notolkan lidahku ke dalam kewanitaan Vani hingga ia melenguh keras
panjang dan pendek.
Lama, aku bermain dengan berbagai teknik yg kupelajari dari
buku. Benar kata orang tua, membaca itu baik utk menambah pengetahuan. Kuhirup
semua cairan yg keluar darinya dan semakin dalam aku menyusupkan lidahku
menjelajahi permukaan yg lembut itu semakin keras lenguhan yg terdengar dari
bibir Vani. Aku naik perlahan dan kuciumi pusar, perut dan bagian bawah
payudaranya yg membulat tegak menantang. Harus kuakui tubuh molek Vani, pacar
temanku ini sungguh indah. Lidahku menjelajahi permukaan beledu itu dengan
penuh perasaan hingga sampai ke puting payudaranya yg kecoklatan. Aku berhenti,
kupandangi lama hingga Vani berteriak penasaran,
“Ayo Ben… tunggu apa lagi sayang.”
Aku berpaling ke atas, di hadapanku kini wajah putih
jelitanya yg kemerahan sambil menggigit bibir bawahnya karena tak dapat menahan
gejolak di dadanya. Hmm… pemandangan yg jarang-jarang kudapat pikirku. Tanganku
meraih ke samping, kusentuh pelan putingnya yg berdiri menjulang sangat
menggairahkan dengan telunjukku.
“Aaah Ben… jangan bikin aku gila, please Ben…” Dengan gerakan
mendadak, aku melahap puting tersebut mengunyah, mempermainkan, serta
memilinnya dengan lidahku yg cukup mahir.
(Aku tahu Vani sangat sensitif dengan miliknya yg satu itu,
bahkan hanya dengan itupun Vani dapat orgasme saat kami sering bercumbu dulu).
Vani menjerit-jerit kesenangan. Kebahagian melandanya hingga ia maju dan hendak
merengkuh badanku.
“Eit, tunggu dulu Non… jangan terlalu cepat sayang”, aku
menjauh dan menyiksanya, biar nanti jg tahu rasanya multi orgasme.
Nafas Vani yg memburu dan keringat mengucur deras dari
pori-porinya cukup kurasa. Aku bangkit dan pergi ke dapur kecil minum segelas
air dingin.
“Jaaahat Beni… jahaat…” kudengar seruannya.
Saat aku balik, tubuhnya menggigil dan tangannya tak henti
merangsang kewanitaanya. Aku benci hal itu, dan kutepis tangannya,
“Sini… biar aku…” Aku kembali ke arah wajahnya dan kupagut
bibirnya yg merah itu dan kami bersilat lidah dengan semangat menggebu-gebu.
Kuraih tubuh mungilnya dalam pelukanku dan kutindih pinggulnya dengan badanku.
“Uugh…” dia merintih di balik ciuman kami. Kedua bibir kami
saling melumat dan menggigit dengan lincahnya, seolah saling berlomba.
Birahi dan berbagai gejolak perasaan mendesak sangat dahsyat.
Sangat intensif menggedor-gedor seluruh syaraf kami utk saling merangsang dan
memuaskan sang lawan. Kejantananku minta perhatian dan mendesak-desak hingga
permukaannya penuh dengan guratan urat yg sangat sensitif. Duh… saatnya kah?
aku bimbang sejenak namun kubulatkan tekadku dan dengan segera aku menjauh dari
Vani. Tanpa disuruh lagi Vani meregangkan kedua pahanya dan menyambut
kesediaanku dengan segenap hati. Punggungnya membusur dan bersiap. Sementara
aku menyiapkan penisku dan membimbingnya menuju ke pasangannya yg telah lumer
licin oleh cairan kewanitaannya.
Oh my God… sensasi yg saat itu kurasakan sangat mendebarkan,
saat-saat pertamaku. Gigitan bibir bawah Vani menunjukkan ketdksabarannya dan
dengan kedua betisnya dia mendesak pinggulku utk bergerak maju ke depan.
Akhirnya keduanya menempel. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke
klitorisnya dan Vani meraung, masa sih begitu sensasional? Biasa sajalah.
Kudesak ke depan perlahan (aku tahu ini merupakan hal pertama bagi dia jg)
sial… mana muat? Ah pasti muat. Kusibakkan dengan kedua jemariku sambil
pinggulku mendesak lagi dengan lembut namun mantap. Membelalak Vani ketika
penisku telah menyeruak di antara celah kewanitaannya.
Sambil matanya mendelik, menahan nafas dan menggigit-gigit
bibir bawahnya, Vani membimbing dengan memegang penisku, “Hmm… Ben? jangan ragu
sayang…” Dengan mantap aku menghentakkan pinggulku ke depan agar Vani menjerit.
Loh sepertiganya telah amblas ke dalam. Hangat, basah, ketat sangat
sensasional. Pinggang kugerakkan ke kiri dan ke kanan.
Sementara Vani kepedasan dan air matanya sedikit mengintip
dari ujung matanya yg berbinar indah itu.
“Kenapa sayang?” tanyaku.
“Nggak pa-pa Ben… terusin aja sayang… Aku adalah milikmu,
semuanya milikmu…”
“Sungguh…”
Aku tahu pastilah mengharukan bagi gadis manapun meski
sebandel Vani, apabila kehilangan keperawanannya. Maka utk menenangkannya aku
merengkuh tubuhnya dan kuangkat dalam pelukan, proses itu membuat penisku
semakin dalam merasuk ke dalam Vani. Dia mendelik keenakan, matanya yg indah
merem melek dan bibirnya tak henti mendesah,
“Ben sayaaang… ugh nikmatnya.” Saat itu aku sedang memikirkan
Ibu Asna.
Aneh, mili demi mili penisku menghujam deras ke dalam diri
Vani dan semakin dalam serta setiap kali aku menggerakkan pinggulku ke kiri dan
ke kanan sekujur tubuh Vani bergetar, bergidik menggelinjang keras, lalu
kudesak ke dalam sambil sesekali kutarik dan ulur. Vani menjerit keras sekali
dan kubungkam dengan ciumanku, glek… kalau ketahuan ibu kost-nya mampus kami.
Aku tak menygka sedemikian ketatnya kewanitaan Vani, hingga penisku serasa
digenggam oleh sebuah mesin pemijat yg meski rapat namun memberikan rasa nyaman
dan nikmat yg tak terkira. Pelumasan yg kulakukan telah cukup sehingga kulit
permukaannya kuyakin tdk lecet sementara perjalanan penisku menuju ke akhirnya
semakin dekat. Hangat luar biasa, hangat dan basah menggairahkan, tulang-tulangku
seakan hendak copot oleh rasa ngilu yg sangat bombastis. Perasaan ini rupanya
yg sangat diimpikan berjuta pria.
“Eh… Vani sayang… kasihan kau, kelihatan sangat menderita,
meski aku tahu dia sangat menikmatinya”. Wajahnya bergantian mengerenyit dan
membelalak hingga akhirnya telah cukup dalam, kusibakkan liang kemaluan Vani-ku
tersayang dengan penisku hingga bersisa sedikit sekali di luarnya.
Vani merintih dan membisikkan kata-kata sayang yg terdengar
bagai musik di telingaku. Aku mendenyutkan penisku dan menggerakkannya ke kiri
dan ke kanan bersentuhan dengan hampir seluruh permukaan dalam rahimnya,
mentokkah? Berbagai tonjolan yg ada di dalam lubang memeknya kutekan dengan
penisku, hingga Vani akan menjerit lagi, namun segera kubungkam lagi dengan
ciuman yg ganas pada bibirnya.
Kutindih dia, kutekan badannya hingga melesak ke dalam kasur
yg empuk dan kusetubuhi dirinya dengan nafsu yg menggelegak. Dengan mantap dan
terkendali aku menaikkan pinggulku hingga kepala penisku nyaris tersembul
keluar. Ugh, sensasinya dan segera kutekan lagi, oooh pergesekan itu luar biasa
indah dan nikmat. Gadis seksi yg ranum itu merem melek keenakan dan ritual ini
kami lakukan dengan tenang dan santai, berirama namun dinamis. Pinggulnya yg
montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertempuran hingga segalanya makin
intens ketika sesuatu yg hangat mengikuti kontraksi hebat pada otot-otot
kewanitaannya meremas-remas penisku, serta ditingkahi bulu mata Vani yg
bergetar cepat mendahului aroma orgasme yg sedang menjelangnya. Aku pernah
membaca hal ini.
“Shhs sayang Vani… jangan dulu ya sayang ya…”
“Shhh… Beni… nggak tahan aku… Beennn… shhhh…”
“Cup cup… kalem sayang…” kukecup lembut matanya, bibirnya,
hidungnya, dan keningnya.
Vani mereda, aku berhenti.
“Beni… kamu tega ih…” Vani cemberut sambil menarik-narik bulu
dadaku.
“Sshhh sayangku… biar aja, entar kalau udah meledak pasti
nikmat deh… minum dulu yuk sayang…”
Aku menarik keluar penisku, aku tak mau Vani tumpah, meski
demikian saat aku menarik penisku, ia memelukku dengan kencang hingga terasa
sakit menahan sensasi luar biasa yg barusan dia rasakan. Kalian para pembaca
wanita yg pernah bercinta pasti pernah merasakan hal itu. Sembari minum aku
menarik nafas panjang dan meredakan pula gejolak nafsuku, aku mau yg pertama ini
jadi indah utk kami berdua. Sial, ingatanku kembali melayg ke Ibu Asna. Apa yg
sekarang dia lakukan? Bagaimana keadaan dia? Ah urusan besok sajalah. Dengan
melompat aku merambat naik lagi ke tubuh Vani yg sedang tersenyum nakal.
“Minum sayang…” dia memberengut dan minum dengan cepat.
“Ayo Beni… jangan jahat dong…”
Dengan satu gerakan cepat aku menyelipkan diri di antara
kedua kakinya seraya membelainya cepat dan meletakkan penisku ke perbukitan yg
ranum itu. Cairan putih yg kental terlihat meleleh keluar.
Kusibakkan kewanitaannya, dan dengan cepat kutelusupkan
penisku ke dalamnya. Ugh, berdenyut keduanya masuklah ia, dengan mantap
kudorong pinggulku mengayuh ke depan. Vani pun menyambutnya dengan suka cita.
Walhasil dengan segera dia telah masuk melewati liang yg licin basah dan hangat
itu ke dalam diri Vani dan bersarang dengan nyamannya. Maka dimulailah tarian
Tango itu. Menyusuri kelembutan beledu dan bagai mendaki puncak perbukitan yg
luar biasa indah, kami berdua bergerak secara erotis dan ritmis, bersama-sama
menggapai-gapai ke what so called kenikmatan tiada tara. Gerakan batang
kejantananku dan pergesekannya dengan ‘diri’ Vani sungguh sulit digambarkan
dengan kata-kata. Kontraksi yg tadi telah reda mulai lagi mendera dan menambah
nikmatnya pijatan yg dihasilkan pada penisku. Tanganku menghentak menutup
mulutnya saat Vani menjerit keras dan melenguh keenakan. Lama kutahan dengan
mencoba mengalihkan perhatian kepada berbagai subyek non erotis.
Aku tiba-tiba jadi buntu, Yap… Darwin, eksistensialist, le
corbusier, pilotis, doppler, dan Thalia. Hah, Thalia yg seksi itu loh. Duh…
kembali deh ingatanku pada persetubuhan kami yg mendebarkan ini. Ah, nikmati
saja, keringat kami yg berbaur seiring dengan pertautan tubuh kami yg seolah
tak mau terpisahkan, gerakan pinggulnya yg aduhai, aroma persetubuhan yg kental
di udara, jeritan-jeritan lirih tanpa arti yg hanya dapat dipahami oleh dua
makhluk yg sedang memadu cinta, perjalanan yg panjang dan tak berujung.
Hingga desakan itu tak tertahankan lagi seperti bendungan yg
bobol, kami berdua menjerit-jerit tertahan dan mendelik dalam nikmat yg
berusaha kami batasi dalam suatu luapan ekspresi jiwa. Vani jebol,
berulang-ulang, berantai, menjerit-jerit, deras keluar memancarkan cairan yg
membasahi dan menambah kehangatan bagi penisku yg jg tengah meregang-regang dan
bergetar hendak menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan
perubahan cepat pada denyutan liang memeknya yg hangat dan ketat menjepit
penisku. Akh, aku tak tahan lagi.
Di detik-detik yg dahsyat itu aku mengingat Tuhan, dosa, dan
Ibu Asna yg telah aku kecewakan, tp hanya sesaat ketika pancaran itu mulai
menjebol tak ada yg dibenakku kecuali… kenikmatan, lega yg mengawang dan
kebahagiaan yg meluap. Aku melenguh keras dan meremas bahu dan pantat sekal
Vani yg jg tengah mendelik dan meneriakkan luapan perasaannya dengan rintihan
birahi. Berulang-ulang muncrat dan menyembur keluar tumpah ke dalam liang
senggama sang gadis manis dan seksi itu.
Geez… nikmat luar biasa. Lemas yg menyusul secara tiba-tiba
mendera sekujur tubuhku hingga aku jatuh dan menimpa Vani yg segera merangkulku
dan membisikkan kata-kata sayang.
“Enak sekali Beni, duh Gusti…” Aku menjilati lehernya dan
membiarkan penisku tetap berbaring dan melemas di dalam kehangatan liang
kewanitaannya (ya ampun sekarang pun aku mengingat kemaluan Vani dan aku
bergidik ingin mengulang lagi).
Denyut-denyut itu masih terasa, membelai penisku dan
menidurkannya dalam kelemasan dan ketentraman yg damai. Kugigit dan kupagut
puting payudara Vani dengan gemas. Vani membalas menjewer kupingku, meski masih
dalam tindihan tubuhku.
“Beni sayang… kamu bandel banget deh… gimana kalau Rian tahu
nanti Ben…”
“Iya… dan gimana Vina-ku ya?” dalam hatiku.
Ironisnya lagi, kami selalu melakukannya berulang-ulang
setiap ada kesempatan. Bagai tak ada esok, dengan berbagai gaya dan cara tak
puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di kasur, di bath tub, bahkan di kedinginan
malam teras belakang paviliun sambil tertawa cekikikan. Rasa khawatir ketahuan
yg diiringi kenikmatan tertentu memacu adrenalin semakin deras, yg segalanya
membuat gairah.
Tak kusangka kami terkuras habis, lelah tak tertahan namun
pagi telah menjelang dan aku harus bertemu dengan Ibu Asna. Aku bergerak melangkah
menjauhi tempat tidur meskipun dengan lutut lemas seperti karet dan tubuhku
limbung. Kamar mandi tujuanku. Segera saja aku masuk ke dalam bath tub dan
mengguyur sekujur tubuh telanjangku dengan air dingin. Brrr… lemas yg mendera
perlahan terangkat seiring dengan bangkitnya kesadaranku. Sambil berendam aku
mengingat kembali kilatan peristiwa yg beberapa hari ini terjadi.
Semenjak saat itu asistensiku dengan Ibu Asna berlangsung
beku, dan dia terlihat dingin sekali, sangat profesional di hadapanku. Beliau
kembali memangilku dengan anda, bukan panggilan manja Beni lagi seperti dulu.
Aku serba salah, tdk sadarkah dia kalau aku pulang malam itu karena menghormati
dan menyayginya? Hingga dua hari menjelang sidang akhir, dan keadaan belum
membaik, gambarku selesai namun belum mendapat persetujuan dari Bu Asna.
Kuputuskan utk berkunjung ke rumahnya, meski aku tak pasti
apakah Pak Indra ada di sana atau tdk.
Hari itu mobilku dipinjam oleh teman dekatku, sementara
siangnya hujan rintik turun perlahan. Ugh, memang aku ditakdirkan utk gagal
sidang kali ini. Bergegas kucegat angkot dan dengan semakin dekatnya kawasan
tempat tinggal beliau, semakin deg-degan debar jantungku. Kucoba mengingat
seluruh kejadian semalam saat aku dan Vani bercinta utk kesekian kalinya, utk
mengurangi keresahanku.
Aku turun dari angkot dalam derasnya hujan dan dengan sedikit
berlari aku membuka gerbang dan menerobos ke dalam pekarangan. Basah sudah
bajuku, kuyup dan bunga Aster yg kubawakan telah tak berbentuk lagi. Kubunyikan
bel dan menanti. Bagaimana kalau beliau keluar? bagaimana kalau Pak Indra ada
di rumah? dan beratus what if berkecamuk sampai aku tak menyadari kalau wajah
jelita dan tubuh molek Ibu Asna telah berdiri beberapa meter di depanku. Saat
aku sadar senyumnya masih dingin, tp ada rasa kasihan terbesit tampak dari
wajah keratonnya yg selama ini selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Aku hanya bisa
menyodorkan bunga yg telah rusak itu dan berkata,
“Maafkan saya…”
Tubuhku yg menggigil kedinginan dan kuyup itu sepertinya
menggugah rasa iba di hati beliau dan aku mendapati beliau tersenyum dan
berkata,
“Sudah Beni, cepat masuk, ganti baju sana… dua hari lagi kamu
sidang loh… entar kalau sakit kan Ibu jg yg repot.” Uuugh, leganya beban ini
telah terangkat dari dadaku, dan aku menghambur masuk.
“Maaf Bu, saya basah kuyup.” Beliau masuk ke dalam dan segera
membawakan handuk utkku.
“Sana ke kamar dan ganti baju gih, pake aja kaus-kaus Bapak.”
KubeAsnakan diri, mendoyongkan tubuh dan mengecup keningnya, “Terima kasih
banyak Bu…” Sang ibu sedikit terperangah dan kemudian menepis wajahku.
“Sudah sana, masuk… ganti baju kamu.” Dengan sedikit
cengengesan aku masuk ke dalam dan mengeringkan tubuhku, dan mengganti baju
dengan kaus yg sungguh pas di badanku.
Segera aku keluar dan mencari Ibu Asna. Beliau sedang berada
di dapur mencoba membuatkan secangkir teh panas utkku. Aduuh, aku sedikit
terharu. Dengan beringsut aku mendekatinya dan merangkul beliau dari belakang.
Dengan ketus beliau menepis tubuhku dan menjauh.
“Beni… kamu pikir kamu bisa seenaknya saja begitu.” Aku
terdiam.
“Saya minta maaf Bu, waktu itu saya pergi karena Beni tak
sanggup Bu… Ibu, orang yg paling saya hormati dan sayangi, mungkin Beni butuh
waktu, Bu…” sambil berkata demikian aku mendekatinya dan memegang pundak kanan
beliau dan memberi sedikit pijatan lembut. Beliau tergetar dan tampak sedikit
melunak.
Aku mendekat lagi, “Ibu mau maafin Beni?” sambil kutatap
tajam matanya, kemudian perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajah ayu sang ibu.
“Tp Ben…”
Beliau kelihatan bingung, namun kecupan lembutku telah
bersarang lembut pada keningnya. Kurengkuh Asna yg ranum itu dalam pelukanku
dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit
bibir bawahnya yg merah merekah itu. Nafas Asna sedikit memburu dan bibirnya merekah
terbuka.
Semula sedikit pasif ciuman yg kuterima, kemudian lidahku
menelusup ke dalam dan menyentuh giginya yg putih, mencari lidahnya.
Getar-getar yg dirasakannya memaksa Asna utk memerima lidahku dan saling
bertautlah lidah kami berdua, menari-nari dalam kerinduan dan rasa sayang yg
sulit dimengerti. Bayangkan beliau adalah dosenku yg kuhormati, yg meskipun
cantik jelita, putih dan mempesona menggairahkan, namun tetap saja adalah orang
yg seharusnya kujunjung tinggi.
“Jangan di sini Ben, Fitri bisa datang kapan saja.”
Kutebak Fitri adalah nama pembantu mereka.
“Bapak?”
“Ah biarkan saja dia”, kata dosen pujaanku itu.
Ditariknya tanganku ke arah kamarnya yg mereka rancang
berdua.
“Buu… Bapak di mana?”
Wanita matang yg luar biasa cantik itu berbalik bertanya,
“Kenapa, kamu takut? Pulang sana, kalau kamu takut.”
Ah, kutenangkan hatiku dan yakin dia pasti jg tdk akan
membiarkan ada konfrontasi di rumah mereka. Jadi aku medahului Asna (sekarang
aku hanya memanggil beliau dengan nama Asna atas permintaannya. Di samping itu,
Asna pun tak berbeda jauh umur denganku) dan dalam satu gerakan tangan, Asna
telah ada dalam pondonganku, kemudian kuciumi wajahnya dengan mesra, lehernya,
dan sedikit belahan di dadanya. Menjelang dekat dengan tempat peraduan, Asna
kuturunkan dan aku mundur memandanginya seperti aku memandanginya saat pertama
kali. Semula Asna sedikit kikuk.
“Kenapa? Aku cantik kan?”
Asna bergerak gemulai seolah sedang menari, duh Gusti… cantik
sekali. Ia mengenakan daster panjang berwarna light cobalt yg menerawang.
Kupastikan Asna tdk mengenakan apa-apa lagi di baliknya.
Payudaranya bulat dan penuh terawat, pinggulnya selalu membuat para mahasiswi
iri bergosip dan mahasiswa berdecak kagum. Aku sekonyong-konyong melangkah maju
dan dengan lembut kutarik ikatan di belakang punggungnya, hingga bagaikan
adegan slow motion daster tersebut perlahan jatuh ke lantai dan menampilkan
sebuah pemandangan menakjubkan, luar biasa indah. Tubuh telanjang Ir. Asna yg
menggairahkan. Tanpa tunggu lebih lama aku kembali melangkah ke depan dan kami
berpagutan mesra, lembut dan menuntut.
Mendesak-desak kami saling mencumbu. Ciuman terdahsyat yg
pernah kualami, sensasinya begitu memukau. Lidahnya menerobos bibirku dan
dengan penuh nafsu menyusuri permukaan dalam mulutku. Bibirnya yg mungil dan
merah merekah indah kulumat dengan lembut namun pasti. Impian yg luar biasa
ini, saat itu aku bahkan hendak mencubit lengan kiriku utk meyakinkan bahwa ini
bukanlah mimpi. Asna melucuti pakaianku dan meloloskan kaosku, sambil sesekali
berhenti mengagumi gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yg cukup bidang dan
perutku yg rata karena sering didera push-up.
Kami berdua sekarang telanjang bagai bayi. Ada sedikit ironi
pada saat itu, dan kami berdua menyadarinya dan tersenyum kecil dan saling
menatap mesra. Aku menggenggam kedua tangannya dan mengajaknya berdansa kecil,
eh norak tp romantis. Asna tergelak dan menyandarkan kepalanya ke dadaku dan
kami ber-slow dance di sana, di kamar itu, aku dan Asna, tanpa pakaian. Penisku
tanpa malu-malu berdiri dengan tegaknya, dan sesekali disentil oleh tangan
lentik Asna. Dengan perutnya ia mendesak penisku ke atas dan menempel mengarah
ke atas, duh ngilu namun sensasional.
Saat itu cukup remang karena hujan deras dan cuaca dingin,
namun rambut Asna yg indah tergerai wangi tampak jelas bagiku. Kucium dan
kubelai rambutnya sambil kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yg selalu
dibalasnya dengan… gombal, bohong dan cekikikan yg menggemaskan. Aku semakin
sayang padanya.
Ah, aku tak tahan lagi. Kudesak tubuh Asna ke arah pinggiran
peraduan, kubaringkan punggungnya sementara kakinya tergolek menjuntai ke arah
lantai. Aku berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki jenjangnya yg mulus. Dan
mulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sambil kupegang dengan lembut,
kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan dari bawah hingga ke
arah pahanya. Pada pahanya yg putih mulus aku melakukan gerakan berputar dengan
lidahku. Asna merintih kegelian.
“Ben, it feel so good, aku pengen menjerit jadinya…” Saat
menuju ke kewanitaannya yg berbulu rapi dan wangi, aku menggunakan kedua
tanganku utk membelai-belai bagian tersebut hingga Asna melenguh lemah.
Lalu sambil menyibakkan kedua labianya, aku menggigit-gigit
dan menjepit klitorisnya yg tengah mendongak, dengan lembut sekali. “Aduuuh
Ben, aku sampai sayang…” Sejumlah besar cairan kental putih meluncur deras
keluar dari dalam liang kewanitaaannya dan dengan segera aroma menyengat
merasuk hidungku. Dengan hidungku aku mendesak-desak ke dalam permukaan
kewanitaannya. Asna menjerit-jerit tertahan.
“Beniiii… nggghh… Ben… aduhh…” Asna sontak bangkit meraih dan
meremas rambutku kemudian semakin menekannya ke dalam belahan dirinya yg sedang
menggelegak.
Kuhirup semua cairan yg keluar dari-nya, sungguh seksi
rasanya. Aku mengenali wangi pheromone ini sangat khas dan menggairahkan.
Asna-ku tersayang jg menyukainya, sampai menitikkan sedikit air mata. Aku naik
ke atas dan menenangkan kekasih dan dosenku itu. Dengan wajah penuh peluh Asna
tetaplah mempesona.
“Aduh Ben, Asna udah lama nggak banjir kayak gitu… mungkin
perasaan Asna terlalu meluap ya sayang ya…” Dengan manja ibu yg sehari-harinya
tampil anggun itu melumat bibirku dan menciumi seluruh permukaan wajahku sambil
cekikikan.
Aduuuh, aku sayang sekali sama dosenku yg satu ini. Kudekap
Asna dalam pelukanku erat demikian jg dibalasnya dengan tak kalah gemasnya,
sehingga seolah-olah kami satu.
Aku ingin begini terus selamanya, mendekap wanita yg
kusayangi ini sepanjang hayatku kalau bisa, tp nuAsnaku berbisik bahwa aku tdk
dapat melakukannya. Akhirnya kuliahku telah usai dan nilai yg memuaskan telah
kuraih, wisuda telah lama lewat, dan sekarang aku telah menjadi entrepeneur
muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar