>>>SINGAPOREPOOLS<<<
ANGKA MAIN : 7 0 2 8
TOP 2D : 07 10 22 38 47
CADANGAN 2D : 57 60 72 88 97
TOP SHIO : Kambing Kerbau Kelinci
COLOK BEBAS : 0 2 7
AS : 0 1 2
KOP : 4 5 7
KEPALA : Kecil / Genap
EKOR : Besar / Genap
Saat
masih SMA aku mempunyai sifat yang keras, pemberontak dan nekat. Orang bilang
aku ini seorang pemuda yang tidak tahu aturan. Tapi sebenarnya tidak, aku cuma
ingin mengembangkan diriku sendiri. Pada waktu itu aku punya teman kampung yang
sebaya denganku, dia sekolah di SMA swasta. Dalam berteman kami sangat cocok
dan sering melakukan sesuatu bersama. Kami tidak berpikir lama untuk melakukan
sesuatu yang ekstrim, menantang atau bahkan melanggar aturan atau hukum.
Ya benar, mulai dari naik
gunung, panjat tebing, melancong ke luar pulau, memancing di laut, sampai yang
ini; kebut-kebutan, judi, pengguna dan pengedar ganja, mabuk-mabukan atau
bahkan yang ini; mengutil di plaza, mencuri dan banyak lagi. Singkatnya kami
ini adalah persekongkolan. Namun ulah kami yang satu ini adalah yang paling
berkesan bagi kami walaupun kami sama sekali tidak menduganya: mengintip.
Aku tinggal di perumahan dengan
bangunannya kuno dan besar, ruang-ruangnya yang luas, langit- langitnya yang
tinggi dan temboknya yang tebal. Kuno seperti bangunan jaman Belanda. Nah, aku
punya tetangga yang bentuk rumahnya sama persis dengan rumahku, rumahku dengan
rumah tetanggaku itu menyambung. Meski di tengahnya ada tembok, tapi menyambung
di atasnya. Ya, ruangan di atas asbes di bawah genteng, yang ada rangka kayu
besar itu di disain los.
Kalau ada seorang yang berada
di atas, jelas dia dapat bebas menjelajah dari rumahku ke rumah tetanggaku
tanpa di ketahui orang di dalam rumah yang ada di bawah. Tentunya dia harus
melakukannya dengan tanpa suara. Nah, itulah yang akan aku dan temanku lakukan
bersama. Kenapa? karena tetanggaku itu, sebut saja keluarga Darwin, mereka
punya dua orang anak perempuan, satu masih TK dan satu lagi SMP kelas dua,
sebut saja Wanda. Wanda walaupun masih SMP tapi tubuhnya tinggi seperti ibunya,
ramping dan cantik, menurutku. Kami sering menggodanya. Terkadang kalau dia
punya PR, aku dan temanku yang mengajarinya, jelas lebih sering aku sendiri.
Tapi bukan Wanda yang menjadi sasaran pengintipan kami, melainkan ibunya.
Ya benar, Ibu Darwin ini lebih
cantik, wajahnya mirip model Larasati. Umurnya mungkin 35-an, tubuhnya putih
mulus, seksi, dan pakaian yang dikenakannya sering tidak lengkap, “ini”-nya
yang kelihatanlah, “itu”- nya yang terbukalah, pokoknya benar-benar menggoda.
Aku dan temanku sering kepergok mengamati dia kalau dia sedang membersihkan
halaman dan dia hanya tersenyum pada kami. Suaminya? oh suami Ibu Darwin kerja
di luar pulau dan hanya pulang mungkin 2 kali dalam sebulan, dan beliau sering
ke luar negeri untuk waktu yang tidak sebentar.
Akibatnya Pak Darwin selalu
memberi pesan padaku supaya aku mengawasi, menjaga atau membantu anak-isteri
yang ditinggalkannya. Benar-benar suatu skenario yang baik, pikirku. Pada suatu
malam kami naik ke atas, kami mempersiapkan segalanya, obeng, bor kecil, pisau
bergerigi, sapu tangan penutup muka dan senter, karena di atas gelap dan
berdebu. Kami naik ke atas dan langsung menuju ruang kamar mandi, kira-kira
hampir 2 jam kami merekayasa atap asbes yang ternyata bukan terbuat dari asbes,
untung kami membawa bor. Bor ini bukan bor listrik tapi sebuah bor manual
tangan jadi tidak ada suaranya.
Beres sudah, 2 lubang persegi
tepat berada di atas kamar mandi sebesar 5×5 meter yang bisa ditutup telah
selesai. Kami pulang dan pada esoknya sekitar pukul 05.00 pagi, kami kembali ke
atas dan menunggu Ibu Darwin untuk mandi. Lalu terjadilah, dia masuk sedangkan
kami mengamatinya dari atas. Ketika dia mengusap dadanya yang padat dengan
sabun, kemudian membersihkan selangkangannya dengan gerakan tangan naik-turun
lalu menggosok pantatnya yang seksi, kami benar-benar terangsang. Bu Darwin
tidak mungkin atau kecil kemungkinan untuk menoleh ke atas, karena dengan
ukuran kamar mandi yang kecil kalau dia memandang ke depan sudut pandangnya
maksimal hanya sampai ke dinding tembok tidak mencapai ke langit-langit yang
tinggi. Kecuali kalau ada sesuatu dari atas yang jatuh atau kalau kami lagi
sial dan tiba-tiba dia menoleh ke atas, itu resiko kami. Selanjutnya kami
pulang untuk bersiap berangkat ke sekolah masing-masing.
Kami mengulangi pengintipan
kami saat sore dan pagi sampai selama 5 hari. Berikutnya hari ke-6 kami
“habis”, kami kepergok. Sore itu, demi Tuhan yang ada di sorga, entah dari mana
asalnya tiba-tiba aku bersin, bahkan sampai dua kali. Ibu Darwin menoleh ke
atas dan melihat lubang kami, dia menjerit. Dengan cepat kami menutup
lubang-lubang tersebut dan langsung turun untuk melarikan diri. Kemudian aku
berpikir, hei kenapa melarikan diri? suami Ibu Darwin tidak ada, jadi kenapa
takut? Kami nekat mendatangi rumahnya lalu mendapati Ibu Darwin yang masih
basah buru-buru hendak keluar dari rumah. Kami bertemu di pintu depan rumahnya.
“Ada apa Ibu Darwin kok masih basah?” aku berpura-pura. “Andre, ada orang yang
mengintip saya di kamar mandi. Dia ngintip dari atas.” Aku dan temanku saling
berpandangan. “Haah, jadi kalian yang mengintip saya, kurang ajar.”
“Plaak!” Ibu Darwin menamparku.
Buru-buru temanku menyela, “Maaf Bu, soalnya Ibu cantik, seksi lagi, kami jadi
penasaran, dan sebenarnya ini semua ide Andre, maafkan kami.” Sepintas kulihat
senyum di bibir Ibu Darwin yang merah. Lalu temanku dengan santai ngeloyor
pergi. “Benar Bu, ini tangung jawab saya, maafkan saya, saya, ehh..” Dengan
nada rendah, “Sudah Andre, sekarang kamu pergi saja, saya muak melihat kamu.”
Empat hari berikutnya aku nekat mendatangi Ibu Darwin yang sedang bergurau di
teras dengan Wanda. “Wanda, masuk ke kamarmu Ibu mau bicara berdua dengan Kak
Andre, ada perlu apa Andre?” Aku tidak merasa takut sedikitpun tapi lidah ini
terasa beku dan tak bisa bergerak, tak tahu mau mulai dari mana. Lalu hanya ibu
itu yang bicara mengenai apa saja. Aku hanya mendengarkan sambil tersenyum, dan
dia membalas senyumanku.
Sepertinya dia sudah melupakan
kejadian 4 hari lalu. Kemudian topik pembicaraan beralih menyangkut suaminya.
Segera aku menimpali, “Ibu pasti kesepian ditinggal terus oleh suami.” Dia
memandangku dengan tajam, “Iya!” Lalu Ibu Darwin terdiam lama dan tiba-tiba,
“Suami macam dia Andre, pasti punya simpanan lain di sana. Kalau dia pulang
saya nggak dapat apa- apa, cuma si kecil dan Wanda yang diurusin, saya enggak.”
“Oooh begitu rupanya,” aku menimpali. Gila kesempatanku nih. Lama kami terdiam
dan sesekali pandangan kami bertemu dan dia tersenyum padaku lagi. Hari
menjelang gelap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan berkata,
“Andre, temanmu mana?” “Oh si
Rahmat, saya akan bertemu dengan dia besok siang, kenapa Bu?” “Kalian kan sudah
melihat Ibu di kamar mandi, sekarang giliran Ibu harus melihat kalian.” Aku
tersentak kaget bagai seorang yang baru saja tahu kalau dia kecopetan. “Besok
siang kalau kalian sempat, Ibu tunggu di rumah ya, Wanda masuk siang dan baru
pulang jam 6 sore.” Lalu Ibu Darwin melepaskan genggamannya dan segera masuk ke
dalam rumah sambil tersenyum. Dengan perasaan kaget bercampur bingung aku pergi
ke rumah Rahmat dan menceritakan semua apa yang baru saja terjadi. Siang itu
pukul 11.00 aku bolos sekolah dan bertemu rahmat yang juga bolos, di warung.
“Kita berangkat sekarang Ndre, aku sudah nggak tahan nih.” “Boleh, ayo!” Kami
langsung menuju rumah Bu Darwin, sepi, tapi pintu tak terkunci, kami berdua
langsung masuk dan menguncinya dari dalam. “Eh.. jadi juga kalian datang.”
Kulihat Ibu Darwin berpakaian rapi. “Ibu Darwin mau kemana?” “Hei, jangan
panggil Ibu Darwin, panggil Lisa saja, itu nama saya.
Oh, kalau kalian tadi nggak
datang dalam 15 menit saya mau pergi jalan- jalan ke mall dengan si kecil.”
Dari sini rasa hormat hormatku kepada tetanggaku ini mulai hilang. Aku mulai
berubah jahat dan aku mulai bertanya dalam hati, dimana Pak Darwin sekarang?
Apa yang beliau pikirkan atau lakukan sekarang? Beliau memberiku kepercayaan
tetapi lihat, setan dalam diriku telah menguasaiku 100%. Kalau pun apa yang
kami bayangkan tidak terjadi atau Ibu Darwin membohongi kami, kami akan terus
maju, kami akan memaksanya. Dan ternyata benar, pikiran jahatku hilang..berubah
menjadi panik.
Aku melihat mobil ayahku, yang
adalah seorang perwira menengah TNI datang. Dan ayahku membawa serta seorang
anak buahnya yang tinggi besar, Provost mungkin, dan mereka menuju kemari ke
arah kami. Gawat! “Hei, ternyata Ibu menipu kami, ini lebih menyakitkan dari
apa yang kami lakukan terhadap Ibu!” “Andre, saya ingin sifat kamu berubah,
kamu sudah tidak kecil lagi..” kami tidak menggubrisnya lagi, kami berlari dan
lompat lewat pintu belakang, kabur.
Sempat kudengar ayahku
berteriak, “Andre jangan lari, ayah hanya ingin menyiksamu! Kembali kau,
pengecut!” Aku mendegar kata terakhir ini. Sambil berlari, aku sedih dan
kecewa, seluruh tubuhku ini terasa lemas. Kami lari tanpa tujuan. Sesampai di
persimpangan jalan besar, temanku mulai bicara, “Andre, aku sudah tidak punya
waktu lagi dengan segala kegilaan kita ini, kejadian barusan sudah cukup
bagiku, 4 bulan lagi kita Ebtanas, aku punya rencana panjang setelah aku lulus
nanti, aku tidak ingin gagal, aku ingin kita sukses!” Aku terbelalak kaget
seperti orang yang menemukan uang 1 juta di jalan. Kami terdiam dan aku hanya
memandang ke bawah dan mulai merenung dan berpikir, keras sekali. Tidak
kusangka, temanku ini punya semangat baja dan pantang menyerah, semangatku
mulai bangkit dan pikiranku terasa bergerak ke satu arah, tobat.
“Thanks Mat, aku bangga punya
teman seperti kamu, aku tahu sekarang waktunya kita berubah. Masa remaja telah
berlalu dan aku juga tidak ingin gagal.” “Andre, saatnya telah tiba bagi kita
dan..” “Rahmat, aku setuju denganmu dan sebaiknya kita berpisah sekarang dan
kita ketemu saat kita lulus nanti, oke man?” “Oke, boss..” Kami saling pandang
lalu seperti ada yang menggerakkan dalam diri kami, sambil tertawa masam kami
berangkulan singkat sekali, kami berpisah. Kulihat dia berlari menuju terminal
untuk pulang ke rumah. Lalu aku berbalik arah menuju rumah namun tiba-tiba aku
berbelok arah menuju warung yang sering aku dan Rahmat datangi. Di warung itu
kembali aku merenung dan memikirkan semua yang telah aku lakukan selama SMA,
aku melamun, kemudian terdengar suara kecil dari dalam pikiranku dan sepertinya
berkata,
“Satu kali lagi, Andre, satu
kali lagi Andre, satu kali lagi Andre..” terus berulang-berulang. Aku terbangun
dari lamunan, oke kalau begitu. Kemudian, buru-buru aku pulang ke rumah, dan
kebetulan ayahku sudah tidak ada di situ lagi, aku langsung masuk masuk ke
kamar, mengganti baju lalu mengambil semua simpanan uangku, dan terakhir mengambil
semua perlengkapan naik gunungku. Yap, Aku memutuskan akan naik gunung untuk
yang terakhir kalinya sendirian. Kemudian, ibuku berusaha untuk mencegahku dan
mengatakan kalau ayahku mencariku. “Ibu, katakan pada Ayah kalau aku akan
kembali.” Ibuku menangis sejadi-jadinya, tetapi aku tetap pergi. Dan sementara
aku keluar dari rumah aku berpapasan dengan Ibu Darwin. Dia memegang tanganku,
“Andre, kamu mau kemana, apa yang akan kamu lakukan, Andre, jangan minggat,
saya..” aku tidak menggubrisnya. Aku pergi menuju terminal, aku cabut. Selama 3
hari aku berjalan mendaki gunung itu sampai ke puncak lalu berjalan turun ke
utara.
Satu malam aku terjebak hujan
di tengah perjalanan turun. Sepi, tidak ada satu nafas manusia pun kecuali aku.
Sekarang aku telah sampai di bawah, terminal bus Ngawi pukul 09.00 malam, hari
Minggu. Aku pulang. Sesampai di rumah ternyata ayah dan ibuku telah menunggu.
Tanpa sepatah kata mereka merangkulku. Lalu kami semua tidur. Besok paginya aku
berangkat ke sekolah, kali ini aku diberi kepercayaan oleh ayahku membawa
mobilnya. Sebelum pergi, aku sempat berbicara serius dengan Ibu Darwin dan dia
memberiku surat. Dalam perjalanan ke sekolah aku memaksakan untuk membaca surat
itu, isinya ternyata sebuah permintaan maaf, pernyataan pribadi terhadapku, dan
sebuah perjanjian..yang sangat penting. Tiga bulan berlalu,
aku lulus dari SMA dengan nilai
terbaik, mereka bilang kalau aku termasuk dalam 10 besar terbaik tingkat
nasional dan aku tidak percaya. Setelah itu aku bertekad untuk melanjutkan karier
ayahku, aku sudah puas sekaligus bosan dengan pendidikan formal dan aku tidak
akan membuang waktuku percuma hanya untuk kuliah, sekarang waktunya untuk
sesuatu yang lain. Aku mendaftar akademi tentara, syukur ternyata aku lolos
ujian lokal. Waktu berjalan cepat, tiba saatnya kini aku harus berpisah dengan
orang tuaku. Tapi sebelum itu, pada suatu malam pukul 19.00, aku menelepon Ibu
Darwin dan dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya pada pukul 22.00. Selama 3
jam aku menunggu di rumah aku benar-benar tidak tahan, serasa 3 tahun lamanya.
Waktunya tiba, belum, pada pukul 21.20 aku nekat ke rumah Ibu Darwin, lewat
pintu belakang tentunya. Waktu itu kedua putrinya sudah tidur di kamarnya
masing-masing, mungkin, harus. Aku langsung menuju kamar Ibu Darwin yang berada
di samping belakang rumah. Aku mengetok 2 kali, “Masuk Andre, kami sudah
menunggumu.” Aku tersentak kaget seperti orang tertimpa tangga dengan
tiba-tiba,
“Hah, kamu siapa?” aku membuka
pintu kamar itu dengan cepat. Kamar itu terang, jadi aku dapat melihat jelas
Ibu Darwin yang tergolek di ranjang, dia memakai daster mini warna hitam,
kontras dengan warna kulitnya yang putih. Lekuk-lekuk tubuhnya tergambar jelas
ketika dia memiringkan badan sambil menyangga kepala dengan tangannya. Ibu
Darwin memang perempuan sejati, dia begitu cantik. Tapi aku begitu kaget untuk
yang kedua kalinya ketika melihat pemuda yang berdiri di samping ranjang,
Rahmat! Sambil tertawa aku tersedak, “Rahmat! Jadi, jadi, perjanjian ini juga
berlaku buat kamu?” “Hehehe, benar Andre, tapi kamu tenang saja, aku dan Ibu
Darwin belum mulai kok, kami menunggu kamu.”
Akhirnya Aku dan Rahmat tertawa
bersama. “Eh sst, kalian ini kenapa? Tunggu apa lagi? Saya sudah tidak tahan
lagi.” “Hehehe.. sama,” kami menimpali. Dengan masih berpakaian lengkap aku
menerkam Ibu Darwin dan menindihnya. Kulumat habis bibirnya sambil
kuremas-remas dadanya yang kecil padat dan dia memelukku dengan erat. Sementara
itu Rahmat dengan pelan menelanjangi dirinya sendiri. Setelah beberapa menit
kami bercumbu, Rahmat naik ke ranjang dan mengangkangi Ibu Darwin di kepalanya,
lalu Rahmat menyerahkan rudalnya yang baru setengah berdiri itu ke mulut Ibu
Darwin dan perempuan itu melahapnya. Aku sendiri langsung menuju bagian bawah
pinggang Ibu Darwin, kutarik celana dalamnya dan kujilati pahanya yang empuk,
lalu menurun sampai ke pangkal paha. Dari sini aku mencium bau aneh, sembab.
Tapi aku tidak
memperdulikannya, aku mengamati belahan daging lembut yang berwarna coklat
kemerahan yang sudah basah itu. Aku mulai menciuminya, kusibakkan bulu-bulu
halus di sekitarnya lalu kujilati area kewanitaan itu, dan anu-ku sudah tidak
terkontrol lagi bentuknya. Beberapa saat kemudian Rahmat sudah tidak tahan
dengan perlakuan Ibu Darwin, perempuan itu benar- benar kuat mengoral Rahmat selama
itu, kini Rahmat meledak, dia semprotkan seluruh spermanya ke mulut dan wajah
Ibu Darwin. “Oh.. oh.. ssh, ayo keluarkan semua Mat.. ayo, oh..” Kini wajah Ibu
Darwin penuh dengan lelehan sperma Rahmat, Rahmat rebah di sisi kiri Ibu Darwin
sambil tersenyum. Sementara itu aku masih menjilati vagina Ibu Darwin dengan
rakus.
“Eeeh.. mmh, Andree aahk..
ooh..” sambil menjilat kulihat wajah Ibu Darwin sedang dibersihkan dengan
selimut oleh Rahmat. “Rahmat, kamu jangan kecewakan saya. Buktikan kalau kamu
perkasa, ayo bangun lagi ayoo!” sambil tangannya mengocok dan memainkan rudal
si Rahmat. Setelah puas bahkan bosan menjilat, aku merebahkan diri di sisi
kanan Ibu Darwin. Tanpa kuperintah Ibu Darwin mengerti maksudku, dia bergerak
menuju ke bawah, melepas celana jeansku dan celana dalamku, lalu mengulum dan
menhisap benda yang ada di baliknya.
Aku benar- benar melayang
seraya tanganku memeras rambutnya. “Aduuh Ibu Darwin, anda hebat sekali ooh.”
Setelah beberapa saat lamanya kemudian, penisku mulai bertingkah, kurasakan
seperti suatu cairan di dalamnya akan segera keluar. Aku terbangun dari posisi
rebah, dan berlutut di ranjang. Sementara Ibu Darwin masih menelan dan mongocok
penisku dengan mulutnya, lalu kupegang erat kepalanya dengan kedua tanganku
sementara Ibu Darwin melingkarkan tangannya di pantatku. Lalu kubenamkan
seluruh batang penisku ke mulutnya dan akhirnya.. “Oooh, aduuh uhhs, Ibu
Darwiin anda, anda.. hebat..” spermaku keluar bagai air bah, dan membanjiri
mulut dan rongga tenggorokan Ibu Darwin. Kulihat Ibu Darwin dengan terpejam
menelan semua spermaku tanpa sisa. Membuatku jadi jijik melihatnya. Aku
melepaskan cengkeraman tanganku di kepalanya dan kembali rebah di ranjang. Lalu
Ibu Darwin pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu juga dan membersihkan
diri. Waktu itu pukul 23.45.
Begitulah, kami meneruskan
pesta kami sampai puas. Kami melakukan semua gerakan, posisi dan teknik dari
semua imajinasi kami. Benar-benar tanpa batas. Sampai menjelang pukul 06.00
pagi hari Minggu, ketika 2 putri Ibu Darwin bangun, khususnya si Wanda, kami
mengunci diri di kamar tersebut sambil membersihkan diri, mandi. Kira-kira
pukul 07.30, paman mereka, adik Pak Darwin datang dan menjemput keduanya, si
kecil dan Wanda, tamasya ke luar kota. Hebatnya, ibu mereka tidak ikut serta
dengan mereka walaupun dia merasa berat. Ibu Darwin ternyata menepati
perjanjiannya dengan kami untuk selama 2 hari melayani nafsu kotor kami.
Akhirnya kami melakukannya lagi dimanapun dan kapanpun kami suka. Ibu Darwin
benar-benar adalah perempuan yang kuat meskipun tak sekuat kami tentunya. Dia
membuktikannya dengan melayani kami secara bergantian dari mulai pagi hingga
malam hari. Seperti pada sekitar pukul 13.00, 1 jam seteleh dia senggama dengan
Rahmat dia menuju ke dapur dan makan, lalu mandi. Tepat pada saat itu nafsu
birahiku mulai bangkit dan kuputuskan untuk melampiaskannya di kamar mandi.
Kuketok pintu kamar mandi, dengan tanpa bertanya pintu langsung dibukanya.
Kulihat pemandangan yang indah, Ibu Darwin berdiri dengan kondisi persis seperti
Hawa saat dia baru diciptakan, telanjang bulat. “Oh kamu Andre, kenapa? minta
lagi? kalian ini memang perkasa, tapi saya masih lelah. Kamu bisa tunggu 1 jam
lagi nggak?” “Haa? 1 jam? Nggak, aku maunya sekarang.” Lalu kuremas pantat Ibu
Darwin dan mulai kusapukan lidahku ke liang peranakannya.
Ibu Darwin hanya bisa mendesah
dan mulai bereaksi menyandarkan dirinya ke dinding kamar mandi. “Auuh, ooh,
sshaa.. lebih cepat Andre, lebih cepat, ookh..” Aku puas menikmati vagina Ibu
Darwin yang masih berbau harum sabun. Lalu sambil berdiri kudorong Ibu Darwin
untuk berlutut dan menghisap kemaluanku. Dan Ibu Darwin melayaniku dengan baik,
dia menghisap penisku dengan gerakan cepat kelihatan seperti rakus. Setelah
hampir setengah jam menghisap, dengan masih menelan penisku tiba- tiba dia
berhenti. “Eeemmh, oockh,” Ibu Darwin baru saja meminum semua spermaku yang
kutembak dalam mulutnya. Kemudian Ibu Darwin membalikkan dirinya
membelakangiku, sambil masih berdiri dia membungkuk. Lalu kupeluk dia dan
kutelusupkan penisku yang sudah tegang itu dari belakang.
Kami berdua menikmatinya dengan
santai. Kami bahkan bercerita dan tertawa sambil aku tetap mengocoknya dari
belakang. Dan saat yang paling nikmat tiba, Ibu Darwin mulai merintih tegang
dan aku mulai merasakan kontraksi dalam penisku. “Oh oh oh oh, Andree, eehk,
eehk, eehk, saya sudah nggak kuat lagi Andre, ssaya habiss.. oohh!” berbarengan
dengan itu spermaku kembali keluar. Lalu kami terkulai lemas dan bersandar di
dinding sambil berangkulan. Itulah perjanjian kami dengan Ibu Darwin yang
ditulisnya di dalam surat 3 bulan lalu. Kini kami semua berpisah. Aku berhasil
masuk tes tingkat nasional pendidikan akademi di Jawa Tengah, Rahmat meneruskan
pendidikannya di perguruan tinggi negeri di Bandung, dan akhirnya Pak Darwin
memboyong keluarganya pindah ke Kalimantan. 5 tahun berlalu, kedua orang tuaku
pindah ke Sulawesi, aku ditugaskan di Jakarta ketika aku menerima surat dari
Rahmat dan menceritakan bahwa dia akan berangkat ke Jerman untuk semacam
pendidikan khusus. Raih cita-citamu setinggi mungkin kawan, semoga sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar